Kisah Cerita Ketika Seragam Putih Abu Abu

Duh, gawat! Aku berlari, menarik tangan adikku. Jam 5.45, semoga angkot itu masih terkejar.

Satu-satunya angkot dari Tlogosari ke Simpang Lima, tanpa harus oper, menghemat waktuku, terutama di hari Jumat ini. | Cerpen Sekolah Kisah Cerita Ketika Seragam Putih Abu Abu

"Alhamdulillah Pak, masih bisa ikut njenengan." aku masih terengah-engah di bangku depan. Adikku duduk dekat jendela, mengelap keringatnya.

"Iya Mbak. Kalo agak siang nanti saya bisa diprotes sama angkot sini, nyerobot jalur mereka."

Jam 6.20, angkot berhenti di halte depan Gramedia. Aku turun tergesa-gesa. Harusnya, 10 menit yang lalu sudah sampai di sini. Tapi kecelakaan beruntun di depan pasar, membuat lalu lintas tersendat.

Pintu gerbang hampir ditutup. Pak Arief, guru bagian Kesiswaan sudah mengawasi, sebuah peluit tergantung di lehernya.

Greeekkk! Seorang security dengan sigap menuruti perintah Pak Arief. Gerbang ditutup tepat setelah aku masuk bersama 5 murid lain.

"Cepat ke lapangan. Senam sudah mau mulai!" Pak Arief menyeru kepada kami.

"Pak, time out sebentar, 1 menit saja. Habis lari-lari." aku setengah memohon, sambil tanganku berpegangan ke pohon beringin besar dekat gerbang.

"Waduh, sialan!" seru seseorang di belakang.

Aku menoleh. Beberapa murid nampak di depan pintu gerbang dengan wajah putus asa. Serombongan murid yang barusan turun dari bus kuning yang berjalan miring karena kebanyakan muatan, juga pasrah saat melihat gerbang sudah ditutup.

"Hei jangan kabur!" Pak Arief membuka gerbang, meniup peluit. "Kalian yang di situ, cepat ke lapangan. Atau squat jump 20 kali!" Pak Arief menunjuk ke arah kami. Dia sangat serius dengan ancamannya.

Huwaaa! Aku dan beberapa murid lain berlari ke lapangan.

"Wina, minta parfum!" Galih duduk di sampingku, keringatnya membanjir, aku menutup hidung.

"Nyoh parfum! Iki lho baca : VINOLIA, parfum cewek. Nyoh parfum cewek!" dia menyambar botol parfum, semprot sana semprot sini. Bau keringat Galih berganti dengan aroma parfumku. Di kelas berisi 26 laki-laki dan 1 perempuan, aroma parfum ini bisa sedikit mengusir bau apek dalam kelas yang dibawa oleh para murid pria dengan potongan rambut bros, ala militer.

"Sial! Aku gak bawa baju olahraga. Kena push up 10 kali. Masih ditambah operasi semut." Galih menggerutu.

Operasi semut adalah hukuman membersihkan lapangan, memungut sampah plastik dan daun menggunakan tangan, tidak boleh pakai sapu dan pengki. Ini hukuman paling ringan dari Bagian Kesiswaan kepada murid.

"Wina, minta minum!" Eros menyambar botol minumku. Dia tenggak setengahnya.

"Gile Luu!" seruku.

"Entar aku ganti. Aku beliin air di koperasi." dia mengambil handuk kecil, mengelap keringat lalu mengipasi dirinya menggunakan buku.

"Diapain sama Pak Arief di belakang tadi?" tanyaku sedikit mengejek. Keringatnya tak kalah banjir dibanding Galih. Punggungnya disandarkan ke kursi, sambil terus mengipas.

"Push up 20 kali Dab! Tambah jalan jongkok 5 kali bolak balik. Masih ditambah operasi semut di halaman belakang." dia dihukum karena terlambat dan hampir kabur.

Kami adalah generasi yang digembleng dengan disiplin tinggi, tidak cengeng dan tahan banting. Kami putra putri daerah, membawa harapan orangtua, karena itu, kami sangat menghargai setiap ilmu yang kami dapat.

Jam 9.15, beberapa teman masuk hampir bersamaan dengan Pak Budi, guru bahasa Indonesia. Beliau menghadang mereka, menyentuh rambut mereka. Basah. Lalu membiarkan mereka masuk. Beliau tersenyum tipis, salut dengan anak-anak muda ini, yang masih meluangkan waktu sholat dhuha di jam istirahat yang sempit.

"Mbak Bando!" Pak Budi memanggilku yang tepat di hadapannya, "Pindah ke bangku Mas Eros!"

Aku bingung. Aku menoleh ke bangku nomer tiga dari depan. Eros pun bingung. Tapi kami menurut saja saat disuruh untuk bertukar tempat.

"Tugas kalian, membuat karangan bebas tentang apa saja yang kalian lakukan hari Jumat minggu kemarin! 15 menit harus selesai!" Pak Budi mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Lalu berakhir ke Eros dengan wajah serius, sangat serius. Eros hanya tersenyum dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

15 menit berlalu.

"Eros maju ke depan! Sama kamu, yang di pojok belakang, maju sini!"

Eros dan Dwi membawa buku, salah tingkah mereka di depan kelas. Pak Budi duduk di bangku Eros.

"Dibaca Pak?" tanya Eros gugup.

"Gak! Dibakar terus diminum!" satu tangan Pak Budi berkacak pinggang, tangan yang lain memegang penggaris besi. | Cerpen Sekolah Kisah Cerita Ketika Seragam Putih Abu Abu

Seluruh kelas cekikikan. Lalu Eros memulai ceritanya.

"Hari Jumat kemarin, saya bangun terlambat. Sebelumnya, saya menginap di kos-kosan Dwi. Kami mendengarkan siaran Nightmare On The Air hingga jam 2 pagi. Karena terlambat, saya jadi malas ke sekolah. Dwi juga ikut bolos."

"Huuuuuu!!!" satu kelas menyoraki mereka berdua.

"Lanjutkan!" perintah Pak Budi.

"Jam 10.30, sebelum berangkat Jumatan, kami jalan-jalan ke taman KB. Lalu kami bertemu dengan sosok gagah berkumis tipis yang menaiki Honda-800." Eros dan Dwi garuk-garuk di depan kelas, makin salah tingkah.

"Lalu sosok gagah itu memergoki kami yang sedang makan batagor. Ya kan, Mas Eros ganteng?" Pak Budi berdiri sambil berkacak pinggang di depan mereka. Eros menutup muka dengan bukunya.

Satu kelas hanya bisa kasak kusuk. Mau ketawa takut dosa. Gak ketawa kok mubadzir kalo gak diketawain.

"Sekarang kalian berdua push up 10 kali. Kaki di luar kelas, tangan di dalam kelas! Yang di belakang, tugasnya menghitung!"

Kami spontan berdiri, lalu menghitung bersama.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh! Woooo!" riuh ramai di kelas disambung dengan suara tawa.

Murid-murid berhamburan keluar setelah bel pelajaran terakhir berbunyi. Para kaum minoritas alias para murid perempuan, lebih suka bergerombol di luar jam pelajaran. Berkumpul bersama cowok kadang membosankan. Hanya membahas mesin kendaraan atau amplifier tipe mana yang terbaik.

Di taman jurusan, terlihat Doni, alias si Bebek, siswa kelas 3, sedang mengelap kaca kelas ruang praktek. Dia mendapat hukuman skorsing. Skorsing di sekolah kami bukan melarang anak ke sekolah. Melainkan, si murid harus mengelap kaca di ruang guru dan ruang jurusan. Setelah itu dia harus melakukan operasi semut.

"Tuh yang kemarin Senin bikin jebol plafond kelas. Gak ikut upacara, malah ngerokok di belakang koperasi. Dikejar Pak Arief dan Pak Bangun, dia lari ke kelas, manjat plafond, eh plafond nya jebol." bisik Ana kepada kami, setelah melewati Doni.

"Ih, tau aja ni. Komplit banget infonya. Dasar yaa tukang gosip." kataku. Kami berlima cekikikan.

Sama anak cowok gak bakal bisa update gosip terbaru. Mereka bahkan sangat rapi menyimpan suatu berita.

Kami melintasi masjid sekolah. Terlihat Pak Arief sedang bercanda dengan beberapa siswa. Kadang beliau memberikan wejangan, sambil menepuk pundak siswa yang ada di sebelahnya, bagaikan bapak memberi nasihat kepada putra-putranya. Sama sekali tidak terlihat pemandangan seram seperti tadi pagi.

Beberapa tahun kemudian, tersiar kabar di grup-grup alumni, tentang Pak Arief. Kanker lidah yang diderita membuat ratusan alumnus sukarela menggalang dana. Puluhan mantan siswa silih berganti mengunjungi Pak Arief setiap harinya. Hingga saat kepergiannya ke tempat peristirahatan terakhirnya, ratusan pelayat penuh sesak memadati rumah duka. Di antara mereka, banyak murid yang dulunya langganan hukuman push up yang dikawal Pak Arief. | Cerpen Sekolah Kisah Cerita Ketika Seragam Putih Abu Abu

Pak Arief telah menjadi bukti, bahwa apa yang disampaikan dari hati, akan sampai ke hati.