Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 4

Keesokkan harinya, langkahku bergegas menuju panti.

Suasana khas pagi di panti langsung terasa ketika aku membuka pintu pagar. Beberapa oma yang sedang berjemur menyapaku dengan ramah. | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 4

Setelah bercakap sejenak, aku segera menuju ruang kantor dan sudah ada Mbak Lisa yang langsung bangkit dari duduknya ketika melihat aku datang.

“Win, semalam Oma Rima demam tinggi.”

“Iya, Mbak. Semalam, Mbak Retno telpon saya. Pagi ini gimana kondisinya, Mbak?”

“Mulai turun, tapi Oma nggak mau sarapan. Coba, Win, kamu yang bujuk.”

“Mana sarapannya, Mbak?”

“Ada di pantry. Aku simpan di sana. Yuk, kita ambil.”

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkah Mbak Lisa menuju pantry.

“Hari ini sarapan bubur sumsum, Win. Biasanya, Oma Rima suka bubur sumsum. Tapi, tadi sarapannya nggak mau disentuh.”

“Biar nanti saya suapi, Mbak,” ucapku sambil membawa baki berisi mangkok bubur.

“Terima kasih, ya, Win. Tadi, yang disentuh cuma teh manis hangatnya, aja.”

Aku mengangguk perlahan.

Dari pantry menuju kamar Oma Rima, kami kembali melewati kantor. Mbak Lisa menepuk bahuku lembut dan kembali masuk ke dalam kantor. Aku bergegas menuju kamar paling ujung, kamar Oma Rima.

Aku mengetuk pintu dua kali dan membuka pintu perlahan. Mata Oma tampak terpejam.

Kudekati tempat tidurnya dan kusentuh tangannya lembut. Mata Oma terlihat terkejut, tapi kembali terlihat tenang ketika melihat aku yang menyentuh tangannya.

“Selamat pagi, Oma.”

“Pagi, Winda,” ujarnya sambil berusaha untuk duduk.

“Rebahan aja, Oma atau duduk disangga bantal, ya. Biar nanti, aku suapi bubur sumsumnya.”

Oma Rima mengangguk perlahan, lalu aku rapikan posisi bantal agar Oma Rima dapat duduk dengan nyaman.

“Iya, bersandar di sini, Oma,” ucapku sambil membantu posisi duduknya.

Oma Rima tersenyum menatapku. Tangannya yang terasa lebih hangat daripada biasanya memegang tanganku.

“Oma, tangannya, kok, panas banget.”

“Oma nggak enak badan, Win.”

“Ayo, buburnya dimakan dulu. Biar Oma cepet sembuh,” ucapku sambil memasukkan sesendok bubur sumsum ke dalam mulut Oma Rima.

Oma membuka mulutnya lalu melahap perlahan sesendok demi sesendok bubur yang aku suapi hingga bubur itu habis. Kusodorkan segelas air hangat dan Oma segera meminumnya.

“Nah, sekarang Oma pasti lekas sembuh, soalnya Oma mau makan,” ucapku sambil tersenyum.

“Makasih, ya, Win, sudah mau menyuapi Oma.”

“Sama-sama, Oma. Oh iya, semalam Oma bisa tidur nggak?”

Wajah Oma Rima tiba-tiba terlihat murung lalu menggelengkan kepalanya perlahan.

“Kenapa, Oma? Gara-gara badannya nggak enak, ya?”

“Bukan. Oma mimpi buruk setelah itu Oma nggak bisa tidur lagi.” “Mimpi buruk apa, Oma?” “Orang-orang jahat tu!” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 4

“Orang-orang jahat apa, Oma?” tanyaku perlahan.

“Ceritanya panjang, Win.”

“Aku siap dengerin, Oma.”

Oma Rima mengembuskan napasnya perlahan lalu membetulkan posisi duduknya. Matanya terlihat meredup lalu menatap mataku.

“Oma cerita ke Winda karena Oma capek. Oma capek harus nyimpen kisah ini sendirian. Nggak ada yang bisa Oma ajak bicara. Dulu, rasanya semua ini salah Oma.”

“Iya, Oma. Oma cerita sama aku, siapa tahu setelah cerita, Oma bisa lega.”

Oma Rima mengangguk lalu memegang tanganku.

“Waktu itu, Oma baru berusia dua puluh tahun. Oma masih kuliah, di Fakultas Ekonomi. Rasanya menyenangkan sekali saat itu, Oma juga sudah punya kekasih hati.”

“Pasti ganteng, ya, Oma. Oma, kan, cantik banget.”

Oma Rima tersenyum. Matanya sempat terlihat berbinar sesaat.

“Iya, dia ganteng tapi yang utama dia baik. Sore itu, Oma ada tugas yang harus diselesaikan secara berkelompok. Rumah teman Oma, agak jauh dari rumah Oma. Setelah selesai mengerjakan tugas, Oma minta tolong untuk dijemput, tapi dia nggak bisa. Oma harus pulang sendiri.”

Oma Rima terlihat agak gelisah. Aku menggenggam erat tangannya.

“Dari semua teman Oma yang hadir, nggak ada satu pun yang searah dengan rumah Oma. Oma benar-benar harus pulang sendiri. Rumahnya jauh dan sudah mulai malam.”

“Lalu ....”

“Oma naik angkutan kota, penumpangnya tidak terlalu penuh. Malah terus turun satu-satu. Sampai akhirnya penumpangnya cuma tinggal Oma. Pas Oma tinggal sendiri itu, naik lima orang penumpang. Mukanya serem,” ucapnya sambil melepaskan genggam tanganku dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Aku merengkuh bahu Oma Rima dengan lembut. Tangan kirinya kembali menggenggam erat tanganku.

“Mereka terus menatap Oma. Oma mulai merasa nggak nyaman. Oma lalu berpikir untuk turun, baru saja Oma mau bilang berhenti ke Pak Sopir, tangan satu orang dari lima laki-laki jahat itu menekan bahu Pak Sopir dan mengancam untuk tidak melawan. Yang lain mulai tertawa keras dan memegang-megang tubuh Oma. Oma menjerit, menendang, memukul sebisa yang mampu Oma lakuin tapi mereka berlima! Pak Sopir diminta terus berjalan dan laki-laki yang duduk di belakang Pak Sopir terus mengancam.”

“Ya Tuhan,” ucapku sambil menutup mulut.

“Mereka jahat sekali, Win,” ucap Oma mulai terisak.

Aku memeluk Oma Rima. Aku turut merasakan apa yang dirasakannya.

“Mereka melakukannya, Win! Mereka melakukannya seperti binatang! Mereka jahat sekali.”

“Iya, Oma,” ujarku lirih.

“Oma pingsan. Sakit sekali! Oma sadar setelah sampai di ruangan klinik. Oma menjerit, sekuat-kuatnya. Oma takut! Sampai seorang Dokter dan Suster terus berusaha menenangkan Oma.”

“Siapa yang mengantarkan Oma ke klinik?”

“Sopir itu. Dia mengantarkan Oma ke klinik lalu pergi.”

“Lalu?”

“Oma merasa begitu jijik, begitu sakit. Oma ingin mati saat itu, tapi Dokter dan Suster terus menenangkan, Oma. Sampai akhirnya, Oma bisa menyebutkan alamat rumah. Seorang pesuruh di klinik itu diminta mencari rumah Oma dan berhasil mengajak kakak Oma untuk datang ke klinik itu. Oma sudah sempat diperiksa dan baju Oma sudah diganti waktu itu. Baju yang sempat dipakai Oma sudah terkoyak di mana-mana,” ucap Oma sambil menutup kembali wajahnya.

Bahu Oma Rima terguncang. Isaknya terdengar begitu pedih.

“Sudahlah, Oma. Kisah pahit itu sudah lama terjadinya. Coba untuk dilupakan, ya, Oma.”

“Oma nggak bisa lupa, Win. Wajah salah satu dari orang jahat itu selalu terlihat sampai saat ini.”

“Kenapa bisa begitu, Oma?”

Oma Rima menggelengkan kepalanya. Air mata terlihat membasahi pipi tuanya.

“Oma nggak sanggup menjadi pembunuh, Win, walau rasanya sakit sekali.”

“Orang jahat itu mengganggu Oma lagi?”

“Mereka nggak pernah tertangkap dan Oma pun tak pernah ingin bertemu mereka lagi.”

“Lalu kenapa wajah salah satu dari mereka selalu terlihat sama Oma?” “Karena wajah Agung sama persis dengan laki-laki itu!” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 4

- Bersambung -