Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku

"Weekend ini Fian biar sama aku ya, temenku ngajak piknik rame-rame. "

"Lihat, kan. Kamu masih saja egois. Memangnya cuma kamu yang punya acara piknik? Aku sama temen kantor juga punya acara. Pokoknya Fian sama aku." | Cerpen Kehidupan Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku

"Memangnya piknik kemana sih kamu?"

"Malang. Kamu palingan cuma ke Blitar kan?"

Sial, Yusa menang. Aku membatin kesal. Piknik tanpa Fian terasa kurang menyenangkan. Tetapi memang aku tidak boleh egois. Lagipula Fian belum pernah ke Malang. Di sana banyak tempat wisata keren, dia pasti senang. Apalah aku dan teman-teman perempuanku yang paling jauh mainnya ke Blitar. Hanya butuh waktu kurang dari 2 jam dari kota Kediri.

Kalian tanya kenapa aku tidak ikut serta bersama Yusa? Dia mantan suamiku, dan ini adalah acara piknik bersama teman kantornya. Aku tidak ingin Fian melihat kecanggungan kami. Juga mendengar hal negatif seputar perpisahan kami dari teman-teman kantor Yusa.

Tidak apa-apa jika kalian mengatakan kami berdua adalah orang tua egois. Aku tidak akan menyangkal. Tetapi kalian harus tahu, perceraian membuat kami berdua lebih tenang dan bahagia. Tidak ada lagi gelas pecah, debat emosional, dan tangan yang saling melukai. Terpenting, Fian, anak kami satu-satunya tidak menjadi korban pertengkaran. Ngeri membayangkan di usianya yang belum genap 3 tahun dia harus menyaksikan dan mendengar itu semua.

Awalnya aku ingin bertahan. Fian masih sangat kecil. Dia pasti tidak akan merekam pertengkaran kami dalam benaknya. Lagipula bukankah pertengkaran suami istri adalah suatu hal yang wajar? Namun beberapa kali kulihat saat marah Fian mengambil piring di rak lalu memecahkannya tepat di hadapanku. Dia juga menirukan saat aku atau Yusa bertengkar. Kekhawatiran mulai muncul. Akan tetapi belum membuatku memikirkan perceraian.

Keputusan bercerai muncul setelah aku merasa stres berkepanjangan. Keluarga Yusa yang ikut campur ditambah tekanan dari kedua orang tuaku untuk mempertahankan pernikahan semakin membuatku stres. Aku merasa tidak sanggup lagi. Rumah orang tua Yusa yang dulu terasa nyaman sekarang bagai kotak besar tanpa lubang cahaya. Gelap, pengap, sesak.

Aku merasa sendiri saat itu. Keinginanku untuk bercerai menjadikanku buruk di mata semua orang. Istri durhaka, anak tak tahu diuntung, ibu yang egois, dan beragam perkataan menyakitkan lainnya nyaris setiap hari terdengar di telingaku. Sementara saat itu, aku adalah ibu muda yang baru saja sembuh dari baby blues sydrom dan sedang berjuang mengasuh anak fulltime.

Aku tidak rela dia diasuh neneknya yang kolot. Berbagai ritual dan mitos membuatku stres karena berlawanan dengan ilmu parenting yang kudapat saat kelas ibu hamil dan informasi dari dokter maupun bidan. Jika tidak kuawasi terus, neneknya akan bersikeras menerapkan ilmu yang didapat dari universitas nenek moyang kebanggannya. Itulah awal pertengkaranku dengan Yusa.

Setiap kali aku mengeluh lelah, stres, dan bingung. Bukannya menenangkan atau memberi dukungan, dia justru menyalahkanku. Aku harus menuruti apa perkataan ibunya. Tidak jarang dia menegur karena aku dianggap ngeyel.

Dia memang anak kesayangan ibunya. Baginya ibunya adalah satu-satunya wanita sempurna. Tidak ada masakan yang lebih enak selain masakan ibunya. Itu wajar mungkin. Tetapi menjadi masalah ketika kemudian rasa cintanya membutakan. Sekalipun masakanku lebih lezat, tetap saja tidak disentuhnya.

Pekerjaan rumah yang kulakukan seolah tidak ada yang benar. Tahun pertama aku masih bersabar dan berusaha melayaninya sebaik mungkin. Setelah kehadiran Fian, aku cenderung mengabaikannya. Tidak lagi memasak, mencuci, dan menyetrika bajunya. Membuatkan minum pun jarang. Aku sibuk dengan Fian dan diriku sendiri. Suami yang tidak bisa menghargai dan mengayomi istri, mengapa harus kupedulikan?

Ini bukan berarti Yusa jahat. Aku tidak jatuh cinta dalam waktu singkat dengannya. Kami saling mengenal selama 3 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Aku bahkan mengajukan beberapa syarat, termasuk tinggal terpisah dengan ibunya. Saat itu Yusa mengiyakan. Namun kenyataannya berlawanan.

Syarat yang kuajukan pada akhirnya hanya omong kosong belaka. Dua bulan Yusa memanjakanku, seolah menuruti keinginanku. Setelahnya aku dikekang. Tidak diizinkannya bekerja, karena khawatir gajiku akan lebih tinggi darinya yang hanya lulusan SMA. Berjualan pun tidak didukungnya. Alasannya malu, dikira nanti suami tidak memberikan cukup uang. Padahal faktanya memang begitu. Gajinya harus dibagi dengan ibu dan adiknya yang masih sekolah. Itulah sekelumit masalah kami dulu. Aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut lagi. Intinya, ada beberapa masalah yang pada akhirnya membuat rumah tangga kami berantakan.

Menariknya, setelah bercerai hubungan kami justru membaik. Kami adalah partner sekarang. Saling mendukung karir masing-masing dan berusaha memberikan yang terbaik untuk Fian. Perlahan, pemikiran Yusa mulai terbuka. Pun keegoisanku dan sifatku yang dulu kekanakan perlahan hilang. Kami adalah ibu dan ayah yang ingin hidup bahagia bersama dengan anak.

Bukan berlomba-lomba membahagiakan atau mencuri perhatian, melainkan bekerja sama untuk membuat anak bahagia. | Cerpen Kehidupan Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku

Seringkali tanpa sengaja kami bersaing untuk menyenangkan Fian. Seperti soal piknik tadi contohnya. Namun salah satu dari kami pasti akan menyadari, kemudian mengalah. Contoh kecil lainnya saat moment membelikan baju untuk Fian. Aku, ibunya, tentu saja merasa paling mengerti baju apa yang disukainya. Pun model yang pantas dan bahan yang nyaman dikenakan. Sementara Yusa merasa, urusan lelaki biarlah lelaki yang mengurus. Tetap ayahnya lah yang paham tentang mode pakaian anak lelaki.

"Kamu pikir Fian itu model sehingga harus pakai baju yang modelnya macam-macam? Bagi anak yang terpenting adalah kenyamanan. Baju lebaran biar aku yang belikan. Kamu belikan sepatu saja, " kataku.

"Anak jaman sekarang harus terlihat modis. Aku tidak mau Fian berpenampilan cupu seperti ibunya," celetuk Yusa.

"Pokoknya aku saja yang belikan baju. Awas kalau kamu ikutan beli. Nanti malah kebanyakan baju."

"Bajunya Fian kebanyakan itu kan karena kamu hobi beliin dia baju. Hampir tiap bulan kamu belanja. Lagian aku cuma mau beli dua buat lebaran. Harga sepatu mahal, lebih mahal dari baju, kamu saja yang beli, "kata Yusa enteng.

Enak saja. Dia tahu, Fian sangat menyukai sepatu bergambar McQueen yang jarang ada di toko. Kami pernah membeli di sebuah pusat perbelanjaan ternama. Harganya fantastis, sepasang tiga ratus ribu lebih. Kami sampai harus patungan membelinya. Sampai rumah aku mengomel. Uang segitu bisa dapat 3 stel baju.

"Kamu sih, mengiming-imingi sepatu Mc Queen."

"Mana aku tahu harganya bakalan mahal? Aku lihat di online shop harganya murah kok."

"Iyalah murah. Barangnya dari pabrik di Jakarta. Nah yang kita beli ini impor."

Dia hanya meringis. Bagi lelaki single sepertinya mengeluarkan uang seratus dua ratus ribu hanya untuk sepatu anak kecil yang mungkin dua bulan kemudian sudah tidak muat, bukan masalah besar. Namun bagiku itu masalah. Aku khawatir Fian akan terbiasa meminta semaunya. Aku ingin mengajarinya hidup sederhana sejak dini.

"Tapi liat deh, keren banget. Beda sama sepatu tiga puluh ribuan yang kamu beli di pasar," sindirnya. Aku hanya merengut.

Yusa tertawa puas. Tidak lama aku pun ikut tertawa. Orang tidak akan menyangka kami adalah pasangan bercerai. Bukan berarti aku merasa bangga. Aku hanya ingin menunjukkan perceraian tidak selalu buruk. Kami yang awalnya teman dekat, menjadi seperti musuh setelah beberapa bulan menikah. Mungkin memang sebaiknya kami menjadi teman dekat selamanya. Benar kan? | Cerpen Kehidupan Kisah Antara Aku Dan Mantan Suamiku

- Bersambung -