Katakanlah perempuan itu seorang dewi. Mandi dengan bunga tujuh rupa yang di petik dalam keadaan segar. Jangan lupa, airnya pun dari tujuh mata air.
Kalau Whitney Allison? Tidak. Dia tidak sampai segitunya kalau mandi. Yang aku tahu, dia mandi paling lama 20 menit. Paling cepat satu menit. | Cerpen Cinta Ternyata Perempuan Itu Dia
Mandi anak bebek, katanya.
Dasar.
"Whitney," panggilku dari ruang tamu apartemennya.
"Iya," sahut Whitney dari kamar mandi.
Aku masih menunggu. Ada perhelatan besar di kota. Dan para undangan di tuntut untuk memakai pakaian yang sesuai dengan tema.
"Ayo cepat," pintaku.
Hening.
Jadi ingat.
Sejak dia menunjukkan sebuh cerita di salah satu novel yang ia miliki tentang cerewetnya perempuan. Aku menganggap itu benar dan tepat sekali.
Contohnya, Whitney Allison sendiri.
Dia itu perempuan yang cerewetnya minta ampun hanya untuk memakai dress berwarna pink yang aku belikan. Lalu merapikan rambut dan memakai bulu mata. Dan yang terakhir, saat mengenakan high heels.
"Ini pink Clayton. Aku tidak mau," tolak Whitney sambil meletakkan dress pink berlengan panjang di atas sofa.
"Terus?"
Gadis itu tidak menjawab malah meninggalkanku sendirian. Apa susahnya sih memakai dress. Lagi pula itu sangat cocok untuknya.
Setelah beberapa menit.
"Kau tahu bukan, kalau aku tidak menyukai semua hal berwarna pink. Tapi kau memaksaku untuk memakainya."
Whitney datang dengan dress hitam berhias pita putih yang melingkar di pingggulnya. Ya Tuhan! Dia pikir mau menghadiri pemakaman siapa di malam minggu!
"Jangan berkomentar, aku belum selesai."
Sebelum aku berkata dia sudah lebih dulu memperingati. Okey. Tetap tenang.
Aku diam saja saat dirinya ribet sendiri untuk menata rambut hitamnya. Sesekali aku tersenyum dan mengambil kamera miliknya diam-diam.
Klik klik.
"Ya Allah, kenapa ini susah sekali sih," gerutu Whitney saat memakai bulu mata palsu.
Dasar Whitney.
"Kenapa jadi perempuan itu harus seribet ini coba. Membentuk alis seperti ekor ulat, pakai bulu mata anti badai dan juga lipstik pink pula," celotehnya.
Wajarlah, dia itu seorang perempuan, batinku menyahut.
"Jika aku memakai daster apa kau mau jalan denganku, Clayton?"
Dia berhenti melihat cermin dan lebih memilih melihatku untuk sebuah jawaban.
"Mau pakai apa saja aku siap," jawabku menggoda.
Bibirnya mengerucut. Dan berakhir dengan satu lemparan lipstik berwarna merah miliknya. Dia tidak merasa bersalah saat melemparnya.
Heran.
Biasanya, seorang wanita itu akan menggerutu ketika barang kesayangnya jatuh. Sedangkan dia, malah melemparkan barang itu padaku.
"20 menit untuk perjalanan Whitney. Kau hanya punya waktu 10 menit."
Whitney adalah sosok gadis yang tidak mau ambil pusing. Itulah dia . Whitney tidak terlalu hobi merias diri dengan segala macam bentuk alat penunjang kecantikan.
Jika dulu ia memiliki rambut hitam panjang sekarang hanya sebahu. Ia punya alasan sendiri.
"Gerah." Sahutnya saat aku tanya kenapa ia memotong rambut indahnya itu. Meski sedikit tidak rela, yah, mau bagaimana lagi.
Dia yang punya hak atas rambutnya sendiri.
"Rambut di potong masih bisa tumbuh. Kalau hati? Jangankan tumbuh untuk bersemi saja susah," celetuk Whitney.
Whitney melihatku.
"Clayton, kau yakin aku harus memakai sepatu dengan tinggi 10 senti. Kelihatan lebih tinggi, tapi tetap saja bohong."
"Bohong bagaimana?"
"Kalau pendek kenapa malu. Aku tidak suka pakai sepatu yang begituan."
"Kau itu tidak pendek, hanya mungil."
"Aku tahu."
Kemudian dia pergi ke kamar. Mengambil sepatu flatnya mungkin.
Satu jam seperti setahun rasanya.
Dan herannya, aku masih setia menunggu meski sudah tahu bagaimana tingkahnya kalau ada acara di luar.
Jadi siapa yang membuat ini ribet.
Aku sendirilah. Dia cantik karena aku yang minta. Jika tidak, mana mau dia pakai make up meski tipis. Pakai dress meski tidak berwarna pink.
Ribetnya perempuan itu relatif.
Dan cerewetnya perempuan itu lumrah.
"Aku merasa seperti," ucapnya terpotong olehku.
"Putri?"
"Bukan. Seperti sedang ada acara Indonesia Fashion Week."
Aku tergelak oleh tingkahnya saat ia mengembungkan kedua pipi.
"Tadi kau memecahkan rekor paling lama hanya untuk penampilan seperti ini."
"Seperti ini apa maksudmu?"
"Cantik."
"Sok romantis dadakan."
Aku menarik lengannya untuk memegang lengan kananku. Lalu tersenyum miring.
"Kau tahu Clayton. Hari ini tingkat kecerewetanku naik."
"Siapa yang peduli?"
"Kau tidak peduli?"
"Tidak. Yang penting kau nyaman dengan apa yang kau lakukan. Dan satu lagi. Secerewet apapun dirimu, aku tetap setia menunggu saat kau berdandan."
"Aku tidak yakin."
"Yakinlah," pintaku.
Entah bagaimana aku bisa begitu mencintai gadis itu. Dia tidak suka dengan apa yang wanita lain sukai.
Itulah poinnya. | Cerpen Cinta Ternyata Perempuan Itu Dia
"Kau tahu Whitney, aku menyukai dirimu apa adanya. Tidak peduli bagaimana tingkahmu."
Sudah cukupkah aku memiliki dirinya?
Menurutku, dia adalah pelengkap. Segalanya. Tempatku tertawa dan duka.
Aku merasa cukup saat dia ada di dekatku. Dan aku tidak ingin apapun. Kecuali Whitney Allison.