Malam semakin kelam. Bulan dan bintang seperti enggan menyapa. Sepi dan dingin seperti tanpa kehidupan. Pohon cemara tua di seberang jalan bergoyang-goyang ditiup angin. Gemeresik daunnya yang menari-nari selalu mencuri perhatian. Aku larut dalam keheningan. Gelombang kepedihan perlahan menghampiri. Entah sudah berapa lama duduk mematung, sampai tiba-tiba ada dentingan tiang listrik di pukul tiga kali. Bersamaan dengan itu terdengar suara rintihan dari kamar. Aku tersentak! Istriku! | Cerpen Sedih Surat Cinta Untuk Belahan Jiwaku
Aku bergegas ke pembaringan belahan jiwaku. Wanita, tempat cintaku berlabuh selama ini terjaga dari tidur namun masih terbaring lemah. Napasnya tersengal-sengal diselingi erangan seraya memegang dada. Sebelah tangan menghirup inhaler dua kali.
“Sesak, ya Ma?” tanyaku sambil duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur.
Istriku tidak menjawab. Hanya menatap sejenak lalu menengadahkan kepala seraya menarik napas panjang. Namun tiba-tiba ia menjerit, “Aduh …, sakit … sakit!”
Langsung saja, aku mengurut bagian tubuh yang katanya terasa sakit. Lima belas menit berlalu, ia mencoba membalikkan badan sambil mengangkat kaki.
“Aduh, aduh … kram, Pa!” rintihnya lagi sambil memegang betis.
Tanganku berpindah mengurut betis dan telapak kakinya, sambil mengoleskan minyak tawon. Perlahan suara erangan mulai hilang, berganti dengan zikir menyebut Asma Allah. Aku terus mengurut sampai ia tertidur lagi. Hampir dua tahun ini selalu begitu setiap malam.
Lama kupandangi belahan jiwaku. Dulu ia begitu ceria, ramah dan senyum tak pernah lekang di bibir. Mata beningnya yang berbinar-binar membuatku selalu terpesona. Andai saja aku bisa menulis puisi, akan kutulis kata-kata yang indah untuk melukiskan cantiknya. Sekarang keceriaan dan senyumannya telah hilang, tubuhnya lemah tak berdaya. Untuk berdiri dan berjalan pun selalu mengharapkan bantuan.
Hujan baru saja berhenti pagi ini. Matahari mulai menampakkan sinar. Suara burung berkicau bersahut-sahutan seperti ingin menyapa penghuni bumi. Aku terbangun. Kulihat istri tercinta sedang berzikir dan sesekali mengurut lutut.
“Pa …, kesiangan ya?” tanyanya lembut sambil tersenyum.
“Mmmm …. Iya, Ma,” jawabku agak terbata-bata melihat senyumannya.
Aku selalu merindukan senyuman itu yang belakangan ini mahal sekali. Selama ini hanya ada suara zikir disela-sela erangan kesakitan.
“Pa …, temanin beli sepatu ya?”
Aku tertegun! “Sepatu! Apa nggak salah? Berjalan aja susah, kok mau beli sepatu?” batinku.
“Iya …, iya, Ma, tapi harus mandi dulu,” jawabku tanpa berpikir panjang lagi. Walau ada sedikit keheranan, tapi tertutup rasa senang melihat ia tersenyum.
“Ya udah, Mama mau mandi dulu,” timpalnya lagi.
Cepat sekali, seperti tak ingin kehilangan momentum, aku bergegas bangun mengambil baju yang paling disenanginya. Lalu berlari ke kamar mandi mempersiapkan peralatan mandi. Rambut harus dikeramas, baju harus rapi dan tubuh harus wangi. Itulah dia. Tak boleh ada yang terlewat. Semua harus sempurna, sama seperti dulu ketika masih sehat dan ceria. Selesai memandikan, terus memakaikan baju, menyisir rambut dan memupuri bedak. Tak lupa menyemprotkan parfum kesukaannya. Semua kukerjakan dengan hati berbunga-bunga.
Aku tak pernah menyesal menikah dengan wanita yang selama ini telah menjadi belahan jiwaku. Di lubuk hati tersimpan rasa ikhlas dan sabar untuk menjaga dan merawatnya. Aku bukan makhluk sempurna. Beberapa kali pernah khilaf kali menyakiti hatinya, tapi aku sungguh menyayangi istriku.
Kotak Obat, Inhaler, Nebulizer, Tongkat Kaki Empat dan Kursi Roda sudah siap. Sekarang tinggal menaikkan istri ke mobil. Namun biasanya disinilah kesulitan akan timbul. Benar saja, istriku mengerang kesakitan ketika naik ke mobil. | Cerpen Sedih Surat Cinta Untuk Belahan Jiwaku
“Aduh …, aduh …sakit semua!” Berkali-kali ia merintih kesakitan sambil memegang lutut, pinggang dan punggungnya. Bergantian. Ia terlihat panik.
Senyumnya menghilang. Kening berkerut menahan sakit. Dengan susah payah ia berusaha naik ke mobil, sementara aku hanya bisa berjaga-jaga agar tak sampai terjatuh. Kalau sudah seperti itu, aku tidak tahu harus berbuat apa. Semua jadi serba salah.
“Gimana …, batalin aja ya, Ma?”
“Nggak, kita harus pergi! Mama harus beli sepatu!”
Sepanjang jalan ke mall, istriku terus berzikir sambil sesekali mengerang. Wajah pucat. Napas tidak teratur. Aku takut sakit asmanya kambuh. Benar saja. Ia sudah memakai inhaler beberapa kali, tapi kelihatannya tidak membantu. Masih saja tersengal-sengal.
Tanpa berpikir panjang langsung kuparkir mobil dipinggir jalan, lalu mengambil nebulizer. Jika dengan nebulizer tidak bisa mengatasi serangan asma, jalan terakhir harus segera di bawa ke rumah sakit terdekat.
Alhamdulillah, setelah dua kali memakai alat penguapan pernapasan itu, terlihat sesak napasnya mulai reda. Namun nyeri di punggung, pinggang dan lutut katanya masih terasa. Aku sabar menunggu sampai istriku benar-benar tenang. Namun setelah sekian lama, ia masih saja mengerang kesakitan.
“Ma …, kita pulang aja ya?” Kucoba membujuk sambil mengelus bahunya.
Ia tidak menjawab, hanya mengangguk lemah. Perlahan bulir-bulir air bening mulai mengalir membasahi pipinya. Tiba-tiba saja lidahku terasa kelu, kerongkongan tercekat. Ibaku menggunung dan rasanya seperti ada bulir-bulir air bening yang sudah menumpuk di pelupuk mata. Aku hanyut dalam gelombang kesedihan yang melanda belahan jiwaku. Sebenarnya bukan sepatu yang diinginkan, tapi berjalan memakai sepatu. Itulah impiannya!
Katanya di negeri bunga tulip ada tempat pengobatan yang paling baik untuk menyembuhkan penyakitnya, tapi malangnya pundi-pundi simpananku belum cukup. Jika Tuhan berkenan, kelak akan ku bawa ke sana. Ini jadi impianku! Memang ada tawaran dari seorang sahabat yang memiliki perusahaan di negeri petrodollar untuk bekerja di sana. Imbalannya cukup menggiurkan. Namun bagaimana aku bisa meninggalkan belahan jiwaku? Padahal setiap hari puluhan kali ia memanggil-manggil meminta pertolongan. Mungkinkah bisa jauh darinya?
“Pa…, maafkan Mama yang selalu merepotkan. Selama ini terus merawat Mama. Papa jadi nggak bisa kemana-mana,” ucap istriku lembut dengan bulir-bulir air bening membasah pipi.
Kuhapus airmata yang menetes sembari menutup mulutnya dengan tangan telanjang. Tak ada yang harus dimaafkan. Itu memang kewajiban suami untuk melindungi dan merawat istri. Justru akulah yang harus meminta maaf, karena belum bisa mencari pengobatan yang terbaik, hingga membuat ia menderita berkepanjangan.
Aku tak menjawab, hanya menggelengkan kepala seraya mengecup lembut keningnya. Istriku tertegun, tapi secuil senyum muncul di sudut bibir mungil itu. Dalam kondisi menahan sakit, ia masih bisa tersenyum. Senyuman itu membuat ku bahagia sejenak bercampur dengan rasa haru menyeruak di dada. Rasanya airmata sudah menumpuk di mata. Tapi tidak! Aku tidak boleh kelihatan lemah! Aku harus tetap terlihat kuat!
Ia memegang erat tangan kananku dan menciumnya, setelah itu diletakkan di dada. Debaran jantungnya merambati aliran darahku yang terasa mengalir lebih deras memenuhi jantungku.
Sejak senja tadi ia terbaring lemah di pembaringan. Tak bergerak dan matanya tak berkedip menatap ke langit-langit rumah. Aku bisa merasakan kegalauan yang terlihat dimatanya. Ia seperti sedang berpikir jauh menerawang menembus batas cakrawala yang tak pernah tersentuh. Menukik dan mencabik rasa yang mungkin dirasakannya kian pekat.
Melihat kondisinya seperti itu, aku tak tahan lagi. Bulir-bulir air bening tak terbendung membasahi pipi. Aku menghambur ke kamar kerja, mengambil pena dan selembar kertas. Sambil bercucuran air mata menulis surat yang akan kutitip ke anak dan bila tiba waktunya harus diserahkan kepada mamanya.
“Belahan jiwaku, melalui surat ini aku akan mengungkapkan sesuatu yang sangat membebani pikiranku. Selama ini tersimpan jauh di dalam hati, karena tak ingin membuatmu bersedih yang hanya akan menambah penderitaanmu.
Menjadi penyesalanku yang terbesar adalah karena sampai saat ini belum bisa mencari jalan kesembuhan untukmu. Aku telah bersalah! Mengapa sejak dini tak berusaha? Mengapa aku lalai? Mulai dari asthma bronchiale, scoliosis, hnp sampai osteoporosis dengan kejam mendera dan menyiksa dirimu secara perlahan-lahan, hingga kini terbaring lemah bagai seonggok kayu yang tak berguna.
Baru setelah stadium empat, aku mencoba membawamu ke berbagai tempat pengobatan di negeri ini bahkan sampai ke negeri seberang. Berbagai ahli pengobatan, sampai yang katanya ahli pengobatan tradisional sudah kita datangi, tapi hasilnya nihil. Engkau masih terus menderita, bahkan semakin hari kondisimu semakin memburuk. Aku sungguh menyesal! | Cerpen Sedih Surat Cinta Untuk Belahan Jiwaku
Belahan jiwaku…, selama ini di depanmu, aku tak pernah menangis. Tetap menunjukkan sikap tegar. Sebenarnya tidak seperti itu. Aku rapuh, hanya ingin terlihat kuat untuk membantu menguatkan semangatmu. Setiap kali melihatmu sulit bernapas dan mengerang kesakitan, aku pasti bergegas ke kamar mandi, langsung membuka kran air sebesar-besarnya. Di sana aku menangis dan menjerit-jerit seperti orang gila. Aku ingin marah melampiaskan semua penyesalan, tapi harus marah kepada siapa dan apa gunanya? Sudah terlambat!
Belahan jiwaku …, hari ini di tanggal yang sama empat puluh tahun yang lalu adalah hari pernikahan kita. Seharusnya kita berbahagia merayakannya, tapi nyatanya aku tak mampu memberikan kebahagiaan kepadamu. Engkau masih menderita. Engkau masih tersiksa. Aku memang tak berguna!
Belahan jiwaku …, bila Engkau membaca surat ini, berarti aku sudah tak berada disisimu. Aku ingin mengejar impian kita. Maafkanlah suamimu yang tak bisa lagi merawatmu. Titip anak-anak. Jagalah dirimu! Semoga Allah memberikan kesembuhan. Aku sayang padamu! Selamat tinggal, Cintaku.