Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta

PLAK! Tamparan itu mendarat mulus ke pipi kiriku. Membawa sensasi perih disusul panas yang langsung saja terasa. | Cerpen Sedih Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta

Akan tetapi, lebih perih rasanya sewaktu aku melihat kedua mata Fina menampakkan sorot terluka serta marah ke arahku. Ponselku di genggamannya dia remas kuat, untuk kemudian dibantingkan ke lantai.

PRAKK!

Itu ponsel kelimaku di bulan ini, dan lagi-lagi hancur oleh tangan Fina. Apa daya. Ini semua salahku.

"Sms siapa itu yang kamu balas, Yang?"

"Itu Zizi. Dia teman sekelasku di kampus!"

"Bohong!" sangkal Fina menjerit seraya mendorong dadaku menjauh. "Aku tau kamu bohong! Kamu pasti udah mulai bosan 'kan sama aku? Kamu sebenarnya suka 'kan sama dia?"

Aku menggeleng. Buru-buru membawa Fina ke pelukan. "Nggak, Sayang. Aku gak bohong. Zizi itu cuma kawan di kampus. Aku sama dia sms-an membahas tugas yang kebetulan belum dia ngerti. Tolong kamu percaya, dong!"

Tangisan Fina malah bertambah kencang. "Aku benci sama semua teman kamu, Yang. Kamu gak boleh dekat-dekat sama mereka. Jangan pernah luangin waktu sama mereka. Kamu itu cuma milik aku. Cuma aku yang boleh kamu perhatiin!"

Aku mengangguk kuat-kuat hanya supaya bisa lebih meyakinkannya. "Iya, Sayang. Maaf karena aku udah nyakitin kamu. Aku janji, mulai sekarang cuma bakalan ada kamu. Udah, jangan nangis lagi," ujarku seraya mengusap pipi Fina yang lembab, menghapus bekas air matanya.

Fina mendengus. "Janji kamu tuh seringnya bualan semata. Awas aja kalau ingkar lagi. Aku habisin kamu nanti!"

Ancamannya hanya aku tanggapi dengan senyuman. "Iya, Sayang. Tenang aja. Aku cinta kamu."

Fina lantas tersenyum, lalu memberikan aku ciuman mesra.

Nama gadis itu Fina Mayang Sari. Kekasihku. Sosok gadis paling menawan dan cantik yang pernah aku kenal. Seseorang yang penuh perhatian, aktif, pun manis. Setiap kali aku jauh darinya, dia tak akan pernah lupa mengirimkan pesan dan bertanya; aku sedang apa, bersama siapa, akan pulang kapan, di mana, dan lain sebagainya. Yang mana, jawabanku tak akan pernah bisa membuatnya puas sebelum aku benar-benar sudah muncul di hadapannya. Membuat aku merasa memiliki arti lebih dalam hidupnya.

Untuk pertama kalinya, ada sosok yang tulus yang ingin berada di sisiku dan memberikan aku segenap perhatian. Mewarnai kembali hidupku yang tadinya terasa suram karena sudah seringkali dicampakkan bahkan diolok-olok oleh banyak orang.

Aku terbuang. Lalu Fina menemukanku. Mempertemukan aku pada jalan hidup dan duniaku yang baru, yaitu dirinya.

Tanpa Fina, aku tak yakin aku sanggup menjalani kehidupan ini. Aku sungguh mencintainya.

"Ji, tugas dari Pak Bram kemarin udah kamu tulis belum?"

Aku mengabaikan pertanyaan itu. Hanya terus berjalan sambil berlagak tak mengenalinya.

"Ji, woi. Aku nanya kamu. Kamu kenapa, sih? Kamu marah sama aku?"

Aku berhenti melangkah. Menoleh menatap sosok pemuda kurus yang aku kenali tapi tak ingin aku ingat namanya. Di hidupku hanya boleh ada Fina seorang, tak ada yang lain.

"Siapa kamu?"

Pertanyaan balasan dariku membuat sosok ini tersentak. Tiba-tiba saja tawa tertahannya terdengar. "Kamu lagi becanda, ya? Ini aku, Ali. Kamu sama aku, sama Dika udah jadi kawan di kampus sejak setahunan ini. Masa sih kamu lupa?"

Aku tak mengindahkan penjelasan itu. Memilih membuang muka seraya membetulkan posisi tas di punggung. "Aku gak kenal kalian semua. Minggir."

Tubuh besarku sedikit menyenggol sosok kurus yang hanya mampu bergeming ini. Berhasil membuatnya menyingkir dari jalanku.

Setiap sapaan, pertanyaan, senyuman dan panggilan yang orang-orang tujukan padaku hanya perlu aku tak acuhkan. Aku tak mau peduli. Mereka tidak penting.

Dalam hidup, aku cuma butuh Fina. Tak ada yang lain. Hanya dia satu-satunya.

"Oji!"

Suara yang tak asing kembali terdengar menyebut namaku. Dan aku tak berniat menghentikan langkah sekalipun sosok itu sudah berdiri menghadang langkahku.

"Oji! Kemarin kenapa nomor kamu gak bisa dihubungi? Padahal Zi masih mau nanyain banyak soal tugas--"

"Kamu siapa?"

Sosok gadis berkerudung di depanku ini menunjukkan reaksi yang tak jauh berbeda dari si laki-laki kurus yang ketemui sebelumnya.

"K-kamu kenapa, Ji? Kamu marah sama Zi?" Aku mendengus tak menanggapi pertanyaan itu. Selekasnya lanjut melangkah melewatinya. | Cerpen Sedih Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta

"Ji? Oji? Zi masih mau ngomong! Ji!"

Berhenti berlagak seolah kalian mengenalku dengan baik.

Lagi pula, ada apa dengan orang-orang ini? Kenapa mendadak banyak dari mereka yang seolah menguji kesetiaanku pada Fina? Untung saja Fina sudah tak kuliah. Kalau saja dia berada di kampus ini dan memperhatikan segala hal yang aku alami, sudah tentu aku bisa langsung dihabisi olehnya.

Ah, kelupaan. Aku 'kan belum sempat membeli ponsel dan juga simcard baru. Jangan sampai Fina mengkhawatirkanku, pun membuatnya berpikiran yang tidak-tidak. Aku harus selalu ada untuknya. Tak boleh sampai menyakiti dan membuatnya kecewa.

"Beli hape baru lagi ya, Mas?"

Tukang konter langgananku bertanya dengan raut muka tak enak. Mungkin dia bosan melihat aku lagi-lagi membeli ponsel bekas ke tempatnya.

Ya. Aku membeli ponsel bekas yang murah. Yang layarnya hitam putih, dengan menu terbatas. Yang tak ada fitur kamera. Yang bukan Android. Yang tak mendukung fitur menginstal aplikasi bahkan tak mampu sekadar mengunduh file. Soalnya Fina kalau mengamuk seringnya menghancurkan ponsel. Jadi, aku cari aman dengan cara menggantinya ke ponsel yang murahan saja. Biar hemat.

Selekas mendaftarkan kartu teleponku yang baru. Aku segera saja menghubungi nomor Fina.

'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.'

Aku tersentak.

Sekali lagi mencoba menghubungi nomor Fina. Dan jawaban yang terdengar masih sama. Seketika saja perasaanku menjadi tak keruan.

Bagaimana ini? Apakah terjadi sesuatu pada Fina? Apa yang sedang dilakukannya? Apakah dia tengah bersama seseorang sampai harus repot-repot mematikan ponsel untuk mengabaikan panggilan dariku?

"Ah! Gimana ini? Apa yang harus aku lakuin?"

Melihat raut mukaku yang pasti panik, membuat tukang konter bertanya ragu-ragu, "Mas-nya kenapa? Ada masalah?"

Aku menekan-nekan keypad ponsel dengan kencang, setelah itu menjawab, "Nomor hape pacar saya nggak aktif, Mas. Dia kenapa, ya? Dia di mana? Saya takut!"

"T-tenang, Mas!" Tukang konter ini jadi seolah ketularan panikku. "Mungkin aja hapenya mati, lagi di-cas dulu. Mas tunggu aja. Nanti mungkin akan aktif lagi nomornya. Atau kalau nggak, mas datangin aja rumahnya."

Aku mengerling lesu begitu diperdengarkan penuturan tadi. "Rumah siapa, Mas?" tanyaku.

"Ya rumah pacar, Mas. Siapa lagi?"

Rumah Fina, ya. Benar juga. Aku sebaiknya mendatangi rumahnya saja.

Setelah mengambil kembalian dari pembelian ponsel dan kartu, aku langsung melangkah pergi dari konter. Harus segera menemui Fina. Tak tenang kalau aku belum menemuinya.

Aku takut dia sedang bersama orang lain. Atau lebih parahnya, dia tengah berada dalam bahaya. Itu tidak bagus. Jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk pada Fina-ku tercinta.

Tak berapa lama, aku tiba di rumahku sendiri. Sebab, aku dan Fina sudah tinggal bersama sejak lama. Aku dan dirinya tak bisa terpisahkan meskipun nyawa sebagai taruhannya.

Aku membuka pintu rumah yang tak dikunci. Masuk ke dalam, lalu meletakkan tas ke atas sofa. Sesudah itu melangkah menuju ke ruang bawah tanah. Di mana kamar Fina berada.

Pintu dari satu-satunya kamar yang ada di ruang bawah ini aku buka. Sedikit demi sedikit membiaskan cahaya ke dalam ruangan yang sempit dan gelap ini, memperlihatkan padaku sesosok gadis ayu yang tengah meringkuk di sudut kamar. Kedua kaki dan tangannya terikat. Mulutnya terbungkam kain. Dan kedua matanya tampak melotot ketakutan begitu melihat kedatanganku. Suaranya yang teredam di balik kain terdengar meronta-ronta.

"Fina, Sayang!"

Aku berlari menghampirinya. Memberikan Fina pelukan, ciuman, tak lupa membelai setiap inci wajah ayunya yang penuh memar. Luka-luka yang membekas di setiap jengkal kulit tubuhnya aku usap lelmbut, seraya berdecak penuh iba. Sebuah ponsel yang rusak yang berada di dekat tubuh Fina aku ambil, untuk kemudian aku banting ke lantai sampai hancur lebur.

"Kamu mau coba cari bantuan lagi, ya? Apa gak cukup aku ada di hidup kamu? Apa gak cukup kita berdua sama-sama saling melengkapi tanpa harus mencari orang lain buat ikut campur, hah?"

PLAK!

Selesai mengamuk, aku menampar wajah Fina sampai membuatnya tersungkur. Bahunya berguncang. Dia mulai menangis lagi dan lagi. Dan aku menyesal.

Tubuh rapuhnya aku peluk. "Maafin aku, Sayang. Maaf. Kamu tau aku ngelakuin ini biar kamu tetap jadi milikku. Aku gak mau kehilangan kamu. Aku takut kamu pergi. Aku nggak mau sampai kamu ngamuk-ngamuk dan marah sambil ngancam buat ninggalin aku kayak beberapa minggu lalu. Please," mohonku lantas melanjutkan, "jadilah sosok Fina seperti yang aku inginkan. Aku cuma butuh itu, Sayang. Ya?"

Fina bergeming. Dia tak merespons. Hanya kedua bahunya saja yang masih terasa gemetaran.

Aku tersenyum. Mengecup lembut pipi kotornya yang sangat menggemaskan. "Aku cinta kamu, Sayang. Dengan aku, kamu aman."

Aku pastikan Fina akan selalu aman bersamaku.

Tak butuh orang lain untuk turut hadir dalam kehidupan kami. Karena aku dan Fina bisa saling memiliki saja sudah lebih dari cukup. | Cerpen Sedih Kisah Seorang Psikopat Yang Gila Cinta