Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan

Suara isak lirih itu membuatku tergugah.

Membuatku bangkit dari kursi di depan ruang petugas panti dan melangkah mendekatinya. Isaknya sungguh membuatku merasa iba. | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan

“Kenapa, Oma? Kok, nangis?”

Dia menatapku sambil terus terisak. Tatapan matanya mengingatkanku pada mama bila sedang bersedih.

“Kenapa, Oma? Cerita, dong, sama aku,” ujarku sambil memegang tangan kirinya lembut.

“Oma kangen, Mbak.”

“Sabar, ya, Oma. Nanti, keluarga Oma pasti main ke sini, nengok Oma.”

Beliau menggelengkan kepalanya perlahan. Aku sedih melihatnya. Kupegang kedua tangannya dan mengajaknya berjalan-jalan ke halaman belakang.

Halaman panti werdha ini memang sangat luas. Di halaman belakang, para oma dan opa yang suka bercocok tanam seringkali diajak membantu petugas panti untuk merawat tanaman. Kesibukan bermanfaat yang menyehatkan.

Udara terasa segar, aku mengajaknya berbincang tentang berbagai pohon buah yang telah rimbun daun-daunnya. Beliau mulai tersenyum ketika aku menceritakan tentang kenakalan kecilku yang senang memanjat pohon dan membuat mama khawatir. Aku tersenyum melihatnya tersenyum.

“Andai cucu Oma seperti kamu, Oma pasti senang sekali, Mbak.”

“Kalau begitu, anggap aja aku itu cucu Oma. Panggil aku, Winda, Oma. Aku setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat ada di sini. Membantu para petugas menemani seluruh oma dan opa."

“Terima kasih, Winda. Sudah mau menemani Oma.”

“Dengan senang hati, Oma. Oma jangan sedih lagi, ya. Kalau Oma kangen, Oma bisa cerita sama aku. Jangan nangis lagi.”

Beliau mengangguk lalu tersenyum.

Setelah beliau terlihat lebih tenang, aku lalu mengajaknya kembali ke ruang dalam. Angin terasa lebih kencang bertiup dan langit pun mulai pekat, sepertinya hujan akan segera turun.

Begitu sampai ke ruang dalam, gerimis pun turun. Aku mengantarkan beliau hingga ke depan kamarnya. Beliau tersenyum dan memelukku erat.

“Terima kasih, Winda,” bisiknya lirih sambil melepaskan pelukan.

“Sama-sama, Oma,” ucapku tulus lalu pamit kepadanya.

Aku melangkah meninggalkan kamar oma dengan langkah ringan. Rasanya menyenangkan membantu oma yang sedang rindu dengan keluarganya. Hati ini terasa hangat.

“Winda, kamu dari mana?” tanya Mbak Retno, petugas panti yang berpapasan denganku.

“Habis nemenin oma yang tadi nangis, Mbak.”

“Oma yang mana?”

“Oma yang kamarnya di ujung, Mbak. Oma yang waktu mudanya pasti cantik banget.”

“Oma Rima?”

“Hehehe, aku lupa nanyain namanya, Mbak,” jawabku sambil tertawa.

“Kalau yang kamarnya di ujung dan cantik, itu pasti Oma Rima. Kasihan dia.”

“Kasihan kenapa, Mbak?” “Ayo, aku ceritain di kantor.” Aku mengangguk dan mengikuti langkah Mbak Retno menuju kantor.

Namanya Rima Tresnasih, berusia 68 tahun dan masih menampakkan kecantikannya di usia yang sudah tidak terbilang muda. Oma cantik ini tinggal di panti sejak dua tahun yang lalu. Dibawa oleh seorang pria dan seorang sopir, kata Mbak Retno. | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan

Sikapnya ketika datang terlihat kurang ramah, mungkin karena beliau tidak suka dibawa ke tempat ini.

Gayanya seperti dari kalangan atas, tidak mau berbaur dengan para penghuni yang lain. Namun, lama kelamaan sikapnya sedikit berubah. Beliau mulai mau membuka diri dan mempunyai beberapa orang teman yang dianggapnya setingkat dengannya.

Hal yang menyedihkan, Oma Rima jarang dikunjungi. Sangat jarang, bisa dihitung dengan jari. Itu pun, mereka tidak terlihat akrab.

Keluarga yang datang hanya berbicara seperlunya lalu Oma Rima menanggapi juga seadanya.

“Kok, bisa seperti itu, ya, Mbak?”

“Aku juga nggak ngerti, Win. Mereka seperti tidak saling rindu padahal kalau keluarganya sudah lama nggak dateng, Oma Rima sering menangis. Seperti yang kamu lihat tadi.”

“Kalau pembayarannya lancar, Mbak?”

“Lancar sekali. Mereka sepertinya keluarga yang berada tapi nggak mau mengurus orang tua.”

“Keterlaluan sekali keluarganya.”

“Ya, sebenernya dirawat di panti werdha ini juga menguntungkan untuk kaum lansia, karena di sini banyak aktivitas yang bisa dilakukan, tapi tentu saja perhatian dari keluarga tetap diperlukan.”

“Kalau aku, sih, lebih memilih untuk merawat mama dan papa di rumah saat mereka berusia lanjut nanti, Mbak.”

“Iya, itu pilihan terbaik. Tapi untuk kaum lansia yang tidak ada mengurus, panti werdha bisa jadi salah satu solusi, Win.”

“Iya, Mbak. Kembali ke Oma Rima. Aku, kok, ngerasa aneh, ya.”

“Aneh kenapa, Win?”

“Kalau dia seperti dari kalangan atas, kenapa dia nggak punya kekuatan untuk melawan kalau nggak mau tinggal di sini?”

“Aku juga nggak tahu, Win.”

“Mbak Retno nggak pernah tanya?”

“Dia nggak gampang didekati, makanya heran denger kamu bisa ngajak dia ngobrol.”

Aku tersenyum. Mbak Retno menepuk bahuku lalu melangkah menuju ruang arsip.

Waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 ketika Tyo menjemputku. Wajahnya terlihat tak suka.

“Kamu ngapain, sih, pakai jadi relawan segala.”

“Aku cuma ingin berbuat sesuatu, Yo. Kuliahku, kan, sekarang tinggal skripsi. Aku bisa membantu para petugas dengan mendengarkan keluh kesah para penghuni panti. Kamu tadi nggak nyasar, kan, nyari alamatnya?”

“Nggak.”

“Baru sehari, sudah ada oma cantik yang mau aku temani, Yo,” ujarku sambil memakai jaket.

“Hmmm.”

“Kasihan, namanya Oma Rima. Orangnya cantik, tinggi, punya tahi lalat di dekat matanya. Kalau senyum, manis sekali. Dia tadi nangis. Keluarganya jahat. Nggak ada yang mau nengokin. Keluarga macam apa itu, ya, Yo.”

“Mungkin karena kelakuannya.”

“Ah, kelakuan apa? Keluarganya, aja, yang tega. Sudah usia lanjut malah ditinggal di sini. Jarang ditengok lagi. Jahat banget!”

“Udah selesai ngomongnya?’

“Kamu kenapa, sih, Yo?”

“Nggak apa-apa.”

“Nanti, kalau kamu lagi senggang, aku kenalin kamu ke Oma Rima, ya, Yo,” ujarku sambil menatapnya. “Nggak perlu.” “Kenapa?” | Cerpen Kehidupan Kisah Sebuah Cermin Winda Di Panti Asuhan

“Dia, omaku.”

- Bersambung -