Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 2

Aku mengerutkan alis. “Ya ampun, Yo. Ayo masuk dulu.

Temuin Oma Rima. Beliau kangen sama keluarganya.” “Lain kali aja. Yuk, pulang, Win,” ujarnya sambil menyalakan mesin motor. | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 2

“Kamu, kok, gitu, sih.”

Tyo diam membisu, wajahnya tidak mau menatap wajahku. Aku mengangkat bahu lalu naik ke motornya. Mungkin, Tyo ingin cepat sampai di rumahnya karena sudah lelah.

Begitu banyak hal yang berkecamuk di pikiranku. Berjuta tanya terlintas. Mengapa sikap Tyo begitu dingin. Ada masalah apa sebenarnya?

“Win, mau beli wedang ronde nggak?”

“Mau.”

Motor lalu berbelok menuju tempat penjual wedang ronde kesukaanku.

Ah, aku pikir, Tyo ingin cepat pulang, ternyata malah mengajakku mampir dulu.

Motor mulai melambat, Tyo parkir tak jauh dari gerobak wedang ronde kesukaanku.

“Yuk, turun.”

Aku mengangguk. Tangannya lalu menggenggam tanganku. Entah kenapa, aku merasa tangannya agak dingin.

“Tangan kamu, kok, dingin banget, Yo. Kamu nggak enak badan, ya?”

“Kayak mau flu, Win.”

“Mudah-mudahan abis makan wedang ronde, badannya enakkan, ya.”

Dia mengangguk lalu menarik kursi untuk aku duduk. Tyo lalu memesan dua mangkok wedang ronde, kemudian duduk di depanku.

“Pantesan tadi nggak mau diajak mampir, Yo. Bilang, dong, kalau lagi nggak enak badan,” ujarku sambil tersenyum.

Dia tersenyum tapi matanya tak mau menatapku.

Dua mangkok wedang ronde terhidang di meja, abang penjual wedang tersenyum melihatku. Aku memang pelanggan setianya.

“Dimakan dulu, Yo. Biar hangat badannya.”

Dia mengangguk.

“Yo, kamu kok nggak pernah cerita masih punya oma, sih?” tanyaku disela menyantap wedang ronde.

Tyo menatapku, lalu mengembuskan napas dengan keras.

“Nggak penting.”

“Kok, nggak penting?”

“Sayang, aku lagi nggak pengen ngebahas hal itu, ya,” ujarnya tegas.

Aku menatapnya. Ada ekspresi wajah yang aku kenal. Dia tak suka dengan pertanyaanku barusan.

“Ya udah, aku nggak tanya lagi.”

Dia menarik napas, lalu menatapku sekilas. Kemudian kembali memasukkan isi wedang ronde ke dalam mulutnya.

“Yo, kalau besok masih nggak enak badan nggak usah nganter aku ke kampus. Aku bisa pergi sendiri.”

“Besok pagi, aku kabarin, ya. Udah, yuk, kita pulang, Win. Udah malem.”

Aku pun mengangguk.

Keesokkan paginya, suara notif WA terdengar ketika aku sedang bersiap berangkat ke kampus.

[Pagi, Win.]

[Pagi, Yo. Udah enak belum badannya?]

[Sepertinya, kamu harus pergi sendiri, Win. Aku flu berat, nih.] [Iya, nggak apa-apa, Yo. Kamu istirahat, aja. Cepet sembuh ya, Yo.]

[Makasih, ya, Win.] | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 2

Hp aku matikan dan aku siap untuk berangkat. Hari ini aku harus ke kampus karena ada yang harus didiskusikan dengan dosen pembimbing skripsiku. Semoga tidak terlalu lama. Rasa penasaranku tentang Oma Rima masih selalu menggoda.

Sepulang dari kampus, aku langsung menuju ke panti werdha. Suasana sepi terasa ketika aku memasuki ruang depan. Hmmm, pukul 13.30, para penghuni panti pasti sedang beristirahat.

Kulangkahkan kaki menuju ruang kantor dan bertemu dengan Mbak Lisa di sana.

“Hai, Win. Tumben hari ini ke sini.”

“Abis dari kampus, Mbak. Mampir deh sekalian. Mbak Lisa, lihat Oma Rima, nggak?”

“Tadi, sih, lihat. Lagi ngelamun di halaman belakang. Mbak ajak ngobrol cuma senyum aja. Susah emang ngajak ngobrol sama oma yang satu itu. Kadang suka keliatan misterius.”

“Masa, sih, Mbak? Kemarin, Oma Rima mau ngobrol sama saya.”

“Itu, makanya saya heran waktu Retno kemaren cerita, kamu bisa ngobrol sama oma yang satu itu. Heran, keluarganya juga jarang nengok.”

“Iya. Kenapa, ya, Mbak? Sibuk apa nggak peduli?”

“Saya nggak tahu, Win. Semoga, sih, bukan karena nggak peduli. Kasihan rasanya melihat seorang ibu dibiarkan tanpa diperhatikan putra-putrinya. Tinggal di panti werdha, kan, bukan berarti mereka bisa lepas tangan begitu, aja. Orang tua mereka, kan, bukan barang. Dititipkan tanpa merasa perlu memperhatikan.”

“Betul, Mbak Lisa. Rasanya sedih, apalagi waktu kemaren ngelihat Oma Rima nangis, terus bilang kangen.”

“Iya, andai mudah dideketin, Mbak juga mau jadi tempat curhatnya. Coba, kamu hibur, Win.”

“Iya, Mbak. Saya ke halaman belakang, dulu, ya.”

Mbak Lisa mengangguk. Aku lalu melangkah menuju lemari kecil, untuk menyimpan berkas-berkas skripsi. Kemudian aku melangkah keluar menuju halaman belakang. Di sana aku melihat Oma Rima sedang menatap kosong ke arah kebun buah.

“Siang, Oma,” sapaku sambil duduk di sampingnya.

“Eh, Winda. Oma pikir hari ini Winda nggak ke sini.”

“Harusnya, sih, emang nggak, Oma. Tapi, aku kangen sama, Oma.”

“Ya, ampun, Win. Kamu bisa aja bikin hati Oma seneng,” ujarnya sambil menatapku penuh senyum.

“Oma ngapain di sini, sendirian?”

“Hmmm, cuma ngilangin rasa sedih.”

“Oma kangen cucu, ya?”

Oma Rima tersenyum. Lalu menggenggam tanganku.

“Oma selalu kangen dengan cucu-cucu Oma.”

“Cucu Oma ada berapa?”

“Ada empat, Win. Yang paling besar, sepertinya seumur Winda.”

“Laki-laki atau perempuan, Oma?”

“Yang paling besar, laki-laki. Lalu yang dua perempuan kemudian cucu Oma yang paling kecil, laki-laki.”

“Mereka pernah nengok Oma ke sini?”

Oma Rima terdiam. Wajah cantiknya terlihat murung. Lalu perlahan menggeleng.

“Oma emangnya nggak pernah minta mereka dateng?”

“Mereka nggak deket sama Oma.”

“Lho, kenapa?” Oma Rima menunduk sejenak kemudian menatapku. Matanya terlihat berkaca. “Andai waktu bisa diulang, Win.” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan Part 2

- Bersambung -