Sayup Adzan mengumandang di kejauhan, siluet kecil berjalan perlahan-lahan. Kubuka daun pintu dari papan berkarat 'krieeeet,' suara itu membuat terhenti sejenak. | Cerpen Sedih Aku Menangis Karena Aku Seorang Pelacur
Berdebar dan telinga difokuskan pada keheningan subuh. Adzan sudah berhenti. Bunyi sekecil apapun bisa menyadarkan orang didalam rumah petak berukuran 4 x 6 meter ini.
Yakin tidak ada terdengar suara atau gerakan apapun dari dalam, merasa aman ... kubuka pintu lalu segera menutup.
Ketika berbalik, terkesiap melihat sosok tersebut dihadapan. Inilah yang kuhindarkan. Perdebatan berulang-ulang.
"Sampai kapan mesti begini, nak?!?" tubuh tua itu seperti menahan nyeri. Tapi kusadari bukan raganya yang sakit, melainkan jiwanya.
"Sudahlah Mak, aku malas ribut. Nanti anak-anak Mamak yang lain bangun. Yang penting aku ndak mengganggu."
Kuhempaskan penat ke kasur, selimut menutupi seluruh tubuh. Aku jenuh dengan pertengkaran kami. Tak perlu ibu memikirkanku lagi, masih ada tiga anaknya yang lain. Andi 14 tahun, Vera 10 tahun dan Fajar 7 tahun.
Kami yatim, entahlah yatim karena mati Bapak atau sebab alasan apa. Yang terdengar dari tetangga ketika menggunjingkanku "buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bapaknya bejat, anaknya sesat."
Seringnya jika mendengar sendiri, akan kuberi senyum termanis pada pasukan Ibu yang lebih senang menonton kehidupan orang lain itu. Berjalan berlenggak lenggok, leher baju diturunkan dan rok dinaikkan ... sengaja membuat mereka kesal. Kalau sudah begitu, pergosipannya akan semakin merajalela.
Senang sekali bisa memberikan kebahagiaan buat sesama. Kasihan warga di sini haus hiburan, banyak keluarga kurang piknik dan rekreasi, sebab uang cuma bisa untuk makan seminggu sekali. Ironisnya hidup kami.
adik-adikpun dilarangnya. Jadi setiap ingin mandi ataupun kebelet tengah malam, mereka harus ke wc umum atau ke lanting tepi sungai yang tak begitu jauh dari rumah.
Sebenarnya Ibu bisa menjahit, hasilnya lumayan rapi. Pelanggannya pun warga di sekitar sini, ada beberapa juga dari kampung sebelah. Tapi mesin jahit sudah dijual Bapak waktu Fajar empat tahun. Aku dengar ... kata tetangga lagi, untuk Bapakku melacur.
Pernah terlihat sahabatku berseri-seri berangkat di pagi hari memakai seragam putih abu-abu, kusapa dia "Ratna, sudah lama tak bertemu. Kenapa ndak pernah lagi main ke rumah? Aku rindu lho."
Tapi Ratna tak menjawab, malah terkesan tuli, dia beserta rombongannya berjalan cepat melewatiku seperti melihat virus. Padahal waktu SD hingga SMP kami sahabat karib.
"Eh, jangan pernah ngajak anak-anak sini main ke rumahmu, yah? Nanti dari satu anak kejangkit penyakitmu, lalu bisa-bisa seluruh warga kena. Kalau mau rusak ... rusak sendiri saja. Jangan bawa-bawa yang lain. Dasar sundel," itu Bu Imah, yang mewakili Ratna menjawab. Dari dia jugalah aku tahu bahwa orangtua Ratna melarang berteman denganku. Bukan cuma Ibu Bapak Ratna saja, bahkan seluruh kampung.
Itu kejadian satu tahun lewat, tapi sekarang aku tidak begitu peduli lagi.
Aku telah mahir mematikan rasa. Bukan hal yang berat untuk dipikirkan ... telah terbiasa.
"Tina, Mamak malam ini ada Pengajian. Bisa ndak tolong jagakan adik-adik sebentar? Andi sedang tanding di sekolahnya. Mamak ndak lama, paling sampai jam sepuluh."
"Lama itu Mak jam sepuluh. Biasanya kan Pengajian dimulai selepas Isya, setelah itu makan-makan, ngolor ngidul, Jam sembilan Mamak sudah di rumah."
"Iya biasa begitu. Tapi ini kan Mamak jalan kaki. Jadi mungkin jam sepuluh lah baru sampai."
"Masa' jalan kaki sampai satu jam? Macam-macam aja. Aku ndak bisa, Mamak kan tau jam tujuh aku sudah harus mulai kerja."
"Cuma malam Jumat sajalah kau begini. Malam-malam yang lain kan ndak. Masalahnya Mamak Pengajian di kampung Bu Hajjah Danilah."
"Haaaa?!? Jauh amat, Mak? Dua kampung dari sini?"
"Iya, disana lebih nyaman. Ilmu dari Ustadzahnya lebih enak untuk otak Mamakmu ini cerna."
Aku tahu wanita yang terlihat renta ini berbohong. Sebab Ibu pun pasti tidak diterima juga untuk mengikuti Pengajian disini. Penyebabnya aku. Bahkan manusia tak berdosa inipun ditolak karenaku. Harusnya pergi jauh dari Beliau, dahulu pernah kucoba. Tapi Andi menjemput karena kabarnya Ibu sakit-sakitan sebab tidak tenang memikirkan berpisah dariku.
Aku hanya tamat SMP, tidak dapat melanjutkan jenjang berikutnya karena habis dana. Mendadak Yatim, adik-adik banyak ... sedang semua mesti sekolah.
Bagaimanapun harus ada yang mengalah. Dan aku si sulung, biarlah bekorban demi mereka walau berat. Toh Ijazah SMP masih bisa digunakan untuk bekerja di toko. Jadi kuputuskan berhenti sekolah. Ibu sedih berhari-hari, tapi tak punya daya lebih...Beliau pun menyerah.
"Tina, kau mau ikut aku ndak? Ada lowongan kerja jadi penjaga warung." Suatu pagi Sinta teman SD yang sudah lama merantau mendatangi.
"Maulah, Sin, Berapa gajinya?" aku mulai tertarik.
"Lumayanlah untuk belanja." Teringat wajah bulatnya dulu, tapi dia sudah berubah bening sekarang, pakaiannya pun bagus sekali. Pertamakali melihat, aku seperti tak mengenal.
"Kerjanya boleh pilih jadwal sore sampai malam, kan? Masalahnya kalau ada uang, aku mau lanjut SMK, Sin." Hatiku benar-benar melambung senang karena disisipi secercah harapan.
"Kerjaannya malam. Mulai jam tujuh," cincin-cincin emas besar memenuhi jari Sinta, kilapnya menyilaukan.
Tak sabaran mendengar berita ini, ingin aku melompat-lompat kegirangan "wah, asyik dong. Berarti ndak ganggu jam belajarku nanti. Kapan kau mau kenalkan dengan yang punya warung?"
"Malam ini bisa kok kubawa kau kesana. Siap-siap saja." Sinta pamit pulang dan berjanji menjemputku jam enam nanti.
Ternyata itu jebakan. Di usia empat belas tahun aku dipaksa menyerahkan kesucian. Sinta bukannya membawa ke warung biasa, tapi itu warung remang-remang. Tidak pernah mengetahui berapa harga keperawananku dilelang. Yang tersadar malam itu, dalam remuk dan deraian ... aku mengantongi satu juta rupiah. Jumlah yang fantastis, serasa kaya dibalut lembaran merahnya. Tak pernah melihat apalagi memegang uang sebanyak itu, dalam tawa histeris kupeluk uang darah tersebut.
Malam penyesalan seumur hidup. Kenangannya menghantui, bahkan mengikuti dalam tidur. Rusak, hina, ternoda. Seandainya waktu bisa diulang.
Aku tak berniat lagi mengikuti Sinta ... bahkan diapun tidak lagi menampakkan batang hidung. Tapi esoknya ada dua orang lelaki berperawakan besar serta berotot memaksa turun dari rumah. Aku menolak, Ibu sampai memohon. Andi sedang tidak di rumah karena berlatih di luar.
Namun seorang wanita gembrot yang kemudian kuketahui sebagai Mami berkata licik "kau akan kulepaskan jika mampu membayar hutangmu malam ini juga."
"Aku tak punya hutang apapun, malah kau yang menjualku. Kau pembohong. Sinta hanya modusmu. Kalian semua penipu," kesedihan sudah sampai ke ubun-ubun, matipun aku terima.
Lalu ditunjukkan kertas perjanjian yang bertandatangan aku dibawahnya. Dibacanya lantang dan tersadar bahwa semua ini perangkap. Kepercayaan pada Sinta membuahkan malapetaka, saat dia meminta menyetujui kertas itu, terpikir bahwa cuma surat kontrak kerja biasa. Begitulah disebutkannya ketika memberikan lembaran putih itu dihadapan. Jumlah hutang yang membuat sesak napas, terbelalak.
Kami cuma punya dua pilihan ... membayar hutang, atau Ibuku berakhir di penjara.
Alangkah bodohnya, gadis naif yang tolol. Semenjak itu duniaku kelam.
Hari ke-20 tak tertahankan lagi, setiap malam diwajibkan melayani beberapa lelaki hidung belang.
Pernah mukaku lebam dipelasah berkali-kali oleh tiga anak buah Mami yang berbadan raksasa, sebab aku mencakar wajah pelanggan. Saat itu benar-benar muak ... depresi. Namun menginsafi muslihat ini bukan cuma mengancamku tapi juga keselamatan semua orang tercinta, akhirnya kumatikan rasa. Kubur saja yang bernama kesedihan, kebahagiaan, kekecewaan serta harapan.
Kini sudah dua tahun dunia ini tergeluti, pada akhirnya aku telah lama berdamai dengannya. Memberontak hanya menambah jeratan semakin terasa perih. Apapun perlakuan manusia, akhirnya dapat kuterima. Bukan masalah yang berat lagi ... tidak perlu dipikirkan. Jalani saja sampai jantung berhenti dialiri darah.
"Na, sudah lihat Endah belum? Kmarin ku liat dia di pasar sedang belanja dengan Lakinya. Gilaaa, tampilannya wow. Kayak artis ... pangling aku," Sasa teman seperjuangan yang dipertemukan di warung remang ini memberikan bungkus rokoknya padaku.
"Terus, kau panggil dia ndak?" kucomot sebatang dan menyalakan apinya, mendekat ke bibir lelaki muda yang sedang merokok di sebelah.
"Iya, aku panggillah. Sampe teriak senang karena udah lama ndak ketemu. Tapi anehnya Endah malah pura-pura tak kenal. Dingin gitu, jadi ndak enak. Ya udah ku tinggal pergi. Sombong sekarang dia, Na," rungut Sasa seraya mendenguskan asap hitamnya.
"Mungkin bukan sombong, Sa. Siapa tau dia sudah ndak mau lagi berhubungan dengan masa lalu. Namanya juga orang pengen bina hidup baru. Kalau ketauan kenal ... nanti masyarakat luar tak mau terima. Kita pelacur kelas bawah, Sa. Cuma debu kotor." Lelaki muda disebelah tadi lalu memboyongku pergi. Ternyata sudah waktunya melayani.
Tidak semua bisa seberuntung Endah, dia cuma satu dari kami. Disunting Bos minyak buat dijadikan istri. Meski ketiga, tapi kudengar hidupnya nyaman. Bermimpi seperti itupun aku tak berani. Sadar diri tidak setinggi, langsing, putih, bangir, mulus dan secantik Endah. Tampilanku biasa-biasa saja, tak begitu istimewa.
Kenapa Endah cuma satu diantara kami? Sebab ketika Rina diminta pelanggan yang tulus mencintainya untuk menjadi istri ... khayalan tersebut tak bisa terwujudkan sampai sekarang.
Nilai tebusan kami lumayan besar, itupun belum cukup sampai disitu.
Pasangan harus menyetujui perjanjian dengan cap darah. Syaratnya, apapun yang diketahui tentang kami serta Mami ... harus disegel rapat atau mereka mati.
"Iyalah Mak, aku tunggu malam ini sampai jam sepuluh. Kalo bisa ... sebelum jam segitu Mamak udah pulang. Kan tau sendiri kayak apa si Mami," tak tega juga menolak permintaan wajah yang mulai dipenuhi kerutan itu.
"Iya, Na. Mamak ikut pengajian karena mau minta bantu doa Ustadzah. Kan doa orang-orang alim langsung terdengar Tuhan. Biar bisa membayarkan hutangmu ke Mami." Mata Ibu bersinar karena senang mengetahui aku mau menjaga adik-adik.
"Hahahaha doa, Mak? Apa Tuhan itu ada? Kalau ada maukah mendengar kita? Lalu, Doa bisa bayarkan hutang kah? Kerja Mak, kerja. Doa ndak bisa kasi makan. Tuhan juga ndak pernah berkenan ngunjungi gubuk reyot kita kok," cibirku.
"Astaghfirullah, Na. Ngucap, nak. Jangan...."
"Ah sudahlah Mak ... aku malas meladen. Capek bertengkar terus. Kalo mau pergi Pengajian ... pergi aja. Aku jaga adek-adek. Cukup kan?" sambarku memotong ucapan Ibu.
Ibuku cuma menghela napas panjang dan berlalu. Selalu begitu reaksinya jika menahan getir tak terluapkan.
"Kenapa jam sepuluh kau baru muncul?" Itu suara Tono, kepala centeng.
"Maaf bang. Aku disuruh Mamak menjaga dua adikku di rumah. Mamak ada keperluan malam ini. Aku terpaksa, bang."
Plaaak
"Alasan, kau! Lain kali terlambat lagi. Bukan cuma tamparan yang diberi, kumasukkan kau ke bak mandi," merah mata Tono menatap. Inikah penampakan syetan?
"Iya bang, tak akan ada lain kali lagi. Makasih bang. Aku masuk dulu, kerja."
Ku elus pipi. Ah, mungkin bengkaknya besok pagi. Tak ada yang parah, berarti malam ini dan seterusnya masih harus kerja.
Lagi dan lagi ... nikmati saja.
Setiap bulan kami disediakan satu pakaian baru. Pertamakali memakai seragam ini membuat jengah. Dress setengah, cawat tersembul mengintip malu-malu, dan dilarang memakai baju dalaman.
Semua ada limapuluh orang, silih berganti datang dan pergi. Tapi tidak boleh lebih dan kurang dari jumlah tersebut. Jika sudah lima tahun bekerja, kami akan dirolling ke tempat maksiat lain. Begitu kata Mami. Jadi biar terkesan pendatang baru ... masih segar. Padahal orang-orang lama itu juga, diakali dengan berpindah-pindah ... itu trik Mami.
Tiga bulan sekali suntik. Kenapa yang tiga bulan? Supaya kami tidak pernah menstruasi. Sebulan sekali Dokter dan dua orang timnya memeriksa untuk cek kesehatan. Jika didapati ada yang terkena HIV, maka akan diantar pulang kampung plus uang pesongan dua juta atau lebih, tergantung berapa lama mengabdi. Patut bersyukur ... daripada tidak sama sekali.
Pengunjung diwajibkan menggunakan alat kontrasepsi, tapi terkadang ada yang bandel. Yang begitu harus membayar lebih, denda ... sudah aturan disini.
Kata orang sih, Mami masih baik. Karena jika ada yang melawan, masih diberikan kesempatan buat kami yang binal maksimal tiga kali, tergantung besar kecilnya pemberontakan. Namun jarang sekali ada yang membangkang.
Kami sudah ditakuti isyu mengerikan, Om Deri rekan kerja Mami. Dia manusia terkenal tanpa toleransi. Jangan pernah mengharapkan menjadi anak buahnya karena kejam. Bahkan kudengar ada yang pernah tewas ketika kabur dan mengancam akan melaporkan dia ke pihak berwenang.
Kasusnya tak pernah lanjut, mati begitu saja menguap seperti sosok penyadu.
"Sudah kurang ajar kau, berani-beraninya melawan. Mau kulempar ke Deri kah? Turuti saja semua perintahku, jangan membantah," nyaring suara Mami menggertak.
"Mami, aku malam ini letih sekali. Rasanya ndak enak badan. Ijinkan istirahat satu malam saja, Mi. Tokh selama dua tahun aku mengabdi ... tak pernah mangkir kerja," badanku lemas, rasanya kurang bersemangat.
"Jangan cengeng! Cuma demam segitu saja dibawa manja. Tak cukupkah sebulan 2 hari kukasi kalian kebebasan? Kau anak kemarin sore sok nantang-nantang, heh?!?"
"Bukan begitu, Mi. Sumpah, rasanya aku sakit malam ini."
Sekejap kemudian terasa panas menjalar dipipi kanan, kujilat asin berkarat dipinggir bibir. Kulirik Mami, perempuan gembrot itu sedang menatap jalang. | Cerpen Sedih Aku Menangis Karena Aku Seorang Pelacur
"Tono, beri pelajaran bocah ingusan ini! Dia minta libur, kita beri yang diinginkan."
Bak buk bang dhuak gedebuk
Badanku dipukul, ditendang, ditijak. Sebentar, cuma lima menit. Tapi rasanya lama betul. Penyiksaan tak berhenti-henti.
"Cuih, kalau mau prai. Kau harus sesakit ini dulu," centeng berkulit hitam itu menendang perutku untuk kesekian kalinya sebelum berlalu.
Pelajaran yang kudapat di hampir tahun ketiga; jika ingin ijin ... maka fisikmu yang harus remuk, tak penting batinmu.
Malam itu aku diantar anak buah Mami pulang. Ibu menjerit, Andi hampir melawan seandainya tidak dilarang. Bu Imah tanpa tahu malu mengintip dari pintu yang terbuka ... lalu pulang dengan tersenyum puas.
Aku yakin besok pagi pasukannya bakalan mendengarkan kabar ini lalu mensyukuri, mengamini, menyumpah "biar sekalian mati saja tuh perempuan najis. Cuma pembawa sial di kampung kita," aku pernah dengar perkataan tersebut keluar dari mulut salah satu orang-orang suci itu.
Tak ada yang peduli. Sibuk dengan kepentingan masing-masing. Tanpa mau pusing memikirkan sekitar. Anehnya, paling senang ketika melihat orang susah. Begitulah kami.
Sebelumnya Dokter pribadi mengobati di kantor Mami. Mungkin benar kata orang, Mami masih baik ... buktinya dipanggilkan Dokter buat memeriksa. Kenapa manusia pintar itu mau menerima profesi ini? Tidak tergerakkah hatinya melaporkan pekerjaan haram begini kepada berwenang? Pasti karena Duit.
Duit adalah Dewa.
"Tak ada yang patah. Seminggu bisa istirahat. Jangan banyak bergerak dulu biar cepat pulih. Ini obatnya, semua 3x sehari. Pagi, siang, malam. Dihabiskan," kasar anak buah Mami menyerahkan obat kepada Ibu. Gigi Andi bergemelutuk, rahangnya mengeras tegang. Aku tidak mampu bergerak, hanya mendengar suara mobil berlalu.
Aaah ... tujuh hari saja batas menikmati libur. Karena sebelum dua centeng itu pulang "ingat, minggu berikutnya kami sudah harus melihatmu bekerja lagi!" Suara itu mengancam. Lalu dilemparkannya selembar uang merah itu padaku.
Intan pernah menanyakan sampai kapan dia harus terperangkap di neraka ini. Dia minta perincian berapa sisa hutangnya kepada Mami. Tapi bukannya penjelasan, melainkan tendangan yang didapat. Intan beserta empat orang lainnya yang berani mempertanyakan, malam itu diseret ke kamar karantina. Lalu kami semua digelandang di depan kamar tersebut. Mematung ngeri.
Braaaak bruk bak buk gelebuk debap praaang
Sepertinya bunyi tubuh-tubuh terbanting, barang pecah, teriakan bersahut-sahutan. Hawa kebuasan di dalam sungguh terasa keluar.
"Aaaaaaaahhh sakit," jeritan perih.
"Sudah bang, sudaaah. Ampuuuun," permohonan jera.
"Bunuh saja aku bang, bunuuuuuh akuuuuuuuu", tangisan menusuk kalbu.
Tergerakkah hati 5 lelaki kejam itu? Mereka tidak punya hati, bahkan mungkin juga jiwa. Aturan Mami; siksa tapi jangan hilangkan nyawa.
Yang terdengar selepas hingar bingar itu hanyalah jeritan Intan beserta lainnya. Menggema pilu. Menggoyangkan mental kami "jangan bang, jangan masuk lewat belakang...."
Merinding ketakutan, kami terpancang mengamati lantai, Mami memberikan senyum iblisnya. Perlakuan luar biasa dari para begundal. Intan, Mala, dini, Ela, dan Siti diperlakukan tak manusiawi secara massal.
Minggu berikutnya mereka tidak lagi bersama kami, digantikan lima orang berbeda. Aku dengar dirolling ke tempat Om Deri, tak ada yang berani mempertanyakan, semua hanya terdengar dalam bisikan. Maka jika ini memang neraka, maka akulah penghuninya.
"Na, besok aku sudah 5 tahun disini. Mami bilang supaya siap-siap dirolling ke tempat Om Deri. Katanya aku butuh penyegaran. Padahal masih senang disini, cuma kau temanku. Aku bakalan merindukanmu, Na." Sendu sahabatku menatap, begitu yakin kami akan kehilangan.
"Udah lima tahun toh? Ndak terasa yah, Sa? Tapi jangan khawatir, aku kan sudah 4 tahun di sini, berarti tinggal setahun lagi menyusulmu", kusodorkan gelas yang penuh berisi alkohol ke hadapannya, diapun menyambut. Saling beradu gelas ... kami mentertawakan nasib. Buruk? Ini bukan buruk lagi, tapi busuk!
"Ndak terasa apanya, Na. Kita hidup dalam mimpi buruk tanpa pernah bisa bangun-bangun lagi." Sasa menyesap alkohol itu ... berharap menentramkan walau semu.
"Kau kan sudah duapuluh lima sekarang. Sepuluh tahun lagi pensiun. Ndak lama lagi kok Sa. Ndak kayak aku, masih tujuhbelas tahun lagi tersiksa begini." Melirik lelaki tua kerempeng di pojokan yang bermain mata padaku, rasanya sungguh memualkan.
"Itulah Na. Aku dengar Lena bunuh diri yah?"
"Begitu?" Suaraku datar, tak ada yang mengejutkan disini, "pake apa?"
"Pisau ... potong tangan sendiri."
"Hmmm baguslah Sa. Setidaknya dia sudah tenang sekarang, bebas. Biar perempuan gembrot itu tekor besar kayak yang biasa disampaikannya. Kemerdekaan kita adalah kerugian buat dia. Hihihi" Aku cekikikan merasa girang diatas kematian orang lain.
"Begitulah Na. Dan kita cuma bisa pasrah aja, kan? Selamat." Sasa mengangkat gelas dan aku menyambut untuk bersulang, salut akan kehidupan yang luar biasa ini.
"Yup, tak ada yang berpihak pada kita. Apalagi Tuhan yang diagung-agungkan Mamakku itu."
"Sombong yang tukang ciptakan kita yah, Na? kemana Dia waktu kita mohon bantuan? Katanya si yatim dan yang terzolimi ... doanya akan dikabulkan. Tapi ini kau? Bertahun-tahun masih juga disini ... sampai aku yang bosan liatnya." Perkataan Sasa bikin aku tertawa ngakak, diapun tidak berhenti tertawa hingga mengeluarkan airmata. Entahlah menangis karena senang, entah juga menangis karena tak tahan lagi pada kekonyolan ini ... yang sepertinya tidak akan pernah berakhir.
Hari ini pun berakhir seperti sebelumnya, di meja karaoke dengan para hidung belang berbau alkohol. Sering kubertanya dalam hati kabar anak-anak mereka di rumah, apakah si istri mengetahui kelakuannya. Kenapa uang tak digunakan untuk mensejahterakan keluarganya saja?
Diantara para lelaki bobrok ini, pastilah ada Bapakku ... yang entah berada di warung remang-remang mana? berakhir di selangkangan pelacur siapa? Merekalah yang menumbuhkan kami. Berkat lelaki-lelaki bejad inilah usaha Mami tidak pernah mati. Sebab jika sepi peminat, pastilah pekerjaan ini akan gulung tikar. Tapi terbukti sebaliknya ... setiap malam hingga subuh jahanam-jahanam itu datang silih berganti tak pernah berhenti.
Tidak semua kami bekerja karena terpaksa. Ada yang sukarela menyerahkan diri, bahkan ada yang dijual keluarga sendiri.
Si cantik Elen malah didagangkan suami sahnya.
Dan baru-baru ini aku beserta Sasa mendapat sahabat baru. Dia tinggal bersama Sasa setiap habis dipekerjakan. Pada dialah aku merasa sungguh bernafsu, hasrat ingin melindungi. Setiap malam kucarikan laki-laki yang terkenal baik supaya tidak kasar memperlakukannya.
Ina yang imut, usianya baru sebelas tahun, satu tahun lebih muda dari Vera.
Ina sudah tamat SD. Sama seperti aku, orang-orang kampung umur lima tahun mendekati enam ... sudah diperbolehkan mendaftar sekolah.
Aku terharu akan kisahnya. Dia anak tunggal yang ditinggal mati Ibu karena sakit-sakitan. Bapak kandungnya mau kawin lagi, jadi menjualnya di sini.
Seandainya 2/3 saja penduduk bumi lebih peduli, kejadian traficking ini tidak akan menjamur layaknya android. Tak ada yang mau memperhatikan kami, untuk sekedar mendengar ceritapun semua memilih minggir. Yang disenangi cuma menyimak cinta-cintaan saja.
Begitulah manusia, mungkin sudah lelah dengan hiruk pikuk beban diri ... jadi lebih senang disuguhi kisah romantis penggembira hati. Sedangkan yang kulihat sendiri, asmara jaya hanyalah illusi.
Fatamorgana!
"Urus saja hidupmu masing-masing," begitu kata tetangga ketika yang lain butuh bantuan. Tapi saat seseorang dianggap menyimpang dari aturan sosial, mereka seolah-olah lupa dengan urusan rumahtangganya sendiri.
"Demi Tuhan yang dicintai Ibuku, hidup memang selucu ini!"
Aku menemukan gadis kecil itu sewaktu pingsan di malam pertama. Hampir saja disiram air dingin oleh Tono. Tapi kuberi lelaki bangsat itu dua lembaran merah untuk mencegah.
Sebab permohonan hingga menangis darahpun percuma kau lakukan pada centeng-centeng itu, mata uanglah penawaran sah yang berlaku di sini. | Cerpen Sedih Aku Menangis Karena Aku Seorang Pelacur
Ingin hati merejam perempuan laknat bernama Mami, juga menusuk semua anak buahnya.
Berkali terpikir ingin membakar bangunan maksiat ini, namun sadar tidak semua penghuni berhendak hidup begini.
Dan sekali lagi aku yakin, semua kata Ibuku tentang Tuhan ... itu hanyalah bualan semata.
- Bersambung -