Uang Pensiunan PNS Golongan Tiga

Suamiku berpulang beberapa waktu lalu. Almarhum pergi meninggalkan derita berkepanjangan. Seharusnya sebagai istri aku bersedih, tetapi tidak. | Cerpen Motivasi Uang Pensiunan PNS Golongan Tiga

Hari berkabung itu meninggalkan kenangan yang maha buruk. Istri sirinya datang, membawa dua orang anak lelaki dan perut yang membuncit. Tangisnya tak terkendali mengundang perhatian para pelayat. Aku benci dia! Hartatik namanya.

Apa dia ingin menunjukkan bahwa dia yang paling mencintai dan merasa paling kehilangan? Dasar munafik! Ibuku membawanya ke belakang. Kalau tidak banyak orang di hadapanku, pasti sudah aku usir madu sialan itu.

Berani-beraninya dia datang lagi ke sini. Dalam rangka apa coba?

"Ada perlu apa?" Tanyaku ketus saat dia mengetuk pintu. Aku menjawab salamnya lemah. Tidak aku persilakan masuk, biar saja duduk di teras.

"Mbak Murni, tak bisakah kita berdamai?"

"Damai dari Hongkong?" Tetap saja sikapku tidak melunak. Buat apa bersikap manis pada perempuan sinting ini?
Dulu pernah datang minta supaya diunggahne/ diizinkan menikah sah olehku, menjadi istri kedua. Enak saja!

"Mbak, saya sebentar lagi butuh biaya persalinan. Saya mohon bagilah uang pensiun Mas Giri."

"Apaaa ....?" Mataku melotot. Perempuan itu mengkeret.

"Denger ya! Denger! Buka tuh kupingmu lebar-lebar! Semenjak ada kamu, Mas Giri itu melalaikan tanggung jawabnya kepada kami. Kamu mau tahu? Hanya seperempat jatah dari biasanya, yang dia berikan kepada kami. Itupun setelah aku lapor ke kepalanya. Paham kamu? Tersebab kamu! Kamu ambil tiga perempat jatah kami." Perempuan itu menangis. .
Aku masih nanar, napasku pun tak beraturan.
"Satu lagi! Dia meninggalkan hutang di koperasi, dan itu menjadi tanggungan kami sekarang! Kamu mau mewarisi hutangnya? Mau???" Perempuan itu makin sesenggukan.

"Masih kamu mengungkit uang pensiun? Tanggung sendiri risikonya. Salah sendiri mau dinikah siri PNS. Seharusnya tahu, PNS tidak gampang untuk poligami, kalau istrinya tidak mengizinkan. Apa manfaatnya coba? Keluarga inti ambruk, apa kamu juga bahagia? Jawab!" Sudah tak sanggup aku menahan emosi, setelah sekian lamanya, empat tahun. Bukan waktu yang singkat, diduakan tanpa keadilan. Ini saatnya aku tumpahkan bagai magma yang membakar maduku itu. Biar dia tahu penderitaan dan sakitnya hatiku.

"Kalau begitu, setelah anak ini lahir, tolong rawatin ya Mbak, saya mau cari kerjaan."

"Apaaaaaaa ...? Pergi kamu sekarang! Pergi!" Aku mengusirnya kasar dan masuk menutup pintu dengan keras. Cekrek_cekrekkk! Aku mengunci pintu.


"Win, tolong berikan amplop ini untuk Tante Hartatik. Dia melahirkan anak ayahmu." Wina tertunduk lesu dan menjawab lirih, "Wina tidak tahu rumahnya, Bu."

"Ajak adikmu Bagas, dia pernah diajak ke rumahnya."

"Iya, Bu ...."

Sebagai perempuan sebenarnya aku tidak tega juga dengan keadaannya. Tapi Hartatik memang nekad dan bodoh. Seharusnya dia menolak dinikahi laki-laki beristri. Iya kalau kaya masih mending, sembodo. Lha ini? Gaji PNS golongan tiga berapa coba? Anakku sendiri ada lima. Kok dia mau-maunya brujal-brujul empat tahun anaknya tiga. Enggak mikir apa? Aku sampai jadi buruh cuci gosok di loundry-an. Ya Allah .... Stres tingkat dewa.

Aku putuskan jual rumah ini. Pulang ke kampung. Tinggal sama ibuku yang sudah sepuh. Rencananya hasil penjualan rumah akan aku belikan sawah. Aku garap untuk melanjutkan hidup. Hartatik kalau mau beras biar saja mencariku ke kampung.  | Cerpen Motivasi Uang Pensiunan PNS Golongan Tiga