Untuk Mewujudkan Sakinah Tidaklah Mudah

"Cuma segini, bang?" | Cerpen Motivasi Untuk Mewujudkan Sakinah Tidaklah Mudah

Mataku menatap lembaran merah yang disodorkan Bang Jahran

"Iya, aturlah, Dek." Manik hitam itu terlihat lelah, dengan guratan kusam yang melingkari kelopak matanya

Rasanya ingin aku memprotes penghasilannya yang semakin hari semakin berkurang, walau aku tau bukan penghasilannya yang berkurang tapi kebutuuhan hiduplah yang semakin tinggi.

"Dek, harusnya sih tiga juta, tapi karna dipotong pinjaman bekas biaya berobat Bapak, ya tinggal segitu." Bang Jahran seolah mengerti isi hatiku.

Aku menagngguk pasrah

"Maafkan abang ya, hanya bisa memberimu nafkah yang sebesar ini. Insya Allah abang akan lebih rajin lagi lemburnya."

"Ini juga alhamdulilah, bang. Maaf ya, pertanyaanku yang tadi." Pria bermata tajam itu hanya tersenyum

"Eh iya, Abang Lupa, jatah untuk orang tua kita udah abang transfer, jadi itu sisanya."

Sekali lagi aku mengangguk. Ya, setiap bulan dari gaji Bang Jahran memang selalu kami pisahkan untuk jatah bulanan orang tuaku dan juga orang tuanya walau nominalnya tak seberapa.

***

"Ma, kapan Jam tangan itu ada? kata Mama hadiah Ultahnya jam tangan, ini malah udah kelewat dua bulan lho." Si sulung menagih janjiku yang akan memberikannya hadiah saat ulang tahun dua bulan lalu, bukannya aku lupa, tapi dananya yang tidak mencukupi

"Sabarlah Kak. Anak sabar disayang Allah Lho." Aku berusaha mengalihkan perhatian Putra sulungku.

"Mama PHP Ah!" Jawabnya dengan bibir manyun dan wajah ditekuk

"Sayang, bukannya Mama PHP, tapi bulan-bulan ini pengeluaran keluarga kita sedang tinggi, kamu tau kan Eyang sakit dan butuh biaya besar untuk pengobatannya, nah Ayah sebagai anak punya tanggung jawab dalam merawat Eyang." | Cerpen Motivasi Untuk Mewujudkan Sakinah Tidaklah Mudah

Kuusap kepala Putraku yang berumur 15 tahun ini, hanya ini yang bisa kuberikan padanya sebagai tanda kasih seorang ibu yang tidak mampu memberikan keinginan yang diajukannya selama ini.

Kedua anakku memang tak pernah menuntut banyak, hanya sesekali saja di hari istimewanya kami memberikan hadiah.

"Ma, Anton kemarin beli Gadget baru lho, keren Ma."

"Trus Kakak Ngiri?"

"Enggak Ma, kata Anton Papanya sering Pulang bawa uang banyak mesti belum waktunya gajian, belum lagi barang-barang yang lain Ma."

"Wajar sayang, Papanya Anton kan Kerjanya di DPRD, banyak duitnya."

"Lah Kenapa Ayah enggak Kerja di DPRD Ma, Biar banyak duit." Tetiba anak keduaku menyela, dengan wajah penuh tanya dan tanpa dosa.

"Emangnya gampang jadi anggota dewan? Dasar anak Bocah nimbrung aja, sana gih belajar." Kakaknya yang menjawab, aku hanya tersenyum

"Kita harus bersyukur Sayang, biar Ayah cuma buruh pabrik, tapi kita masih bisa hidup, kalian bisa sekolah, berpakaian layak, dan yang terpenting rejeki ayah halal lho!" Aku mengedipkan mata, kedua anakku tersenyum manis, dan itu cukup jadi pengobat untuk kegalauanku akan beban hidup yang semakin berat.

Susah rasanya untuk menjadi istri yang sabar, godaan hidup semakin kuat, kehidupan tetangga yang semakin mewah, postingan teman medsos yang kadang membuat ngiler, serta kiriminan produk online yang kadang membuat hati dan tangan gatal untuk mengkliknya.

Sebagai wanita biasa, aku punya rasa yang sama, ingin barang-barang Bagus, jalan-jalan, Makan di restoran serta belanja di mall seperti teman-teman yang lainnya. Namun penghasilan suami yang tak mencukupi membuatku menahan diri untuk tidak melakukannya.

"Sabar Sayang, Allah tidak tidur, berdoalah selalu agar abang tetap diberikan kesehatan, Panjang umur untuk bisa terus bekerja, denagn kekuatan doa seorang istri sholehah sepertimu, Insya Allah, pintu rejeki Allah akan terbuka, walau kita tidak tau kapan itu akan terjadi."

Aku menganguk dan mendekap tubuh pria yang sudah 20 tahun kutemani menapaki terjalnya pendakian hidup.

"Dengan doa tulusmu, Abang yakin kita bisa bahagia, walau tidak didunia ini, abang berharap hanya kau wanita yang akan abang temui nanti, abang tak perduli dengan gambaran wujud bidadari surga, karena abang yakin hanya kamu bidadari yang nyata untuk abang." Kecupan lembut itu mendarat untuk yang kesekian kalinya.

Terima kasih Ya Allah, Syukur ini kuhaturkan, atas karunia yang tak ternilai-Mu untukku.

Ya, bang Jahran lah Rejeki terbesar dalam hidupku, karena aku yakin tak semua wanita bisa memiliki suami seistimewa ini. | Cerpen Motivasi Untuk Mewujudkan Sakinah Tidaklah Mudah