Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 3

“Oma nyesel nggak deket sama cucu Oma?” “Andai Oma nggak pergi hari itu!”

“Pergi ke sini?” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 3

“Bukan, Win. Orang jahat itu,” ucap Oma sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.

Aku mengerutkan alis. Aku betul-betul tak paham apa yang dibicarakan Oma Rima.

“Orang jahat itu siapa, Oma?”

Oma Rima menggelengkan kepalanya.

“Oma letih, Win. Oma masuk kamar dulu, ya.”

Oma Rima langsung bangkit dan berjalan perlahan meninggalkan aku sebelum aku sempat mengucapkan jawaban. Aku kembali mengerutkan alis. Ada kejadian apakah di masa lalu Oma Rima?

Notif Wa-ku berbunyi, dari Tyo.

[Win, kamu ada di mana?]

[Aku ada di panti, Yo.]

[Ngapain?]

[Ngobrol sama oma.]

[Kurang kerjaan.]

Aku mengernyitkan dahi. Kata-kata Tyo membuatku malas untuk menjawab pesannya.

[Tunggu aku di situ, Win. Aku jemput.]

[Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri. Lagian kamu, kan, lagi sakit.]

[Udah enakkan, Win. Udah ya, aku jalan sekarang.]

Hpnya dimatikan. Ah, Tyo. Aku menggelengkan kepalaku perlahan.

Dua tahun sudah kami dekat, satu kampus tapi beda fakultas. Selama dua tahun ini, aku merasa dia sangat menyayangiku dengan caranya. Cara menyayangi yang berbeda dengan orang lain. Dia jarang berkata manis, jauh dari sikap yang romantis tapi sangat melindungi.

Menurut Tyo, yang penting perbuatan bukan sekadar mulut manis. Aku setuju tentang hal itu walau dalam hati kecilku terkadang aku juga ingin dia bisa bersikap lebih romantis.

Sambil menunggu Tyo, aku mengingat perbincanganku dengan Oma Rima. Aku tak mengerti apa yang diucapkannya.

Orang jahat. Orang jahat apa maksudnya? Tak mungkin Oma Rima menganggap putranya adalah orang jahat. Lalu, pergi kemana saat itu? Yang membuat Oma Rima menyesal hingga saat ini.

Ah, benar apa yang dibilang Mbak Lisa, Oma Rima memang misterius.

Notif WA-ku kembali berbunyi. Tyo yang mengirim pesan.

[Kamu dimana? Aku di depan.]

[Iya. Tunggu sebentar.]

Aku segera bangkit dan menuju kantor untuk mengambil berkas skripsi sekalian berpamitan dengan pengurus panti. Lalu melangkah cepat menuju pintu depan panti. Tyo sudah menunggu di sana, di atas motor.

“Maaf, tadi ada di belakang, Yo.”

“Nggak apa-apa. Nih, pakai jaket dulu. Kamu pasti nggak bawa jaket,” ujarnya sambil memberikan jaket yang dibawanya ke tanganku.

Aku tersenyum lalu jaket itu segera kupakai. Dia menatapku lembut.

“Jalan, yuk, Yo,” ajakku sambil memakai helm.

“Kemana?”

“Eh, nggak jadi, deh. Kamu, kan, baru enakkan.”

“Nggak apa-apa, Win. Mau kemana?”

“Pantai?”

“Ayo. Cepet naik! Biar nggak kesorean.”

Aku tersenyum lalu segera naik ke atas motor. Motor melaju membelah lalu lintas menuju pantai di sebelah utara kota.

Angin berembus cukup kencang menyambut kedatangan kami. Tyo mencari tempat yang nyaman di pantai yang tidak terlalu ramai sore ini.

“Duduk di sana, aja, ya,” ucap Tyo sambil mematikan mesin motor. Aku mengangguk.

Kursi di bawah pohon itu langsung menghadap ke arah laut. Rasanya pasti menyenangkan melihat matahari terbenam satu jam lagi. | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 3

“Kamu ngapain, sih, tadi ke panti lagi, Win?” tanya Tyo begitu kami duduk di kursi ini.

“Hmmm, mau ketemu Oma Rima,” jawabku sambil tersenyum.

“Buat apa?”

“Lho, dia, kan, calon oma aku, Yo.”

Tyo mengembuskan napasnya dengan keras lalu mengalihkan pandangannya ke arah laut.

“Eh, salah, ya. Kita, kan, belum tentu jodoh,” ucapku lirih.

“Bukan itu maksud aku, Win. Oma Rima itu nggak seperti seorang oma buat aku. Jadi buat apa, kamu ngedeketin dia?”

“Kamu, kok, ngomongnya gitu, sih, Yo?”

“Dia nggak pernah menganggap cucu dan keluarganya ada.”

“Maksudnya?”

“Dia sibuk dengan dunianya sendiri.”

“Tapi, dia bilang rindu sama cucu-cucunya, Yo.”

“Karena dia tahu, kamu deket sama aku.”

“Geer. Aku nggak bilang kenal sama kamu, kok.”

Tyo terdiam lalu menatapku.

“Dia cerita apa aja?”

“Bilang, ‘andai waktu bisa diulang' terus dia ngomong beberapa hal yang aku nggak ngerti, Yo.”

“Apa?”

“Oma Rima bilang, ‘andai aku nggak pergi hari itu' terus ‘orang jahat', ah, aku nggak ngerti, Yo. Ada kisah pahit apa, sih, di kehidupan oma kamu? Terus kenapa kamu bilang dia sibuk dengan dunianya sendiri?”

“Aku juga nggak ngerti apa yang dia omongin. Hmmm, sejak kecil, yang aku inget Oma jarang sekali hadir kalau ada acara keluarga. Oma itu wanita yang nggak peduli sama keluarganya. Aku dulu pernah denger papa sama Tante Rini nanya ke Oma, sayangkah Oma sama mereka, tapi Oma diem aja.”

“Opa kamu di mana, Yo?”

“Aku cuma punya kakek dan nenek lengkap dari mama. Mereka dekat sama cucu-cucunya. Kalau dari papa, aku cuma tahu punya oma tapi tentang opa, aku sama sekali nggak tahu.”

“Papa nggak pernah cerita?”

“Nggak. Papa lebih pendiem daripada aku.”

“Kamu nggak pengen deketin Oma Rima, Yo?”

“Buat apa? Dia nggak pernah ngerasa punya cucu.”

“Nggak pengen tahu, kenapa dia begitu?”

“Mungkin karena dia nggak sayang keluarganya.”

“Mungkin juga karena ada masa lalu yang pahit di kehidupannya, Yo.”

“Entah, aku canggung kalau deket-deket dia. Rasanya asing.”

“Oma kamu cantik.”

“Buat apa cantik kalau dingin. Ngomong aja jarang.”

Aku terdiam. Lalu kugenggam tangan Tyo lembut.

“Aku coba menghangatkan hatinya ya, Yo. Biar Oma bisa bersikap hangat dengan cucu-cucunya.”

“Nggak perlu, Win.”

“Aku sedih kalau inget Oma kamu nangis waktu itu.”

“Mungkin hal lain yang dia tangisi. Bukan keluarganya.”

“Oma bilang kangen cucu-cucunya, Yo.”

“Terserah kamu, Win. Tapi menurut aku, kamu nggak perlu repot-repot.”

“Oke, sekarang kita nggak usah bahas tentang Oma dulu. Aku mau lihat itu, Yo,” ujarku sambil menunjuk ke arah matahari yang siap terbenam. Tyo tersenyum sekilas lalu menatap ke arah yang sama.

Setelah matahari terbenam, Tyo mengantarkan aku pulang. Setelah mandi dan makan malam, mataku rasanya sudah ingin terpejam ketika dering telponku berbunyi. Mbak Retno yang menelpon.

“Malem, Mbak.”

“Malem, Win. Maaf Mbak ganggu. Besok Winda bisa ke panti, kan?”

“Bisa, ada apa, Mbak?”

“Oma Rima sakit, Win. Tadi sempet menjerit histeris waktu tidur, mungkin mimpi buruk. Sekarang suhu badannya tinggi tapi sudah dikasih obat penurun panas. Besok tolong ditemenin ya, Win. Oma Rima keliatannya sayang sama kamu, kalau sama yang lain susah dideketinnya.”

“Iya, Mbak.”

“Tadi, waktu menjerit itu, dia bilang ‘jangan' berulang-ulang. Tolong, dibantu ya, Win.”

“Siap, Mbak.”

“Oke, selamat malam, Winda.”

“Malam, Mbak.”

Telpon kumatikan. Hmmm, mimpi buruk tentang apakah Oma? Apa ada hubungannya dengan orang jahat yang tadi sempat dikatakannya? | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 3

- Bersambung -