Takdir Hidup Memang Tak Pernah Salah

"Tak banyak cara Tuhan menghadirkan cinta.
Mungkin engkau adalah salah satunya.
Namun engkau datang di saat yang tidak tepat.
Cintaku t'lah di miliki"

Aku menundukkan kepala dengan gugup saat sepasang mata tajammu memergoki tatapanku. Degup jantung makin keras terdengar. | Cerpen Kehidupan Takdir Hidup Memang Tak Pernah Salah 

Segera kusembunyikan diri di balik rak barang-barang yang tingginya melebihi ukuran tubuhku. Sesekali mencuri pandang ke arahmu.

Selalu begitu.
Hatiku selalu membuncah bahagia saat kakakku mengajak belanja ke toko tempat kau bekerja.
Debaran di dada selalu memacu adrenalin secara tak normal hanya karena melihatmu.

Melihat senyum ramahmu menyapa pengunjung yang datang.
Melihat lengkungan alismu yang acapkali menyatu saat seorang pelanggan menanyakan suatu barang kepadamu.

Dan tentu saja, mendengar suara serakmu kala menjawab pertanyaan dari pembeli yang bingung mencari barang yang ia butuhkan.

Aku tak tahu sejak kapan atau bagaimana ini bermula. Yang jelas, toko kelontong yang ramai ini, adalah salah satu tempat favoritku, dimana aku bisa menatapmu meski dengan sembunyi-sembunyi.

Kau tak pernah tahu. Ya, aku paham itu. Karena selama ini, aku tak mempunyai keberanian untuk memulai percakapan atau berkenalan denganmu. Jangankan membuka suara, berada di depanmu saja tubuhku bergetar hebat. Dan aku tak yakin mampu menguasai kesadaranku lebih lama bila harus bertatapan denganmu.

Konyol, iya. Aku sendiri mengakuinya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi. Rasa suka muncul tiba-tiba tanpa bisa kita prediksi.

Kau tak menyadari keberadaanku. Aku mengerti. Karena aku memilih menyukaimu dalam diam. Aku wanita. Aku mengikat maluku untuk mencegahku melangkah lebih jauh. Biarlah, aku menunggu. Berharap kau mau menoleh padaku. Setidaknya mengingat bahwa aku pernah menjadi pelanggan di toko itu.

------------------

Hari ini hari pernikahan sepupuku. Aku sibuk luar biasa membantu kelangsungan acara. Hanya sesekali beristirahat saat tamu undangan tak begitu ramai, atau ketika tiba waktu makan.

Sepupuku beruntung mendapat lelaki yang cukup mapan. Menjadi seorang guru di sebuah Madrasah di Pesantren yang terkenal meski usianya masih muda. Dalam hati sempat terbit keinginanku bisa mengikuti jejak yang sama. Namun segera kutepis jauh-jauh. Tidak baik mengingkari takdir.

Sore hari sampai malam adalah puncak acara. Saat-saat itu, aku bahkan tak punya waktu untuk mandi. Sebagai Penerima Tamu, sesekali aku harus mengantar sendiri jamuan kepada tamu yang datang. Kadang juga aku menemani teman-teman maupun para sahabat sepupuku yang di undang. Beramah tamah sebagai ganti dari sepupuku.

Aku masih ingat betul. Sore menjelang petang itu, tak di sangka rombongan murid dan teman satu pesantren dari suami sepupuku ini menghadiri acara. Kami tetap kelabakan meski sudah mendapat pemberitahuan sebelumnya. Karena jumlah yang hadir di luar expentasi. Hampir 3 kali lipat dari perkiraan kami.

Untung saja jamuan memang tersedia dalam jumlah besar. Meski porsinya terpaksa sedikit di pangkas agar menutupi kekurangan. Aku sendiri sibuk mondar mandir membantu menyajikan jamuan itu pada para tamu yang datang. Sesekali kudapati siulan dari beberapa pemuda yang iseng. Tak kupedulikan. Toh, hatiku sudah terikat.

Maghrib menjelang, barulah aku bisa beristirahat. Aku pulang ke rumahku sendiri yang hanya berjarak 10 langkah dari tempat hajatan. Depan rumahku adalah Surau yang di lengkapi kamar mandi umum. Beberapa santri yang hadir tadi memilih untuk melaksanakan sholat di sana. Aku memasang muka cuek saat terpaksa harus lewat di depan mereka. Padahal jujur, aku malu setengah mati.

Aku mendapati dua keponakanku bermain di teras depan. Kakak keduaku memintaku mengawasi mereka sementara ia sholat. Aku yang sedang berhalangan, mengiyakan permintaannya.

Satu siulan.
Dua siulan, dari beberapa pemuda di depan Surau kuacuhkan. Mereka kebanyakan hanya iseng dan suka bermain-main.

Tiba-tiba sebuah benda ringan terlempar di depanku. Aku mengernyit. Potongan kardus. Kuambil karena sepertinya itu bukan benda kosong. Tampak seperti tulisan mengintip dari dalam lipatan.

Sebuah pesan.

"Wahai gadis berkerudung putih berbaju biru ....
Indah raut wajahmu membangunkan sebuah gejolak dalam dadaku.
Ingin kubingkai wajah manismu itu sebagai lukisan di dinding hatiku.

Andai saja aku bisa mengenalmu lebih jauh.
Tentu sebuah kebahagian untukku.

Salam dari penggemarmu.
Luniaz"

Aku tertawa dalam hati. Konyol. Surat yang konyol. Hadeehh ... ada-ada saja, batinku. Bagiku yang memang tak pernah mendapat surat misterius seperti ini, ada debaran aneh sekaligus menggelikan dalam dadaku. Aku terbahak dan hanya menganggapnya lelucon. Kata-katanya itu, entah mengapa membuatku ingin muntah. Aku mengabaikannya dan menganggap sekedar keisengan semata.

Keponakanku memanggil dari teras. Aku segera menemuinya dan kembali menemaninya bermain. Tak seberapa lama, aku kembali mendapat lemparan potongan kardus. Kali ini aku mulai kesal. Kubuka saja lipatan kardus itu di depan teras. Agar si pengirim tahu, aku tak menyukai cara murahannya ini.

"Adakah salah dalam sanjungan pertamaku hingga kau mengabaikannya?

Bila aku salah bertutur kata, mohon maafkan,
Ku memang bukan pujangga yang mampu mengukir rasa lewat untaian kata.

Aku hanya ingin mengenal, syukur-syukur mendapat tempat di hatimu.
Maafkan caraku yang tak sopan untuk membuatmu menoleh kepadaku.
Angkatlah wajahmu.
Aku berada di hadapanmu.

Luniaz."

Aku mengerutkan kening membaca nama yang tertera di ujung 'surat' itu.

Berpikir sejenak tapi tak menemukan sesuatu. Seperti aku ... ah, mana mungkin aku mengenalnya. Selama ini aku tak memiliki kawan lawan jenis. | Cerpen Kehidupan Takdir Hidup Memang Tak Pernah Salah 

Aku mendongakkan kepala. Tatapanku terpaku padamu. Yang kali ini tersenyum padaku. Senyum yang menyesakkan dadaku. Senyum yang entah mengapa membuatku seperti di bawa terbang tinggi, lalu di hempas dengan keras.

»"Inilah akhirnya harus ku akhiri. Sebelum cintamu semakin dalam.
Maafkan diriku memilih setia.
Walaupun kutahu cintamu lebih besar darinya"«

Aku masuk ke dalam dengan terburu-buru. Menghapus air mata yang menderas tiba-tiba. Hatiku berdenyut perih. Sakit. Aku merasakan sakit yang menghujam. Seperti seribu belati di tusukkan secara bersamaan.

»"Maafkanlah diriku tak bisa bersamamu.
Walau kusadar tulusnya rasa cintamu.
Bukan mungkin untuk membagi cinta tulusmu,
Karena kumemilih setia"«

Aku menghempaskan tubuhku di atas sofa ruang tamu. Menelungkupkan wajahku di atasnya. Mengalirkan air mata yang tak kunjung berhenti. Nafasku sesak. Ya Robb, mengapa baru sekarang?

Aku mengangkat wajahku. Terbayang kembali di pelupuk mataku senyum lembutmu. Senyum yang dulu selalu membuatku terpaku.
Senyum yang mampu mengalihkan duniaku.

Senyum yang membawaku ke dalam angan panjang tentangmu.

Aku menggeleng. Tidak. Tidak bisa seperti ini. Aku harus menghentikannya. Aku harus membendungnya.

Sebuah aliran deras sungai saat di bendung dengan paksa mungkin akan jebol sewaktu-sewaktu.

Namun aku tak peduli. Lebih baik melakukannya sekarang sebelum semuanya terlambat.

Luniaz. Tentu saja aku mengenalmu meski kau tak pernah mengenalku. Karena aku selalu memasang mata dan telingaku untuk mengawasimu. Zainul. Aku mematri nama itu dalam-dalam pertama kali mengetahuinya. Sangat dalam, hingga aku harus menguburnya.

Aku menemukanmu sebelum kau menemukanku.

Aku yang menyadari keberadaanmu sebelum kau menyadari kehadiranku.

Aku yang selalu menatapmu malu-malu di balik jejeran rak, mengintip di sela-selanya. Mendadak gugup dan gemetar luar biasa hanya karena melihat senyummu, tawamu, dan candamu dengan sesama teman pegawaimu.

Tapi aku tak pernah tahu, takdir membawamu dekat denganku justru di saat yang tidak tepat. Saat yang sangat terlambat.

Aku mengusap air mataku dengan jemariku. Sebuah benda tumpul serasa menggores pipiku. Aku memperhatikan benda itu. Sebuah benda kuning keemasan bertengger cantik di sana. Menyadarkanku bahwa ini adalah ujian pertama dalam pernikahanku. Ya, aku telah menikah, 3 hari yang lalu. Dengan seseorang yang bahkan tak kukenal sama sekali. Akan tetapi aku memasrahkannya. Karena aku percaya, ridho orang tua tak pernah salah.

Aku menekan dadaku yang terasa sesak dengan telapak tanganku. Berusaha mengenyahkan denyut perih di sana. Aku harus kuat. Sekuat aku menyukaimu, sekuat itu pula aku harus menyingkirkanmu. Aku tak berani mengatakan aku mencintaimu. Aku takut akan terjatuh.

Kumantapkan hati. Tegak berdiri ku langkahkan kaki keluar. Menoleh ke arah tempatmu berada. Kosong. Kau telah pergi. Membawa segenap keping luka yang tertoreh di sini. Di hati yang melambung tinggi. Namun terpaksa kuhempas jatuh sendiri.

"Seribu kali logikaku untuk menolak.
Tapi ku tak bisa bohongi hati kecilku.
Bila saja diriku ini masih sendiri.
Pasti ku 'kan memilihmu"

------------------------

Hari ini, toko lumayan ramai. Parkiran motor tampak padat. Aku memicingkan mata karena silau matahari menerpa wajahku. Zain, putraku yang masih berusia 10 bulan, menangis dalam gendonganku. Terburu-buru aku masuk ke dalam meninggalkan keponakan dari kakak tertuaku yang memarkirkan motornya.

Saat kakiku baru saja sampai di teras toko, seluruh tubuhku serasa kaku.

Sungging senyum yang sangat khas dirimu menampar pemandanganku. Tapi kali ini terasa berbeda. Senyummu terlihat jauh lebih cerah.

Kau melepas jaket dan menggantungkannya di stang motor. Kembali tersenyum pada sosok wanita di belakangmu. Sempat ku lihat kilatan bahagia di matamu saat wanita itu menyentuh perutnya yang mulai membuncit.

Kau mengenggam jemari wanita itu, berjalan melewatiku. Sekilas melihat ke arahku, tak lebih dari dua detik kau kembali menatap lurus. Tak ada sinar di sana. Seolah-olah kau tak pernah mengenaliku.

Perlahan, senyumku tersungging. Sebuah senyum tulus. Syukur membuncah dalam hati. Kau menemukan bidadari yang memang untukmu. Bidadari yang di persiapkan Tuhan untuk kau temukan. Untuk kau syukuri kehadirannya.

Dan aku tetap di sini. Sama seperti deretan rak toko ini. Ada, namun tak terlihat di matamu.

Akan tetapi, hatiku sudah lama melepaskan. Maka tak ada perasaan lain selain mensyukuri semua yang sudah terlewati. Bahwa Tuhan tak pernah menitipkan jodoh yang salah.

Semua tulang rusuk, akan kembali pada pemiliknya.

----------------------

°Untukmu yang jauh di sana. | Cerpen Kehidupan Takdir Hidup Memang Tak Pernah Salah 
Semoga Allah membarakahimu dengan kehidupan yang di liputi rahmat dan ridho-Nya.

*hanya berbagi sebuah perjalanan hati di masa lampau.