"Jadi ini rumah suami lo?"
"Lebih tepatnya rumah orang tua suami gue."
Nadya menatap rumah di depannya. Rumah satu lantai dengan halaman luas yang ditumbuhi banyak pohon sehingga terlihat asri. | Cerpen Sedih Tolong Pahami Lagi Bahwa Aku Bukan Dia
Selama berpacaran dengan Akbar, Nadya sudah beberapa kali berkunjung ke sini. Dan kali ini ia berkunjung lagi dengan status yang berbeda yaitu sebagai seorang istri. Tapi sayang kini ia tak terlihat, tak tersentuh, tak terdengar. Ia ada tapi tiada.
Nadya sadar ia sudah mati namun ia ingin selalu berada di dekat Akbar apalagi mereka baru saja resmi menjadi sepasang suami istri. Makanya ia datang ke mari. Ia berharap Akbar dapat merasakan kehadirannya.
"Di, kok malah bengong? Lo gak mau masuk?"
Suara Niken menyadarkan Nadya dari lamunan.
Nadya ke mari tak sendiri. Ia membawa seorang teman. Niken namanya. Ia bertemu dengan perempuan bertubuh aduhai itu tadi sore di pintu gerbang tempat pemakaman.
Nadya ke mari tak sendiri. Ia membawa seorang teman. Niken namanya. Ia bertemu dengan perempuan bertubuh aduhai itu tadi sore di pintu gerbang tempat pemakaman.
Banyak pertanyaan yang timbul di benak Nadya saat pertama kali melihat Niken. Mengapa perempuan itu memakai kaus oversize dan hotpant di tempat pemakaman? Apakah perempuan itu bisa melihatnya? Apakah perempuan itu seorang manusia yang memiliki indera keenam?
Di pemakaman tadi hanya Niken yang bisa melihat Nadya sementara yang lain tidak. Nadya tak berpikir sedikit pun bahwa Niken juga sama seperti dirinya, bukan manusia melainkan roh. Hingga akhirnya perempuan berambut sepunggung itu menyapa Nadya saat melewatinya.
"Lo penghuni baru ya, di sini?"
Nadya menjawab dengan anggukan kepala. Ia paham dengan apa yang diucapkan Niken dan pikirannya tentang Niken adalah seorang manusia perlahan menghilang apalagi setelah mendengar penuturan Niken selanjutnya. Ia langsung tersadar bahwa Niken juga merupakan roh.
Ya, roh. Terdengar lebih baik daripada hantu meskipun Nadya sendiri masih bingung apakah dirinya adalah roh atau hantu.
"Sama dong, kayak gue." Niken berusara lagi. "Gue baru pindah kemarin. Tuh, rumah gue," sambungnya sambil jari telunjuknya menunjuk gundukan tanah yang ditaburi bunga tujuh rupa dekat dengan posisinya berdiri.
"Sama dong, kayak gue." Niken berusara lagi. "Gue baru pindah kemarin. Tuh, rumah gue," sambungnya sambil jari telunjuknya menunjuk gundukan tanah yang ditaburi bunga tujuh rupa dekat dengan posisinya berdiri.
"Jadi nama kamu Niken Lestari?" ujar Nadya ragu-ragu setelah melongokkan kepala ke arah makam yang ditunjuk Niken. Ia sempat membaca nama yang tertulis pada nisan kayu yang tertancap di bagian kepala makam.
"Iya, itu nama gue. Tapi panggil aja gue Ken. Nama lo siapa?" Niken mengulurkan tangan kanannya.
Dengan senang hati Nadya menyambutnya. "Aku Nadya Saraswati. Kamu bisa panggil aku Dia."
"Oke, Dia. Akhirnya gue dapat teman juga! O iya, kalo lagi ngomong sama gue jangan pake aku-kamu, ya! Pake gue-lo aja."
"Oke."
Nadya tersenyum. Ia merasa senang langsung memiliki seorang teman di dunianya yang baru ini. Dan sepertinya Niken tipikal roh yang asyik juga menyenangkan.
"Kayaknya lo mati pas lagi nikah, ya?" Niken mengamati Nadya dari atas ke bawah.
"Kok lo tau?"
Nadya malah balik bertanya tapi lima detik kemudian ia ingat ia memakai kebaya lengkap dengan riasan pengantin dan rambut disanggul rapi. "Iya," jawabnya kemudian sambil tertunduk lesu.
"Tragis," ucap Niken, wajahnya menunjukkan rasa simpati.
"Kenapa lo mati?" lanjutnya bertanya lagi.
"Dada gue tiba-tiba sesak. Kata dokter sih, gue kena sindrom apa gitu...Gue lupa namanya apa. Kalo lo kenapa?"
"Gue mati karna udah waktunya aja," jawab Niken santai.
"Semua juga gitu tapi kan ada penyebabnya."
"Itu rumah lo kan?"
Entah mengapa Niken seperti enggan memberitahu tentang penyebab kematiannya. Itu jelas terbaca dengan ia mengalihkan pembicaraan. Ya sudah, Nadya tak ingin bertanya lebih lanjut.
"Iya, itu rumah gue."
Makam Nadya terletak di tengah-tengah area pemakaman. Cukup jauh dari makam Niken yang berada di dekat pintu masuk.
Dari sana lah pertemuan dan perkenalan antara Nadya dan Niken terjadi. Selanjutnya Niken ikut ke mana Nadya pergi karena hanya Nadya-lah temannya kini. Baru hari ini ia menemukan penghuni makam yang sepantaran dengannya.
Dari pemakaman mereka pergi ke rumah Nadya. Di sana tangis Nadya kembali pecah setelah melihat keluarganya terlebih sang ibu yang masih menangis pilu.
Melihat pemandangan menyedihkan itu membuat Nadya tak rela meninggal begitu cepat. Ia masih ingin hidup. Apalagi saat ia melihat Akbar, keinginannya untuk kembali hidup begitu kuat.
Tidak seperti sang ibu yang masih tersedu dan masih belum bisa diajak bicara bahkan untuk makan saja tak mau, Akbar justru terlihat lebih baik dibanding tadi siang sebelum tubuh Nadya dimakamkan. Lelaki itu sudah mau membuka mulutnya hanya sekedar untuk mengucapkan kata 'terima kasih' pada para pelayat yang datang meski raut wajahnya masih diselimuti duka.
Sebelum isya Akbar berserta orang tuanya berpamitan pulang. Nadya mengetahuinya dan ingin ikut pulang bersama suaminya tapi ia juga masih ingin di rumahnya menemani sang ibu.
Dan akhirnya setelah ibunya sudah tenang dan berhasil dibujuk agar mau makan oleh ayah serta kedua adik laki-lakinya, Nadya menyusul Akbar.
Niken masih setia menemani bahkan ia yang menenangkan dan menghibur Nadya saat menangis melihat kondisi sang ibu yang sangat terpukul.
"Mau lah. Gue mau masuk," jawab Nadya setelah Niken menanyakan apakah ia mau masuk atau tidak ke dalam rumah Akbar.
"Harus dong. Malam ini kan malam pertama lo sama si do'i."
Niken mengedipkan satu matanya. Bukan hanya untuk menggoda Nadya tapi juga menghibur temannya itu agar tak berlarut-larut dalam kesedihan.
Niken mengedipkan satu matanya. Bukan hanya untuk menggoda Nadya tapi juga menghibur temannya itu agar tak berlarut-larut dalam kesedihan.
"Apaan sih, lo!"
Nadya tersipu malu kemudian mendekat ke arah pagar seperti akan membuka pintunya tapi suara tawa Niken mengurungkan niatnya tersebut.
"Lo masih ngerasa jadi manusia, ya?" cibir Niken disela-sela tawanya. "Kita ini udah jadi hantu. Kalo mau masuk ke rumah atau ke mana aja, ya tinggal masuk. Gak usah pake acara buka pintu segala, apalagi ditambah pake permisi. Hahahaha..."
Nadya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Benar juga apa kata Niken. Sekarang ia bukan lagi manusia yang memiliki wujud nyata. Kini ia hanyalah sesosok makhluk gaib yang tak tertangkap oleh mata. Ia melupakan hal itu begitu saja. | Cerpen Sedih Tolong Pahami Lagi Bahwa Aku Bukan Dia
"Gue emang bukan manusia tapi gue juga bukan hantu," tegas Nadya seraya masuk ke dalam pekarangan rumah Akbar dengan cara menembus pagar.
"Terus apa dong, kalo bukan hantu?" Niken menyejajari langkah Nadya.
"Roh. Lebih tepatnya roh baik," jawab Nadya sambil menoleh sebentar ke arah Niken yang berjalan di sampingnya. "Hantu itu buat roh jahat."
"Tapi roh gentayangan dan penasaran kayak kita juga disebut hantu."
Nadya menghela nafas berat. "Terserah."
Niken mengangkat kedua bahunya, acuh tak acuh. Malas melanjutkan perdebatan soal apakah mereka roh atau hantu. Tak penting juga.
***
Nadya dan Niken berseliweran di dalam rumah orang tua Akbar. Mereka mencari Akbar tapi tidak ada. Dari ruang tamu yang terletak di posisi depan rumah hingga dapur yang ada di belakang.
Mereka hanya menemukan orang tua Akbar beserta dua saudaranya yang tengah duduk-duduk di ruang keluarga sambil membicarakan kejadian tragis tadi. Dan itu membuat Nadya kembali menitikkan air mata.
"Akbar ke mana, ya? Kok dicari ke sana- ke mari gak ada?"
"Palingan juga ada di kamarnya. Lo belum nyari ke sana kan?"
"Belum."
"Ya udah, lo ke kamarnya gih!"
"Anter..." rengek Nadya, tangannya menarik ujung kaus Niken. "Gue malu. Gue belum pernah masuk ke kamar cowok kecuali kamar adik gue."
Tentu saja penjelasan yang keluar dari mulut Nadya itu membuat Niken tak kuasa menahan tawa. Bagaimana tidak? Menurutnya termasuk hal yang lucu saat seorang istri merasa malu masuk ke dalam kamar suaminya sendiri.
"O My God! Please deh, Di! Akbar tuh suami lo dan lo istrinya. Ngapain malu?"
"Ya malu lah. Meskipun gue istrinya tapi kan masih baru banget. Belum ada sehari."
"Oke, oke. Gue antar lo ke sana."
Nadya tersenyum. "Makasih."
Rapi dan bersih. Begitulah kondisi kamar tidur Akbar yang didominasi warna krem tersebut. Sehingga menimbulkan kesan nyaman bagi siapapun yang melihatnya.
Tak banyak perabotan yang ada di sana. Hanya ada tempat tidur yang mepet ke jendela, lemari pakaian dan meja kerja beserta kursi.
"Mana? Di sini juga gak ad-"
Nadya tak melanjutkan kalimatnya saat ia melihat Akbar baru saja keluar dari balik pintu yang menjorok agak ke dalam di sebelah tempat tidur. Rupanya suaminya itu habis mandi.
Baru dua detik Nadya melihat Akbar yang dari tadi dicari-cari, ia langsung menutup kedua matanya dengan tangan. Ia belum siap melihat suaminya itu yang dengan tubuh agak basah hanya memakai celana pendek sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk.
"Wow!" seru Niken sementara matanya terbuka lebar. "Seksi juga suami lo, Di, kalo lagi telanjang dada gitu."
Niken berjalan mendekati Akbar yang tengah memilih pakaian di lemari.
"Boleh ya, gue nyender di dadanya?"
"Gak boleh!"
Nadya menyingkirkan tangan yang menutupi kedua matanya lalu bergegas menghampiri Niken. Ia menarik tangan perempuan itu agar menjauh dari suaminya.
"Hahahaha..." Niken malah tertawa. "Lo lucu banget sih! Tadi aja nyari-nyari, pas udah ketemu malah tutup mata. Giliran suami lo gue deketin, lo cemburu."
"Wajar kali, gue cemburu. Dia kan suami gue. Gue gak mau suami gue dideketin apalagi sampe dipegang-pegang cewek lain," tegas Nadya dengan raut wajah serius.
"Udah jadi hantu aja lo masih cemburu. Bisa dibayangin gimana lo pas masih hidup. Hahahaha..."
"Ah, nyebelin banget sih, lo! Dari tadi ngeledekin gue terus. Sana, sana, pergi!"
Nadya mengusir Niken tapi Niken malah semakin menggodanya. "Jiaaah... Gue diusir. Iya, iya gue paham. Lo mau duil-duil kan sama suami lo? Secara ini malam pertama kalian. Hahahahaha..."
"Pergi! SE-KA-RA-NG!
"Ampuuuun!" seru Niken sambil masih tertawa kemudian ia melayang menembus dinding kamar.
Nadya menghela nafas lega. Akhirnya Niken pergi juga. Dengan begitu ia bisa berduaan saja dengan Akbar, suaminya. Tapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
"Duil-duil itu apa, ya?"
Ah, sudahlah. Nadya tak ingin memikirkannya lebih lanjut.
Tatapan Nadya kini beralih pada Akbar yang sudah rapi dengan baju koko dan sarung. Rupanya suaminya itu akan melaksanakan shalat.
Tatapan Nadya kini beralih pada Akbar yang sudah rapi dengan baju koko dan sarung. Rupanya suaminya itu akan melaksanakan shalat.
Mulai dari Akbar menggelar sajadah hingga duduk tahiyyat akhir, Nadya hanya bisa memandanginya sambil duduk di tepi ranjang. Barulah saat Akbar menengadahkan tangan ke atas ia beranjak berdiri lalu duduk tepat di samping suaminya itu.
Nadya mendengar bisikan lirih do'a sang suami.
"Ya Allah, aku mohon ampunilah segala dosa dan kesalahan istriku. Terimalah semua amal baiknya, ibadahnya... Semoga kini ia sudah tenang dan bahagia di alam sana. Aamiiin..."
Air mata Nadya kembali menetes. Kepalanya menggeleng. "Enggak, aku gak tenang. Aku gak bahagia di sini, Sayang. Aku pengen di sini aja."
Usai shalat Akbar berjalan menuju meja kerjanya. Di sana terdapat pigura kayu yang berisikan foto Nadya yang sedang tersenyum ke arah kamera.
Akbar mengambil pigura tersebut kemudian duduk di ujung ranjang. Ia memandangi wajah ayu dengan senyum manis dalam foto itu.
"Dia...," lirihnya seraya mengusap-usap foto dengan ibu jari.
"Aku di sini, Sayang," ucap Nadya yang duduk bersisian dengan suaminya. Ia masih terisak.
Hening.
Lalu tiba-tiba Nadya mendengar isak tertahan dari sisinya.
Akhirnya pertahanan Akbar runtuh juga.
Dalam kesendirian ia melepaskan apa yang sedari tadi ia tahan. Ia dekap foto itu sambil menangis, menumpahkan kesedihan atas kehilangan terbesarnya selama ia hidup. | Cerpen Sedih Tolong Pahami Lagi Bahwa Aku Bukan Dia
- Bersambung -