Ibu kota Sumatera Utara begitu terik hari itu. | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 2
Ditengah kepadatan peserta seleksi PTN yang datang dari penjuru daerah. Ada saja pihak-pihak yang tak ingin melewatkan kesempatan. Penipu dan orang-orang berniat buruk berkeliaran mencari mangsa. Dan salah satu yang akan mereka jerat, adalah aku.
Seorang asing awalnya berbasa-basi, kemudian menawarkan reksadana dengan dana kecil untung besar. Apalagi jika berhasil mengajak orang lain untuk bergabung, ya ... sistem MLM.
Entah datang dari mana, Mas Radit dengan lantang memperdebat si orang asing yang hampir membuatku tergiur. Berhasil mengusir si pembual, Mas Radit mulai bertanya-tanya sedikit tentangku. Lalu menyampaikan petuah-petuah bagi si perantau haus ilmu.
“Kehidupan di kota, kejam. Tidak seperti di desa. Orang desa berpikiran sederhana. Di kota semua orang berlomba memperoleh manfaat dengan cara yang salah. Persaingan untuk bertahan hidup di sini ketat. Hati-hati dengan orang baru. Jangan mudah percaya.” Pesannya menutup perjumpaan.
Hingga kami dipertemukan kembali beberapa bulan kemudian. Aku mahasiswi dan dia asisten dosen. Tak menyangka ternyata Mas Radit menjadi salah satu asisten dosen di kampusku, asisten dosen yang sering keluar-masuk kelasku.
Semua berjalan normal. Keakraban di kampus, dia sebagai pengajar. Di luar, dia sebagai sosok abang yang senantiasa memberi pertolongan. Satu hal yang menjadi kebiasaannya, bahkan sejak awal pertemuan. Ikut campur dalam setiap persoalan yang aku punya. Hanya untuk urusan kampus, dia masih membuat batasan-batasan profesional.
Hari wisuda tiba. Tak lama waktu berlalu, Mas Radit muncul di depan rumah kedua orang tuaku. Siapa menduga beliau berniat menjadikanku kekasih halalnya waktu itu.
Dilema besar menimpa. Mas Radit tidak tahu, aku memiliki kisah kasih sendiri.
Sebuah kisah pahit.
Kehadiran Mas Radit kukira adalah solusi untuk melupakan lelaki itu. Demi memantapkan hati, kuminta Mas Radit menunggu. Aku masih ingin kembali ke kota dan berpetualang mencari kerja. Dia bersabar. Sayang, kesabaran Mas Radit tidak berbuah manis.
Aku justru memberi penolakan ketika jiwa terguncang, meratapi orang yang kusayangi terbaring malang dalam koma.
Waktu mendengar Mega maju melakukan pendekatan dengan Mas Radit. Aku memberi gadis cantik itu dukungan. Berharap mereka berdua memang digariskan Sang Maha dalam perjodohan, dunia – akhirat.
“Allahu akbar! Allahu akbar!”
Adzan isya terdengar bersahut-sahutan dari seluruh menara masjid kota Medan. Membawaku kembali dari kenangan singkat bertahun-tahun silam. Tentang sebuah dilema yang telah lama berakhir.
“Mega? Kamu bilang apa?” tanyaku kembali ketika Mega berulang kali memanggil namaku dari seberang, baru sadar cukup lama aku hanyut dalam lamunan.
Dia mengela napas panjang. Hingga adzan selesai, dia melanjutkan percapakan yang sempat terhenti.
“Nura, sekali lagi maaf. Aku menyayangimu, sahabatku. Perasaan itu tak berubah sedikitpun. Meski kehadiranmu cukup mengancam rumah tanggaku. Agak tak terima, tapi aku harus berkata jujur.
Kamu jangan besar kepala. Aku tahu, diam-diam Mas Radit masih menaruh rasa padamu. Apalagi seorang Nura hari ini, berkarir, cerdas, cantik, dan anggun. Sedangkan tubuhku mulai berbentuk tidak karuan ...”
“Mega, kamu bicara apa?!”
“Maka dari itu aku mohon, bersyukurlah pikiranku masih cukup jernih, Ra. Aku meminta baik-baik, jauhi Mas Radit. Sekalipun dia duluan mendekati.”
Mendengar pernyataan Mega, tak bisa kucegah air mata yang ingin tumpah. Ada rasa sakit di dada.
“Menjauhi Mas Radit, itu artinya ... menjauhi kehidupannya. Dan kamu adalah bagian dari hidupnya. Artinya aku juga menjauhi kamu! Lalu aku harus kemana jika ingin mengadu, Mega!”
Entahlah. Telingaku seperti mendengar ada isak tertahan disana. Mungkin Mega merasakan kepedihan yang sama. Persahabatan kami harus terbentengi oleh perasaan Mas Radit yang masih suka kesana-kemari.
“M-mintalah pertolongan pada Allah, Ra. Mengadu pada Dia. Tetaplah bersabar melanjutkan perjalanan yang sudah kamu mulai. Sudah, ya. Sepertinya Mas Radit pulang. Sudah Isya juga. Buruan kamu solat.” Mega tertawa sumbang memberi jeda.
"Nura, ingat pesanku. Assalamu’alaikum.”
Panggilan terputus.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah...”
Aku tersenyum kecut. Udara terasa kian pengap meski angin malam berulang kali menusuk kulit. Aku kehilangan mereka satu persatu. Mereka yang telah memiliki kehidupan sendiri, bersama orang-orang terkasih. Sedangkan aku? Masih belum bosan menunggu sesuatu yang tak pasti.
Seharusnya aku cukup dewasa untuk memandang realita. Mengandalkan logika. Lupakan perasaan yang hanya akan menyiksa. Kalau saja salah satu lamaran itu kuterima. Aku tak akan terombang-ambing tak tentu arah.
Tapi hati tak ingin berkhianat. Seolah yakin dia tercipta hanya untuk satu jiwa yang kini masih larut dalam lelap.
Langit kota Medan gelap gulita, kontras dengan bumi di bawahnya yang di penuhi lentera-lentara aneka warna. Pasangan muda-mudi hilir-mudik meramaikan jalanan kota. Senyum-senyum pada wajah mereka merekah penuh canda romansa malam minggu.
Di atas balkon kantor, aku mengasing. Jam segini para pegawai sudah berpulangan.
Kalau tidak karena sangat butuh uang. Ingin rasanya mengundurkan diri dari sini. Mencari pekerjaan yang lebih dekat dengan syari’at islam.
Untuk sekarang, gaji digabung hasil lembur puluhan juta pun tak cukup. Aku sampai harus menjual mobil, kalau perlu juga apartemen. Lalu nanti pindah ke gedung apartemen kecil dan sederhana di pinggiran kota. Dan sekarang aku harus mencari penolong lain menggantikan Mas Radit.
“Nura?”
Suara yang muncul dari belakang membuatku terkejut. Seorang lelaki berusia hampir paruh baya dalam setelan jas dan rambut di sisir rapi berlapis pomade, melangkahkan kakinya yang berbungkus sepatu pantofel mengkilat. Berdiri disampingku. Pak Marcell. Bos besar tempatku bekerja.
“Sedang apa sendirian di sini?”
Aku tersenyum, minggir ke kiri sedikit memberi jarak darinya. “Iseng saja, pak. Mau tahu apa akan turun hujan malam ini.”
Dia tertawa renyah. “Kamu kesepian, Nura?”
Ah! Pertanyaan itu sontak membuatku menoleh padanya. Pertanyaan yang dari nadanya terdengar tak biasa.
“Kamu itu ... benar-benar menarik, penuh misteri. Menantang.” Dia memutar pandangan ke arahku, segera aku menghindari tatapannya. Mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Kedua tangannya masuk ke kantung celana. Dengan pelan, ia mendekat ke tempat aku berdiri. Tetap mencoba tersenyum, aku terus memberi jarak di antara kami. Dia kembali tertawa.
“Malam ini dingin, mau minum?”
“Em, minum apa, Pak?”
“Haha! Kopi misalnya. Kamu kira apa, Nura?”
Aku merasa kikuk. Seisi kantor tahu Pak Marcell adalah pecandu alkohol. Dan aku takut diseretnya untuk mencoba. Haha! Ya. Mana mungkin dia senekat itu. Tapi walau sekedar minum kopi, rasanya tetap aneh jika kami hanya berdua.
“Kenapa, Nura?” dia menaikkan sebelah alis. Lagi-lagi membuatku bingung dengan sikap anehnya malam ini. Sejauh ini yang kami tahu, Pak Marcell cuek dan tidak suka berbasa-basi.
“Bagaimana kalau kita ajak yang lain, Pak? Biar ramai.” Sekali lagi aku mencoba tersenyum. Dia menarik napas panjang lalu dihembuskan dengan kasar. Menatap jalanan dan langit bergantian.
“Saya kira kamu orangnya cukup peka, Nura. Kamu tahu ... saya tidak suka berbasa-basi. Tapi sepertinya kamu tidak sadar, selama ini saya memperhatikan kamu.”
Jantungku berdegup kencang mendengar pernyataan duda ini. Apa maksudnya? Dia kembali mencoba mendekat. Sedangkan cemas membawa kakiku buru-buru melangkah menuju pintu, tapi tangannya dengan cepat menarik sebelah tanganku. Refleks aku menepis dan menjerit karena kaget!
“Saya tahu perasaan kamu, Nura. Kamu kesepian? Butuh tempat sandaran, kehangatan! Kamu itu tetap wanita normal. Meskipun mereka bilang kamu punya kelainan. Haha! Saya bisa lihat pancaran dari dua mata kamu yang jelita itu. Nura, bagaimana kalau kita ...”
“Cukup!” aku menatapnya tajam. Tindakannya sudah tidak sopan, dia melewati batasan! Ingin mengeluarkan caci maki, tapi yang ada aku hanya mengulum bibir. Lagi-lagi ingat siapa dia di tempat ini!
Berbalik badan, aku berjalan memasuki pintu yang akan membawaku segera kembali ke ruang kerja. Berharap bisa secepatnya menyambar tas dan melarikan diri. Tapi dua tangan yang tiba-tiba menarikku ke dalam pelukan, membuat langkah kaki terhenti. Aku berteriak histeris.
“T-tolongg!”
“Haha! Minta tolong sama siapa, Nura? Dunia ini hanya milik kita.”
Ugh! Bau menusuk hidung keluar dari mulutnya, alkohol! Aku terus meronta melepas kedua tangan Pak Marcell yang melingkar hingga ke punggung. Kurang ajar lelaki ini! Mengumpulkan kekuatan, aku berteriak sekencang mungkin sambil meregangkan tangan dari himpitannya.
“Toloooongg!!!”
Brukk!!
“Arh!!” aku terkejut. Pak Marcell tersungkur ke belakang. Dia menyeringai bangkit, melayangkan pukulan pada seorang pemuda berdiri di depanku. Entah dari mana dia muncul. Aku masih belum menyadari, bahkan ketika dia bergulat dengan Pak Marcell. Aku masih diam membisu. Pikiran kalut.
Yang ada aku hanya berjongkok dan menangis sejadi-jadinya. Memendam rasa tak terima, karena lelaki itu telah menyentuhku!
“Bajingan!” Bos sialan itu meludahkan darah dari mulutnya, wajahnya lebam bekas beberapa pukulan. Bersandar di dinding dia mengerang kesakitan, dadanya naik turun menahan emosi. Sedang pemuda yang telah berani membuat mukanya bonyok, menarikku bangkit berdiri. Menyeret ke ruang kerja milikku.
“Cepat ambil barang-barang, mbak." Titahnya. Tapi aku masih diam dengan sisa air mata membasahi pipi. Untuk melangkah mengambil tas pun rasanya tak bertenaga. Dia berdecak lalu menerawang.
Berjalan ke meja kerja, menatapku dengan tampang memburu. “Ini tas mbak? Ada barang lain?”
“A- entahlah ... mungkin....”
Belum selesai aku bicara, pemuda berwajah pucat itu menarikku sambil menenteng tas. Menuju lift turun ke lantai dasar.
Ting!
Pintu lift terbuka. Kami berjalan keluar beriringan.
“Mbak bawa mobil?”
Mobil? Ah iya. Aku meninggalkannya di basement apartemen. Usai perawatan aku tak pernah menyentuhnya lagi. Aku menyiapkannya sedemikian baik untuk pemilik barunya.
Aku menggeleng sebagai jawaban. Dia pun merogoh sesuatu dari saku jaket kulit yang ia kenakan.
“Saya pesan taksi.”
“K-kamu ... kamu siapa?”
Hening. Dari sorot matanya aku tahu dia menangkap pertanyaanku, meski kedua mata elangnya masih terfokus pada layar ponsel. Ponselnya berdering. Sebuah panggilan masuk. Si driver sedang dalam perjalanan. Itu katanya usai menerima panggilan.
Dia menuntunku meninggalkan lobi dan menunggu di pelataran kantor. Tak lupa ia menyerahkan tas yang sejak tadi dia pegang.
“Kamu siapa?!” tanyaku lagi. Kali ini, dia membalas tatapanku. “Wajah kamu ... tidak asing.”
“Jelas ‘lah, mbak. Kita ‘kan satu kantor. Saya auditor baru di sini, lolos perekrutan dua bulan lalu.”
“A-apa?! Kamu anak baru?! Dan kamu baru saja menghajar bos besar di kantor ini!”
Dia diam. Membuang muka. “Saya rasa dia pantas dihajar.”
Aku tak tahu harus berkata apa. Anak muda ini akan mendapat masalah. Dia bisa kehilangan pekerjaan yang sudah diperjuangkan mati-matian. Untuk masuk ke kantor akuntan publik ini bukan perkara mudah. Dan kejadian tadi membuatku merasa bertanggung jawab juga atas keselamatan anak ini.
“Tidak seharusnya kamu pukul dia. Bantu saya melepaskan diri, itu sudah cukup.”
Dia mengerutkan dahi, menatapku dengan aneh. “Kenapa? Karena dia bos di sini?”
“Dia bukan orang biasa! Dia punya kekuatan untuk menjatuhkan seseorang. Bagaimana kalau dia menuntut? Selain pekerjaan kita terancam. Kita juga bisa di bawa ke persidangan.”
“Kita buat pembelaan!”
“Kamu kira murah menyewa pengacara tandingan untuk Pak Marcell?!”
“Jadi semua karena uang?”
Aku diam. Mengamati sorot tajam matanya. Entah dia terlalu naif atau apa. Menghadapi persoalan dengan orang seperti Pak Marcell bukan perkara kecil.
“Tapi ... sepertinya kita pernah bertemu di suatu tempat? Apa kamu mengenal saya?” aku menerka-nerka mungkin saja terselip satu hal yang terlupa tentang dia.
“Pertanyaan mbak aneh. Jelas kita pernah bertemu, tentunya di kantor ini. Dan saya pastilah mengenal senior seperti mbak.”
“Tidak. Sepertinya kita pernah bertemu di tempat lain.” Sanggahku.
Dia mengabaikanku. Hingga sebuah mobil toyota avanza warna silver muncul. Pemuda itu bergegas berbincang sebentar dengan sopir lewat kaca mobil. Dia membuka pintu, mengisyaratkan masuk. Maka aku mendudukkan pantat ke kursi penumpang.
Pintu mobil di tutup. Dia tidak ikut.
“Kita jalan ya, mbak!” seru sopir taksi.
“T-tunggu!” aku membuka kaca jendela mobil. “Nama kamu ... siapa?”
Dia diam sejenak, hingga kemudian bibir merahnya membuka suara. “Ali....”
Tanpa banyak basa-basi, mobil kemudian bergerak meninggalkan area kantor. Menyusuri jalanan yang semakin ramai. Memandang keluar jendela, suara bariton pemuda tadi terngiang di kepala.
“Ali?” | Cerpen Sedih Perjalanan Kisahku Sebagai Perawan Tua Part 2
- Bersambung -