"Abi, semua teman Qila punya mama. Kok Qila ngga?"
Rifki terdiam, seperti ada hantaman keras di dadanya saat mendengar pertanyaan Aqilah. Berdenyut, meninggalkan efek nyeri. | Cerpen Sedih Tuhan Kenapa Qila Tidak Punya Mama
Bagaimana caranya menjelaskan pada gadis kecil berusia lima tahun itu, kalau dia juga punya mama, tapi tak menginginkannya.
Rifki mengabaikan pertanyaan itu, meski terasa masih berdenging di telinganya. Dia mengubah posisi tidur yang semula terlentang, mengapit Aqilah di bawahnya, lalu menggelitik gadis itu hingga kegelian.
Itu satu-satunya cara mengusir nyeri yang masih terasa. Mendengar tawa Aqilah.
Suara lantunan ayat suci Al-qur'an terdengar melalui pengeras suara masjid. Sebentar lagi waktu subuh akan datang. Sudah hampir jam empat pagi, mata Rifki tak juga bisa terpejam. Pertanyaan sang putri tadi benar-benar mengusir kantuknya. Akhirnya, dia memutuskan memeriksa berkas-berkas pekerjaan untuk pagi nanti daripada pikirannya tak tenang.
Saat usia Aqilah dua tahun, Rifki resmi menyandang status duda. Sejak itulah hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dari penggila kerja menjadi ayah rumah tangga. Pekerjaannya sebagai bankir terpaksa dia lepaskan agar punya banyak waktu dengan sang putri. Sekarang dia bekerja lepas, mengurus berkas-berkas dan sertifikat tanah. Setidaknya dia punya waktu yang fleksibel, tak lagi terikat.
Tiga tahun menjadi orangtua tunggal, Rifki mulai terbiasa mengurus Aqilah sendiri, sembari dibantu sang ibu. Namun, pertanyaan tadi membuatnya sadar kalau hidup berdua dengannya saja tidaklah cukup bagi Aqilah. Bagaimanapun, gadis kecil itu perlu sosok ibu.
Dia belum perlu seseorang untuk mendampingi, tetapi Aqila butuh. Masalahnya, sudah siapkah dia memulai kembali membangun hubungan dengan seseorang? Sementara retakan di hatinya belum pulih sepenuhnya. Bahkan dia belum tahu cara menyembuhkan hati, dan belum mau membuka hati.
"Ndak tidur, Bang?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Rifki dari pikirannya yang semrawut. Ternyata Saidah, sang ibu yang bertanya.
"Ehm, ngecek berkas, Mi." Rifki membolak-balik kertas-kertas yang berserakan di meja, seolah sedang sibuk, padahal sedari tadi hanya memikirkan pertanyaan Aqilah.
Saidah menghampiri Rifki, memperhatikan raut wajah sang putra. Dia hapal betul kalau sulungnya itu bekerja tengah malam hanya ketika pikirannya sedang kalut. Namun, dia juga tahu tak akan ada pengakuan jika dia bertanya.
"Kerja itu kewajiban, tapi jaga kesehatan itu juga harus. Nanti Abang sakit kalau begadang begini." Sehalus mungkin Saidah mengingatkan, agar tak terkesan sedang mengomeli anaknya.
"Iya, tunggu subuh sekalian," jawab Rifki tanpa mengangkat wajah, agar sang ibu tak bisa melihat apa yang disembunyikan melalui sorot matanya.
Saidah menghela napas pelan, lalu beranjak dari sana hendak menuju kamar mandi. Masih ada waktu untuk salat sunnah sebelum subuh. Dia ingin meminta ketenangan bagi semua anggota keluarganya, terutama Rifki.
"Ummi."
Panggilan Rifki menghentikan kaki Saidah yang baru bergerak beberapa langkah, lalu menoleh pada sang putra.
Tanpa menyahut, Rifki tahu ibunya menunggu dia bicara. Menghela napas sejenak, lalu dia berkata, "Kalau Abang kesiangan, tolong nanti bangunkan, ya."
Saidah mengangguk, lalu melanjutkan langkah menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Bukan itu sebenarnya yang ingin Rifki katakan. Dia bermaksud menceritakan apa yang dikatakan Aqilah, dan bertanya, 'haruskah dia mencari ibu pengganti bagi Aqilah sekarang?'. Namun, lidahnya kelu, dia tak mampu.
Semburat jingga di langit mulai bertahta menggeser sang gelap. Kokok ayam bersahutan penanda pagi segera menyingsing. Saat di sebuah kamar, seorang perempuan menempelkan kening pada bumi. Bersujud, mengadu pada Rabb-nya akan sesak di hati. Berharap rindu yang menggerogoti bisa teredam dalam isakan. Bahunya masih bergetar hingga sebuah elusan pelan terasa di kepala, barulah dia mengangkat wajah.
"Jangan begini. Menikahlah dan punya anak. Berhenti menolak pinangan yang datang." Suara sang ibunda bergetar karena berebut dengan isak yang juga akan keluar.
Perempuan berbalut mukenah putih itu menggeleng, menanggapi ucapan ibunya.
"Menikah dan punya anak lagi tak lantas membuat seorang ibu melupakan belahan jiwanya yang sudah ada, kan, Ma?" | Cerpen Sedih Tuhan Kenapa Qila Tidak Punya Mama
Senyap, sang ibu tak bisa menjawab. Hanya rengkuhan hangat yang bisa dia berikan untuk putrinya.
- Bersambung -