Tuhan Kenapa Masa Kecilku Begitu Suram

Aku bangun pagi itu. | Cerpen Sedih Tuhan Kenapa Masa Kecilku Begitu Suram

Kudapati seorang laki laki berbadan tinggi besar sedang tidur di kasur ibuku.

"Bu ..." ku panggil ibuku perlahan, kuatir membuat laki laki itu ikut bangun.

"Ya nduk, kenapa?" ibuku menjawab berbisik.

"Itu siapa?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah laki laki itu.

"Itu ayahmu, Nduk. Baru datang tadi subuh."

"Dari mana, Bu?"

"Dari Jakarta, Nduk." Ibuku mengisyaratkan agar aku keluar kamar. Sebelum keluar, masih kuperhatikan sosok besar itu. Wajahnya asing buatku, dengan hidung tinggi seperti penjajah. Kakinya menjuntai di ujung dipan ibuku, melebih panjang kasur. Berdahi lebar dengan alis tebal.

Ternyata aku punya ayah, setelah sering jadi olok-olok teman mainku. Setiap hari aku pulang dengan tangisan karena ejekan kawan-kawanku. Penjajah, itu sebutan mereka untukku. Karena aku berbeda dari mereka. Tubuhku lebih tinggi dari kawan sebayaku. Rambut kuning kemerahan. Dan nama panggilanku yang aneh terdengar di telinga mereka. Sri, Joko, Bejo, Sih, Parti, Sum, itu nama nama yang masih kuingat. Sementara aku ... Butet.

"Nduk, pergilah ke rumah mbah Sumo. Belikan gethuk untuk kita sarapan." Suara ibu membuyarkan pikiranku.

Aku keluar dan melangkah perlahan ke rumah mbah Sumo. Aku tak mengerti kenapa ibuku bisa tinggal di desa ini. Desa Palur, sebuah dusun kecil di tepi sungai Bengawan Solo. Kami hanya berdua, menempati sebuah rumah joglo. Rumah milik mbah Kertosono, orang yang kuanggap nenek.

Pintu rumah mbah Sumo yang tertutup memutus lamunanku. Aku baru ingat kalau mbah Sumo berjualan gethuk di pasar Palur jika masih pagi. Lalu kenapa ibu menyuruhku ke rumah mbah Sumo?

Sejenak bimbang antara pulang atau ke pasar menemui mbah Sumo. Pasar Palur tak begitu jauh, tapi melewati jalan raya yang dilalui truk-truk pengangkut tebu.

Kuputuskan untuk pulang, karena tak punya nyali melalui jalan raya. Sedikit berlari, aku sampai di depan rumah dan tercium aroma mie instan.

Ibu masak mie instan? Itu makanan mewah di lidah kanak-kanak seperti ku. Sepanjang ingatan, baru dua kali makan mie instan yang dimasak ibu.

Sampai di ruang tengah tempat meja makan kayu berada, aku melihat laki-laki itu sedang menikmati semangkuk mie instan ditemani ibu yang duduk di depannya. Tetapi hanya laki-laki itu yang makan, sementara ibuku tidak.

"Bu ..., aku mau mie instan juga." Pintaku pelan. Ibu menarik tanganku ke dapur.

"Nanti ibu masak untukmu ya, Nduk, sekarang pergilah mandi." Ibu berkata lembut tapi tak bisa dibantah. Akupun berlari menuju tepi sungai untuk mandi, ingin segera selesai dan makan mie instan buatan ibu. Setelah bergegas membersihkan badan dan mencuci sendalku, kaki kecil ini kembali berlari menuju rumah.

Sampai di depan rumah kulihat ada tamu lain selain laki laki itu. Dua orang pria berbadan kekar membawa mesin jahit ibu dan meletakkan di becak. Yang seorang memberikan beberapa lembar uang kepada ibu. Tanpa banyak tanya aku langsung menuju dapur.

"Bu ..." Kupanggil ibuku lirih. Tak ada mie instan matang di meja.

"Kemarilah, Nduk. Ayahmu akan kembali ke Jakarta." Kudengar ibuku memanggil dari ruang tengah.

"Ya bu ..." Kudekati dan kusalami tangan berjari besar itu. Dia mengusap kepalaku sekali saja. Tanpa bicara sepatah kata pun. Yang kurasakan hanya lapar dan ingin makan mie instan seperti laki laki tadi.

Aku kembali ke dapur dan duduk di depan tungku. Menunggu ibu. Tapi tak juga muncul yang ku tunggu. Entah kenapa aku benci laki laki itu. Datang sebentar lalu pergi lagi. Tidak seperti ayahnya Sri, yang selalu pulang setiap sore. Tidak juga seperti ayahnya Joko, selalu di rumah menunggui bengkel sepeda nya.

Aku tak pernah mengenalnya, bahkan bertemu sosok ayah baru sekali ini. Untuk apa dia datang sekarang? Lalu mengapa tak mau memelukku? Memanggil namaku pun tidak. Atau dia tidak mau mengajakku, hingga menjaga jarak? Banyak pertanyaan dihati kecilku, tanpa pernah mendapat jawaban.

Saat ibu muncul di pintu dapur, laparku sudah hilang.

"Nduk, sarapan gethuk ya? biar ibu belikan di warung Mbah Sumo." Ibuku berkata perlahan seolah menahan tangis.

Aku hanya diam, menahan airmata agar tak tumpah dan membuat ibuku sedih. Seringkali janji tak ditepati ibu, tapi aku tetap menyayanginya. Sampai kapanpun.

Entah kenapa aku tak bisa lupa hari itu. Hari yang membuat ku merajuk pada ibuku. Hari yang kuingat seumur hidupku. Saat pertama sekaligus terakhir kalinya aku melihat sosok ayah. Tak lagi kujumpai laki laki itu setelah dia pergi.

Penyesalan terdalam yang tak hilang sampai sekarang, kenapa aku diam saja saat itu. Seharusnya aku berteriak, bahkan menghajar laki laki itu. | Cerpen Sedih Tuhan Kenapa Masa Kecilku Begitu Suram

Dia yang sudah menelantarkan istri dan anaknya. Dia yang tega menjual mesin jahit istrinya untuk ongkos kembali ke Jakarta. Padahal mesin jahit itu alat pencari nafkah ibuku.

Seharusnya aku membela dan melindungi ibuku.

Seharusnya kulemparkan laki laki itu kedalam tungku.

Seharusnya dan seharusnya aku bertubuh besar saat itu!

Beberapa bulan setelah itu, ibu mulai sakit-sakitan. Terakhir kali tetangga kami membawa beliau ke rumah sakit. Setelah dirawat seminggu, ternyata ibu terkena kanker rahim.

"Bulik, aku mau ikut ke rumah sakit tengok ibu ya?" pintaku pada bulik Parti, tetangga sebelah rumah yang akan membawakan pakaian bersih untuk ibuku.

"Anak kecil ndak boleh masuk, Nduk ," jawabnya pelan.

"Tapi aku mau dekat ibu!" kucoba menghalangi pintu, berharap diizinkan ikut dengannya.

"Yowislah, Nduk. Tapi kalau ada perawat kamu harus sembunyi ya," akhirnya wanita paruh baya itu mengalah mendengar rengekanku.

Sampai di satu kamar perawatan berisi tiga tempat tidur pasien, kulihat ibu sedang tidur. Wajahnya pucat kebiruan, rambut panjangnya terhampar di bagian atas bantal. Mata itu terbuka saat kudekati dan kugenggam jemari kurus itu.

"Nduk, kenapa ke sini? Nanti dimarahi dokter." Suara lirih terdengar tanpa daya.

"Aku mau temani ibu di sini, boleh kan?"

"Ya, Nduk." Kulihat ibu masih ingin bicara, tapi tiba tiba mengernyit menahan sakit. Napasnya seperti sesak, tangannya mencengkram tepi kasur.

"Bu! Ibu kenapa? Bulik, tolong ibu!" Aku panik dan hanya bisa menangis.

"Yu Nani, tahan sebentar ya, biar kupanggil dokter!" Bulik Parti segera berlari keluar kamar mencari bantuan.

"Bu ..." Ku tak sanggup menahan air mata. Yang kurasakan hanya takut kehilangan ibu. Kuciumi wajah ibu seolah bisa menghilangkan sakitnya. Ternyata pelukanku membuat ibu menangis. Rintihan kesakitan berbaur isak tangisnya.

Kudekatkan telinga ke bibir yang mengerang, karena kulihat ibu ingin mengatakan sesuatu.

"Nduk, susullah ayahmu ke Jakarta. Tinggallah di sana ya, biar diantar pakdhe Slamet menemui ayahmu, Ngger ." dengan susah payah kalimat itu terucap. Aku menangis meraung, tak ingin ikut siapapun selain ibu. Walau pun dia ayahku.

Seorang dokter bergegas memasuki ruangan, tampak marah melihatku di atas tempat tidur pasien. Aku langsung turun dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Entah apa yang dilakukan dokter terhadap ibu, tak lama kemudian dia keluar kamar.

"Bu, aku mau disini sama ibu," bisikku sambil mendekati wajahnya.

"Ya, Nduk ... ibu sayang kowe Ngger." Ibu berucap seraya menarikku ke dalam pelukannya. Kurebahkan diri di samping ibu. Belum habis isakku, terasa tangan ibu mengendur di pundak. Dan saat mendongak ke wajahnya, kulihat ibu tersenyum dalam diam.

"Bu, ibu jangan pergi!" teriakanku melengking saat menyadari ibuku sudah tidak bernapas lagi. Sakitnya kehilangan seperti lepas jantung ini. Kecewa, marah, sedih yang teramat sangat bercampur menjadi raungan tanpa kendali.

Bahkan Bulik Parti tak sanggup menahan tangis. Mencoba memelukku untuk berbagi kesedihan.

Ibu! Maafkan anakmu ini....

Aku menyesal bu ... Semestinya aku memahami keadaan ibu saat itu. Ibu yang tulus mencintai ayah, tapi laki laki itu meninggalkan ibu berjuang sendirian. Bahkan dia tidak pernah datang saat ibu sakit.

Tanah pusara yang basah menjadi saksi dendamku. Laki laki itu jahat! Pak de Slamet sudah mengiriminya telegram, tapi dia tidak datang. | Cerpen Sedih Tuhan Kenapa Masa Kecilku Begitu Suram

Dia tidak pantas jadi ayah! Dia hanya laki laki pecundang!