Wanita Yang Kau Benci Itu Adalah Aku

Pemuda itu berjalan menelusuri trotoar. Ia bingung mau melangkahkan kaki kemana. Sebagai orang baru, ia begitu asing dengan daerah ini. | Cerpen Sedih Wanita Yang Kau Benci Itu Adalah Aku

Ia ingin segera mencari kost-kostan, kalau bisa yang dekat dengan kampus. Dengan demikian ia tak perlu merogoh kocek lebih untuk transportasi. Tapi dimana?

Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah tempat kost berlantai dua, tak jauh dari tempat pemuda itu berada.

'MENERIMA ANAK KOST PRIA'

Dengan perasaan lega ia melangkahkan kaki ke sana.

"Semoga masih ada kamar kosong," desisnya pelan. Mengingat ini tahun ajaran baru dan tempat ini lumayan strategis, dekat dengan kampus. Tentu saja menjadi incaran mahasiswa baru seperti dirinya.

"Assalamu'alaikum, permisi, Tante." Pemuda itu memberi salam pada seorang wanita yang tengah menyiram bunga di sebuah halaman sebelah kost-an itu.

"Waalaikum salam. Ya, ada yang bisa saya bantu?" sahutnya ramah. Seulas senyum tipis menghias sudut bibirnya. Sesaat bocah lelaki itu terdiam, ia seperti tidak asing dengan wajah itu. Tapi siapa? Ah sudahlah! Mungkin wajahnya emang familiar.

"Saya ingin bertemu dengan pemilik kost sebelah, dimana saya bisa menemuinya."

"Kamu bertanya pada orang yang tepat, mari silakan. Kebetulan ini kost-kostan milik saya," sahut wanita itu mempersilakan masuk. Lalu mempersilahkan pemuda itu duduk di kursi teras.

Setelah bertransaksi dan mencapai kata sepakat, pemuda itu menerima kunci salah satu bilik dari wanita yang detik ini resmi jadi ibu kost nya.

"Semoga betah ya." Si Ibu kost berbasa-basi.

"Aamiin ..., makasih, Tante."

Sore itu Airin tengah duduk santai di kursi teras belakang rumahnya. Membaca tulisannya yang dimuat sebuah majalah wanita. Ya, disela kesibukan ia kembali menyempatkan diri menekuni hobi yang sudah lama ia tinggalkan. Ternyata bakat terpendam itu kini menjadi teman setia setelah suami tercinta pergi untuk selamanya.

"Duarrr, ish ... Mami ngelamun." Sebuah tepukan di pundaknya mengagetkan Airin.

"Poppy ..., kalau Mami jantungan gimana?" deliknya pada sang putri yang tiba-tiba mengganggu aktivitasnya.

Gadis cantik itu tertawa memperlihatkan lesung di kedua pipi. Dia persis almarhum ayahnya, wajah dan juga sifat. Baik hati dan sedikit usil. Meski tidak terlahir dari rahimnya, ia sangat menyayangi gadis ini.

Poppy menjatuhkan pinggul di samping Airin. Memeluk wanita itu dan mencubit kedua pipinya gemes.

"Sayang banget ama Mami," ujarnya greget.

Wanita itu menatap putrinya heran, "Poppy, jangan perlakukan Mami seperti anak kecil," gumamnya. Ia geleng-geleng kepala melihat kelakuan remaja yang beberapa bulan lagi berusia 18 tahun itu.

Sang putri terkekeh.

"Entahlah, Mami emang menggemaskan. Pantas Papi sangat sayang sama Mami," sahutnya.

Sesaat mereka berdua saling terdiam. Ucapan gadis itu tak pelak mencuatkan kerinduan kepada sang kepala keluarga yang telah meninggalkan mereka untuk selamanya.

"Ma'af Mi." Gadis itu berucap saat melihat wajah Airin yang tiba-tiba murung.

Airin memeluk putrinya itu dan mengusap kepalanya penuh kasih.

"Tak apa, Mami ngerti, pasti kamu kangen sama Papi ya?"

"Hu'um, Mi." Bola mata indah itu berkaca-kaca.

"Dengar Sayang, kamu tak sendiri. Ada Mami yang akan selalu menjagamu. Kita telah berjanji akan saling berbagi kan? Kita harus buat papi bangga karena memiliki kita," ucap Airin sambil menatap wajah putih bersih itu.

"Terima kasih, Mi." Ia mengangguk, lalu membalas pelukan Airin hangat, wanita yang dinikahi ayahnya 13 tahun lalu. Meski saat itu sempat ia tolak, seiring berjalannya waktu Airin bisa membuktikan bahwa ia layak untuk dicintai.

Bahkan setelah Papinya meninggalkan mereka. Cinta Airin padanya sama sekali tak berubah, malah makin sayang. Poppy sadar betapa beruntungnya dia.

Gadis itu menjatuhkan kepala manja di pangkuan Airin. Hal yang kerap ia lakukan sejak masih kecil. Tak jarang ia tertidur di sana.

Sementara dari balik tembok samping rumah mereka sepasang mata menatap kedekatan mereka dengan tatapan iri. Andai saja ia punya ibu seperti Airin.

Hampir 20 tahun usianya tak pernah sekalipun ia merasakan nyamannya tidur dalam dekapan sang bunda. Semula ia menganggap bahwa nenek yang telah membesarkannya adalah ibu kandungnya. Apalagi sedari kecil ia terbiasa memanggil dengan sebutan 'Emak'.

Hingga ia duduk di kelas 3 SMP, saat itu mantan tetangganya yang pindah keluar kota berkunjung.

"Anaknya Rina tampan ya?" Tidak bermaksud menguping, tapi obrolan wanita itu dengan Emak singgah di telinganya.

Penasaran siapa yang dimaksud akhirnya ia memutuskan untuk mencuri dengar. Lama tak ada jawaban. Rasa ingin tahu makin membuatnya menajamkan pendengaran.

"Memangnya Rina gak pernah pulang?" Lagi-lagi suara si tamu yang ia dengar.

Pemuda itu melongok dari balik pintu. Ia melihat Emak menggeleng, "mungkin ia lupa pernah melahirkan," sahutnya lirih.

Siapa Rina? Apa hubungannya dengan Emak? Lalu siapa yang mereka maksud? Pertanyaan itu terus menghantui hingga ia lulus SMP. Mau bertanya tak punya keberanian, lagi pula ia tak tau apa yang harus ditanyakan.

Hingga tiga tahun yang lalu, saat kediaman mereka direnovasi. Tanpa sengaja pemuda itu menemukan sebuah album tua. Bahkan sebagian besar foto didalamnya telah memudar dan lengket pada plastik album tersebut.

Matanya tertuju pada sosok gadis berseragam SMA. Wanita itu lumayan cantik, mungkin sangat cantik di zamannya. Walau foto tak berwarna tetap saja menampilkan keanggunan gadis itu.

"Ini foto siapa, Mak?" Wanita tua itu nampak terkejut, namun berusaha untuk disembunyikan.

"Dimana kamu menemukannya?" Emak malah balik bertanya.

"Emang dia siapa, Mak?"

"Bukan siapa-siapa, tidak penting."

"Kalau bukan siapa-siapa, kenapa fotonya ada di rumah kita? Bahkan ada di album keluarga."

Wanita tua itu menatapnya tajam. Setelah didesak, Haikal mendapatkan apa yang ia mau. Namun kenyataan yang didengar teramat menyakitkan. Gadis itu adalah wanita yang membuatnya ada di dunia ini. Dan kelahirannya tidak diinginkan.

Rasa kebencian perlahan menggerogoti jiwanya. Ia benci wanita itu, sangat benci. Bahkan yang lebih buruk ia menganggap semua wanita itu sama, termasuk Emak. Karena perlakuan yang kurang baik kerap ia terima dari wanita itu. Perselisihan dengan Emak jugalah yang membuatnya meninggalkan tanah kelahiran.

Terlebih Abah, satu-satunya orang yang menyayangi telah pergi untuk selamanya.

Karena menatap pemandangan itu hanya membangkitkan kesedihan yang mendalam, Haikal pun melangkah ke dalam kamar. Meraih gitar tua milik teman satu kost-an.

Alunan nada dan nyanyian pemuda itu mengalun lembut, perlahan menyapa pendengaran Airin dan Poppy yang masih betah berlama-lama di halaman belakang.

Wajah Airin memucat. Lagu yang dinyanyikan pemuda itu kembali mengingatkannya akan seseorang. Orang yang hingga detik ini tak benar-benar mampu ia lupakan.

"Mami kenapa?" tanya Poppy bingung.

"Kamu tau siapa yang nyanyi itu?"

"Kayaknya anak kost yang baru itu, Mi."

Airin mengangkat kepala Poppy dari pangkuannya, "Mami ada sedikit urusan, kamu istirahat gih," ujarnya pada gadis itu.

"Mami mau kemana?"

"Sebentar Sayang." Gadis itu hanya mengangguk. Setelah mendapat kecupan di kedua pipinya, gadis itu berlalu.

Dengan cepat Airin melangkah ke sebelah, tepatnya bilik tempat Haikal ngekost. Pemuda itu sedikit terkejut begitu melihat kedatangan Airin. Ia segera menaruh gitarnya dan mempersilakan Airin duduk di kursi teras yang ada di kost-kostan itu.

"Maaf, kenapa Tante? Apa ada yang bisa saya bantu? Atau suara gitar saya mengganggu kenyamanan Tante dan putrinya. Kalau gitu saya minta maaf," cerocos pemuda itu.

Cara bicara pemuda itu pun sama dengan 'dia'. Mungkinkah? Ya Tuhan! Dada Airin berdegup kencang.

"Gak, hanya ingin berbincang. Saya biasa memperlakukan anak kost seperti anak sendiri," sahutnya berusaha tersenyum sewajar mungkin.

"Ooh, kalau gitu makasih Tante. Artinya saya terdampar pada tempat yang tepat," sahut pemuda itu.

Airin menatapnya sekilas, ada luka di mata itu. Apa ia tak bahagia? Airin sungguh ingin tahu apa maksud dari ucapan itu. Tapi rasanya sungguh tidak sopan jika ia mengoreknya sekarang.

"Kalau boleh Ibu ingin tahu sekelumit tentang dirimu, nama atau daerah asal misalnya," kata Airin ragu-ragu.

"Oh tentu saja boleh, Tan, dengan senang hati. Nama saya Haikal, saya berasal dari kota kecil di wilayah Sumatera sana." Pemuda itu memulai ceritanya.

"Sayangnya berbeda dengan orang lain, kelahiran saya tidak diharapkan. Bahkan seumur hidup saya tidak pernah melihat kedua orang tua saya. Ayah saya meninggal saat saya baru berupa janin berusia beberapa hari dalam kandungan ibu. Dan wanita yang melahirkan saya pun memilih pergi ketimbang mengurus saya setelah lahir."

Wanita cantik itu pias. Kenapa nama, daerah asal dan cerita pemuda ini sama persis dengan kisahnya? Mungkinkah pemuda ini ...? Kepala wanita itu tiba-tiba seperti mau pecah. Kejadian demi kejadian berputar di kepalanya bagi kaset kusut yang diputar berulang-ulang.

"Maaf, bukan maksud Ibu membangkitkan lukamu," desisnya pelan.

"Tak mengapa, Tante. Harusnya saya tidak boleh menceritakan hal ini ke orang yang baru saja saya kenal. Tapi entah kenapa, ngobrol bersama Tante membuat saya nyaman," sahutnya terkekeh. Berusaha menyembunyikan luka.

"Kalau gitu anggap saya ibumu. Kamu boleh berkeluh-kesah apa pun pada ibu."

"Ibu? Kelihatannya Tante terlalu muda untuk panggilan itu."

"Masa, ibu sudah 37 tahun lho. Dan anak-anak di sini semua memanggil ibu. Namanya juga ibu kost," kekeh Airin mencoba mencairkan suasana.

"Kalau gitu biarkan saya berbeda dengan mereka, Tante," tawanya renyah.

Airin menarik nafas panjang. Kau memang berbeda, Nak. Dari semuanya aku sangat yakin kau putraku. Bahkan wajahmu bagi pinang dibelah dua dengan almarhum ayahmu. Kenapa aku baru menyadarinya? Tentu saja kata-kata ini hanya tersimpan dalam hati Airin.

"Ah, bisa saja kamu. Oh ya, apa ibumu masih hidup?"

"Saya gak peduli, Tante, apa ia masih hidup atau sudah mati."

Deg!

Luka di dada Airin kembali menganga. Ini yang ia takutkan. Anak semata wayang yang ia lahirkan membencinya seumur hidup.

"Baiklah, mungkin lain kali kita bisa ngobrol lagi. Udah mau Maghrib, jangan lupa sholat. Do'akan yang terbaik buat kedua orang tuamu. Apa dan bagaimana pun mereka pantas untuk mendapat seutas doa dari anaknya."

Airin bangkit, menepuk pelan punggung pemuda itu. Seulas senyum rapuh menghias wajahnya yang tiba-tiba murung. Lalu segera melangkah meninggalkan Haikal yang masih terpana menatapnya.

"Tante bicara seperti itu karena Tante tak pernah tau gimana rasanya berada di posisi saya," gumamnya pelan.

Namun lapat masih ketangkap pendengaran wanita itu.

Ibu sangat mengerti, Nak. Andai kau tau alasan sebenarnya, bisik hati Airin. Bias di matanya mulai membayang, dan rasanya jauh lebih sakit daripada saat ia dipaksa berpisah dengan putra tercinta.

"Pilihanmu cuma dua, kau yang pergi dan anak ini ibu urus atau ibu akan membuangnya hingga seumur hidup kau takkan pernah tahu dimana keberadaan bayimu."

Suara wanita itu menggema. Airin yang baru saja melahirkan bersimpuh di kaki wanita itu sama sekali tak ia gubris. Wajahnya menyiratkan kebencian yang mendalam.

"Aku mohon Bu, beri aku kesempatan untuk mengurusnya. Aku rela meninggalkan rumah ini, tapi izinkan aku membawa putraku."

Wanita itu tersenyum sinis.

"Kau pikir gampang nyari pekerjaan dengan membawa anakmu kemana-mana? Pikir pakai otak! Sudahlah! Pergi sana yang jauh, gak usah kembali lagi. Cukup kirimkan biaya anakmu, kecuali kau ingin ia mati kelaparan."

"Ibu! Kenapa kau begitu kejam? Biar bagaimanapun ia anakku," sela bapak marah.

"Iya, semua orang juga tahu ia anakmu yang tak tahu diri. Bisanya hanya ngasih malu dan bkin susah keluarga," bentak wanita itu pada suaminya. | Cerpen Sedih Wanita Yang Kau Benci Itu Adalah Aku

Ucapan itu kembali terngiang, meski telah 20 tahun berlalu. Apa yang terjadi sepenuhnya bukanlah kesalahan Airin. Malam itu ia bertengkar hebat dengan ibu tirinya, apalagi kalau bukan masalah uang. Wanita itu marah-marah begitu tahu uang jatah bulanan berkurang karena sebagian digunakan ayahnya buat keperluan sekolah Airin.

"Harusnya kau tidak usah sekolah, tau sendiri kehidupan kita serba kekurangan. Dasar tak tau diri!"

"Ibu saja yang tidak bisa mengatur keuangan, itu tetangga sebelah kehidupan perekonomiannya jauh di bawah kita, tapi bisa menyekolahkan anaknya sampai universitas," sela ayah yang membuat kemarahan ibu memuncak.

Ia tak bisa terima sang suami terang-terangan membela putrinya. Ia berteriak-teriak bagi orang kesurupan. Airin yang sudah frustasi melihat pertengkaran yang tak berujung itu pergi dari rumah.

Ia melangkah tanpa tujuan. Air matanya tak berhenti mengalir. Bahkan air hujan yang turun deras menerpa tubuhnya tak ia hiraukan.

"Ibu, kenapa tega meninggalkan saya sendiri? Jemput saya ibu," tangisnya terisak.

"Kenapa ibu pergi?" Ia terus-menerus meratap.

Kenapa kehidupan ini begitu kejam? Kenapa Allah memberinya cobaan seberat ini? Harusnya ibu tidak boleh meninggal. Hanya sampai disitukah wujud kasih sayang Ibu? Meninggalkannya dengan seorang ibu tiri yang sama sekali tidak pernah mencintainya.

"Rina ...." Sentuhan di punggungnya membuat gadis itu sedikit terkejut. Ia tidak tahu kapan Raka datang, bahkan suara motornya pun sama sekali tak ia dengar.

"Kak." Ia menubruk tubuh kekasihnya itu. Menangis sejadi-jadinya. Sesaat Raka hanya terpaku, membiarkan gadis itu menuntaskan segala kemelut hatinya. Tubuh keduanya sudah basah kuyup.

"Ayo, Kakak antar pulang, ayahmu sangat khawatir," bisik Raka setelah Rina yang tak lain adalah Airin sedikit lebih tenang.

Gadis itu menggeleng lemah.

"Aku sudah tidak sanggup bertahan di rumah itu."

"Tapi Rin ...."

"Kakak mencintai aku kan? Apa Kakak tega aku setiap hari seperti ini?" desisnya tajam.

Setelah berpikir sejenak, Raka pun mengajak Rina ke kost-an nya. Karena tak ada tempat lain yang ia tuju. Sementara gadis itu dan dirinya telah basah kuyup.

"Maaf." Kata-kata itu tak berhenti keluar dari bibir Raka. Entah siapa yang memulai, malam itu menjadi sejarah paling kelam dalam kehidupan Airin.

Ia meringkuk di sudut ranjang tua milik Raka. Air matanya sudah berhenti mengalir, ia teramat lelah. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar yang mulai dipenuhi sarang laba-laba.

"Rin, tolong jangan seperti ini. Aku akan bertanggung-jawab. Secepatnya kita akan menikah."

Rina menatap pria itu, "aku masih ingin sekolah, Kak."

"Tidak masalah, kita nikah diam-diam. Yang penting sah secara agama. Dan lagi dengan demikian kamu terbebas dari ibu tirimu yang jahat itu. Yang penting kamu bersedia hidup apa adanya denganku."

Gadis itu hanya mengangguk, ia tak ada pilihan lain.

"Terima kasih, sayang banget sama kamu." Raka memeluknya erat. Gadis itu tak bergeming.

Pernikahan sederhana pun dilakukan, hanya keluarga yang tahu. Namun lagi-lagi Rina diuji, tiga hari setelah pernikahan saat Raka ingin memboyongnya ke kontrakan mereka, lelaki itu mengalami kecelakaan. Naas, jiwanya tidak bisa diselamatkan.

Tepat disaat UN berakhir Rina tiba-tiba pingsan di sekolah, teman-temannya membawa gadis itu ke rumah bidan yang tak jauh dari sekolah mereka. Dan sekolah pun gempar. Rina hamil, sudah 10 minggu.

Ternyata kejadian di malam laknat itu meninggalkan benih di rahimnya. Sebab setelah pernikahan mereka belum sempat berhubungan layaknya suami istri, karena di rumah orang tuanya Rina tak punya kamar sendiri. Ia tidur bersama saudara tirinya.

"Anak haram jadah, ternyata ini alasannya kau ingin menikah buru-buru."

Rina hanya bisa menangis dan menangis. Kebencian ibu tirinya makin menjadi-jadi. Sementara ayahnya tak bisa berbuat apa-apa. Wanita itu terlalu mendominasi ayahnya, kalau tidak mau dibilang takut.

Bahkan saat ia diusir pun ayahnya tak sedikitpun membela.

"Mami kenapa nangis?" Kedatangan Poppy membuyarkan lamunan wanita itu.

"Gak Sayang, Mami kelilipan." Ia melengos, menyembunyikan raut wajahnya dari Poppy.

"Mami belum jadi sholat, keburu habis lho waktu Maghrib."

"Astagfirullah, emang udah azan?"

"Dari tadi, Mam."

"Ya sudah, Mami sholat dulu," sahutnya melenggang pergi.

Poppy menatap heran wanita itu. Ada apa dengan Mami? Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Saya sayang sama Tante."

"Saya juga sayang kok sama kamu."

Pemuda itu berbinar, "beneran, Tan?"

"Iya, sayang seorang ibu pada anaknya," sahut Airin hati-hati.

"Bukan sayang seperti itu yang saya mau," sanggahnya cepat.

"Tapi memang harus seperti itu."

"Kenapa Tante? Apa karena saya miskin? Tante takut saya hanya akan memanfaatkan Tante. Kalau iya, Tante salah besar. Saya beneran jatuh cinta. Saya menyayangi Tante tulus, dan rasa ini telah tumbuh sejak saya mengenal Tante. Dan saya belum pernah merasakan menyukai seorang wanita sebesar ini."

Betapa terkejutnya Airin mendengar pengakuan itu. Ia tak menyangka kasih sayang yang ia curahkan disalah artikan oleh putranya sendiri.

"Ini salah, Nak. Perasaanmu itu tidak pantas."

"Jangan panggil saya Nak hanya karena usia saya yang jauh lebih muda."

"Bukan karena itu."

"Lalu?"

Airin terdiam, ia terlalu takut untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Takut Haikal akan kembali pergi dari hidupnya.

"Karena Kak Haikal memang anak kandung Mami." Entah sejak kapan Poppy berada di sana.

Ucapan gadis itu bagi petir di siang bolong didengar mereka berdua.

"Apa maksudnya semua ini?" Haikal menatap Airin dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia bahkan tanpa sadar mundur beberapa langkah.

"Poppy bener," sahut Airin lemah. Ia sudah pasrah. Mungkin sudah saatnya rahasia ini terungkap.

"Ka ... kau." Raka menunjuk muka Airin tepat di hidungnya.

"Aku benci padamu." Pemuda itu berbalik, hatinya patah. Bagaimana mungkin semua ini terjadi? Lagi-lagi hatinya dilukai. Jatuh cinta pada ibu kandung sendiri, memalukan. Hal itu tentu takkan terjadi jika Airin berterus-terang sejak awal.

"Kenapa? Kau ingin melarikan diri? Kau pengecut, Kak. Harusnya kau dengar dulu apa alasannya."

Langkah Haikal terhenti, ia berbalik menatap ibu dan anak itu dengan mata memerah.

"Alasan apa yang ingin kudengar? Semuanya sudah sangat jelas. Aku dicampakkan, lalu setelah bertemu dia membuat aku bertekuk lutut. Aku jatuh cinta sebagai seorang pria bukan seorang anak. Lalu tiba-tiba kudengar pengakuan itu. Lalu alasan apalagi? Hahhh!" Haikal meremas rambutnya kasar.

"Mami menyayangimu, dia begitu takut menghadapi kenyataan begitu tahu kau sangat membencinya. Salah Kakak sendiri yang meyalahartikan kasih sayang Mami. Aku sangat tahu seberapa besar sayang Mami sama Kakak. Bahkan ia memutuskan untuk tidak punya anak lagi. Baginya cukup kehadiran kita berdua."

Poppy menghela nafas panjang.

"Mami tak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, aku tahu setiap bulan Mami selalu membagi uang belanjanya untuk sebagian dikirim buat Kakak, karena aku kerap diajak menemani beliau ke Bank. Kalau Kakak tanya alasan kenapa tidak pernah menemui Kakak sebaiknya Kakak tanya pada orang yang membesarkan Kakak. Mami kerap menangis setiap kali ingat Kakak. Bahkan sama sepertiku Mami juga telah menyiapkan tabungan khusus buat Kakak, bahkan uang kost yang Kakak bayar disetor lagi oleh Mami ke tabungan Kakak."

"Jadi yang selama ini selalu mengirimkan uang bukan adiknya Emak?" Suara Haikal terdengar ragu-ragu.

"Aku tidak tahu, yang pasti sampai bulan ini Mami masih tetap ngirim," sahut Poppy.

"Lalu orang tua seperti itu yang pantas Kakak benci?" sinis Poppy.

Haikal terhenyak. Betapa ia telah menjadi anak yang durhaka. Racun yang disemai Emak benar-benar mematikan nuraninya.

Pemuda itu bersimpuh di kaki Airin. Ia bahkan mencium kakinya.

"Maafkan Haikal, Bu. Haikal memang bodoh, begitu saja percaya apa yang mereka katakan."

"Tidak apa-apa, Nak. Bangunlah."

Mereka saling memeluk erat. Menangis sejadi-jadinya, namun kali ini tangis bahagia.

"Mami beruntung bisa memiliki kalian berdua."

"Tidak, kami yang beruntung memiliki ibu seperti Mami."

"Bukannya Kakak benci?" goda Poppy sambil menjulurkan lidahnya pada Haikal. Lalu berusaha kabur ketika Haikal akan menghadiahi sebuah jitakan.

Jadilah mereka kejar-kejaran. Halaman belakang ini menjadi saksi bahwa darah lebih kental dari air. Sekuat apapun seseorang berupaya memisahkan, ikatan darahlah yang menuntun mereka untuk kembali bersama. Seulas senyum bahagia terurai dari bibir Airin. | Cerpen Sedih Wanita Yang Kau Benci Itu Adalah Aku

"Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih atas karunia-Mu."