Diujung Penantian Aku Menanti Cinta Sejati

Namaku Fatih, Juli nanti usiaku genap 28 tahun.

Aku bekerja sebagai dosen di salah satu PTS di Mataram. Di usiaku yang sudah terbilang dewasa, ada satu pertanyaan populer yang selalu ditanyakan teman-temanku ketika bertemu, aku yakin kamu juga pasti tahu pertanyaan macam apa itu. | Cerpen Cinta Diujung Penantian Aku Menanti Cinta Sejati


Yup! Benar! .
Pertanyaan 'kapan nikah ?' hampir tiap hari menjadi santapan pokokku, tidak hanya teman dan keluarga, bahkan mahasiswa-mahasiswiku usil menanyakanku tentang hal ini.
Kadang aku jawab dgn candaan, kadang cuma senyum yang terkembang.

Suatu ketika, seorang teman masa kuliah yang sudah menikah, mengajakku untuk ketemuan. Kebetulan, Ia sedang pulang kampung ke Lombok bersama keluarga kecilnya.

Seusai kelas, aku menuju tempat yang kami sepakatkan. Kafe Kebalen tempat favorit masa kuliah saat awal bulan datang. Aku selalu rindu rasa capcay seafood kedai yang selalu didominasi mahasiswa ini. Rasanya yang nikmat sesuai dengan budget dompet tipis kami. Mungkin ini alasan yang membuat kafe yang kini sudah lebih luas lokasinya itu tetap eksis hingga sekarang.

Aku memarkir motor tepat didepan kedai, melepas helm sambil menyapu pandangan ke semua meja, lalu menitikfokuskan pandangan pada meja pojok bernomor 12, lelaki itu tersenyum. Senyum yang lebih teduh dari 5 tahun lalu ketika aku menghadiri pernikahannya. Hari ini adalah reuni pertama kami semenjak ia menikah dan pindah kota ke tmpatnya bekerja.

Aku berjalan dengan senyum yang tak henti tersungging menujunya.
Lelaki itu berdiri dan menarik kursi dari bawah meja, menyiapkannya untukku.

"Assalamu'alaikum, Akhi.. " aku menjabat tangannya, kemudian ia memelukku. Pelukan ukhuwah yang selalu kami lakukan dulu ketika masa kuliah.

"Wa'alaikummussalam warohmatullah wabarakatuuh..masyaAllah, antum tambah subur akhi, " matanya tak henti mengamatiku.

"haha. Sudah jarang jalan kaki, akh. " kami mulai duduk berhadapan.

"Masih sering makan mie instan ?" Ia mulai meledek.
"hahaaa. Tidak akhii.. Tidak ada yang bisa memasak mie lebih enak daripada antum. " Aku mengenang.

Kami memesan menu, dan capcay tetap saja jadi andalan.

"Jadi, kapan antum mau nikah? " pertanyaan itu melayang begitu saja, tanpa pendahuluan sedikitpun.

Aku mencoba merespond santai

"Hahaha.. Tunggu dikasih sama Allah aja" pintaku enteng.

"Bagaimana mau dikasih, antum sih milih-milih" dia menyeringai.

"Siapa yang harus ana pilih akh ??, tidak ada satupun pilihan." Aku menjelaskan. "Atau antum mau memberikan ana pilihan? " Aku tersenyum tipis

"Serius ? Mau ? " Dia bersemangat.

"Siapa ? " Aku penasaran.

"Ada tu akhwat pertanian, angkatan kita juga, Dia belum menikah" Dia menjelaskan

"Antum pastikan dulu, beliau mau nggak sama ana? " Aku menjawab.

" Antum selalu merendahkan diri, akh..Siapa yang akan menolak ikhwan sholeh seperti antum?? " Dia menghibur. Lalu melanjutkan

"Eh yaa, Antum aktif di Senat dulu? Dia juga..namanya Zakiya." Ia menyedot jus apelnya sambil memainkan jari tangan kirinya diatas meja.

Dadaku berdesir hebat mendengar nama itu lagi.. Nama yang ketika kudengar, akan mencipta getaran yang tidak kumengerti di dadaku.

"Antum kenal gaak? " Ardi menekankan pertanyaannya.

"Eh i. yaa.. Kenal" Rautku mendadak merah. Aku salah tingkah.

"Bagaimana ? Mau ana bantu proses ta'arufnya ?" Dia langsung skakmatt tanpa basa-basi lagi, menembak langsung tepat di tengah sasaran. Tak bisa membaca raut salah tingkahku.

"Eeh.." aku menyedot Es Jerukku lebih cepat.
"Mana mungkin dia menerima ana akh. " Aku melanjutkan.

"Antum belum nyoba udah nyerah. " dengan nada ledeknya.

"Ana minder Akh, akhwat itu terlalu sempurna menurut ana, mana mungkin dia mau menerima lelaki cacat seperti ana." Aku menjelaskan keresahanku selama ini.

" Akhii, wanita baik-baik tidak peduli sengan tampilan fisik. Pemahaman agama yang baik selalu menang sebagai kriteria utama bagi wanita yang paham agama daripada elok paras" Dia menjawab. Terdengar nada tegas dari getar suaranya.

Ia kemudian melanjutkan
"Antum pernah mencintai seseorang? "
Ada nada keseriusan dari wicaranya.

"Cinta? " aku sengaja menanyakannya ulang.

"iya. Antum pernah jatuh cinta nggak ?, Jujur aja. " Ia mulai bersemangat.

"Hahaha siapa sih yang nggak pernah jatuh cinta di dunia ini, akhii ?" aku menjawab diplomatis.

"Lalu siapa? Lamar saja !, toh, ana kasih pilihan juga, antum nggk mau ngambil kesempatan." dia langsung menuju point permasalahan lagi.

" malu, akh. Hahaha" Sengaja membuatnya seperti bercanda padahal memang sebenarnya aku malu.

"Haaah?? Maluu?? Segede gini??
Atau jangan-jangan antum takut akan penolakan ?" Dia mencoba menerka. Lalu melanjutkan pertanyaannya

"Sejak kapan antum mencintainya ?"

"Harus ana jawab? " Aku menyeruput es jerukku.

"iyalaah.. " Ia terlihat sedikit kesal.

"Sejak kuliah" jawabku singkat.

"Haah?? Akhwat mana? Fakultas apa?" Dia kaget.

"berarti sejak 7 atau 8 tahun lalu? Ia semakin antusias.

"sudah 9 tahun" Aku menjawab pendek.

"Heh?? Antum mencintai dalam diam selama ituu?? Dia menatapku heran, mata sipitnya melotot sekarang.

Aku jawab dengan anggukan.

"Siapaa?? " Dia tak sabar dan mendekatkan kursinya kearahku.

"Diia dari fakultas Pertanian ...."

"Eh tungggu !" Dia menghentikan kalimatku. Kembali melanjutkan kalimatnya

" Ada 6 akhwat pertanian angkatan kita yang ana kenal, dan hanya tersisa satu orang yang belum menikah daan ..apaaa??.." Dia menunjukan raut kagetnya.

"Antum mencintai ukh Zakiyaa?" Ia menggoyang-goyangkan lenganku.

"Terus kenapa antum nolak pas ana tawarkan tadi? Dia penasaran.

" he" Aku cuma nyengir.

"Ana tidak tahu akhii, ana kagum sama beliau, sembilan tahun ini, ana selalu berharap agar beliau menjadi jodoh ana tapi ana khawatir akhii, lebih tepatnya takut. Ana takut kalo beliau tidak menyukai ana, ana pengecut, ana belum siap mendengar penolakan. Beliau terlampau sempurna akhii. Cantik, sholehah. Mana mau sama ana yang cacat ini ?. Ana juga baru tahu, kalo beliau belum menikah. Ana tidak pernah tahu kabarnya sejak kita lulus kuliah."
Aku menjelaskan. | Cerpen Cinta Diujung Penantian Aku Menanti Cinta Sejati

" Antum belum mencoba udah nyerah ??" Dia meledek lagi.
"siapa tahu, dia nunggu antum makanya sampai sekarang belum nikah juga." Ia menarik kesimpulan sepihak.

" Mana mungkin ,akhii. Mana mungkin akhwat itu menunggu ikhwan cacat seperti ana. Biarkan ana mencintainya dengan cara ini saja. " Aku pesimis.

"Akhiii. Istigfaaar... Allah tidak menyuruh kita hanya berdoa tanpa usaha yang membarenginya, cinta saja tidak akan pernah cukup akhii, antum butuh keberanian untuk membuatnya jelas. Antum tidak mau kaan terus-terusan kayak gini ? Dan tolong, berhenti sebut-sebut kekurangan fisik sebagai alasan ketidakberanian antum! " Ia geram.

Percakapan ini membuat Juice yang kami pesan sudah hampir habis, capcay sudah mulai dingin, rasanya tidak ada selera lagi untuk makan sebelum pembahasan ini selesai.

" Jadi ana harus bagaimna?" Aku mencari solusi.

"Antum temui orangtuanya!"

"Ana bahkan nggak tahu asalnya darimana akh."

" Istri ana kenal beliau, nanti ana minta alamatnya. " dia berkata tegas.

"Tapii.. Mungkinkah.. ."

"Akhii, akhwat yang benar-benar paham agama, tidak akan menuntut lebih selain keindahan laku dan akhlak antum! " seperti sudah membaca kekhawatiranku, Ia memotong kalimatku tegas.

"Baiklaah..akan ana coba" aku tersenyum.

Ia membalas senyumku, ada rupa lega yang kubaca dari air mukanya.

Setelah pembahasan serius itu, kami fokus melahap capcay yang tidak sedikitpun berubah rasa sejak dulu. Rasanya khas menurut kami. Tapi kali ini, porsinya agak dikurangi. Tidak sebanyak dulu, sekitar beberapa tahun lalu saat kami masih kuliah.

Ardi mengelap sisa air di bibirnya dengan tisu yang ia ambil di pojok meja, lalu berdiri.

" Biar kali ini, ana yang traktir" Ia menepuk pundakku kemudian berjalan menuju meja kasir.
Aku senyum dan mengucapkan terimakasih..
Kami meninggalkan kebalen, menuju masjid karena sebentar lagi akan berkumandang adzan maghrib.

Sebakda sholat, aku pamit, harus balik ke kampus untuk mengajar. Kami pun berpisah.

"Tunggu ya. Sabar ntar ana WA antum alamatnya" Ardi membisikku menggoda ketika kami berjabat tangan diakhiri tawanya yang renyah.

Aku hanya senyum. Senyum malu-malu lalu spontan menggaruk kepala tak gatalku.

"Assalamu'alaikum. Ana pamit" Aku berbalik arah menuju motor.

"wa'alaikummussalam..." Ardi masih berdiri di teras masjid, melihat punggungku menghilang dari manik matanya.

Namanya Zakiya, aku bahkan lupa nama panjangnya. Dulu kami pernah berada dalam satu kepanitian sebuah acara nasional tahunan di Kampus. Aku baru mengetahui nama gadis itu setelah tahun ketiga di universitas dan gabung menjadi anggota senat.
Jika kebanyakan orang bilang bahwa kisah mereka dimulai ketika jatuh cinta pada pandangan pertama, maka teori itu tidak berlaku bagiku.
Aku mengamati gadis ini berhari-hari sampai akhirnya aku merasakan ada degub tidak biasa di dadaku.
Aku kagum dengan caranya bergaul, wanita itu selalu saja tersenyum. Senyum yang meneduhkan semua mata yang memandangnya. Jangan kau anggap dia senyum ke semua orang. Tidak!. Gadis itu hanya membagi senyumnya ke teman perempuannya saja. 'Lalu kenapa aku bisa tahu?' Iyalah! Aku stalker yang amat handal. Aku selalu memperhatikan gadis ini dari jauh, mengamati ia saat kami aktif di senat. Bagaimna ia bicara dengan teman-temannya, caranya tertawa dan tentu saja gayanya tersenyum, aku mengetahuinya.

Suatu ketika kami mengadakan rapat pleno di ruang senat. Kebetulan, aku ketua panitia saat itu dan dia ketua devisi Acara. Dia menjadi dia yang lain saat berhadapan dengan forum yang bercampur dengan Ikhwan. Tidak ada senyum atau suara lembut. Dia berubah sangar dan tegas. Bahkan banyak teman-teman lelaki kami yang beranggapan bahwa dia wanita yang galak. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Karena aku tahu gadis ini hanya sedang melakukan yang seharusnya dilakukannya di depan laki-laki bukan mahramnya.

Zakiya juga punya kepedulian sosial yang sangat tinggi. Pernah beberapa kali bahkan sering aku tanpa sengaja melihatnya memberikan bungkusan nasi ke nenek renta atau ibu-ibu pemulung di depan kampus kami. Pemandangan yang sudah jarang aku temukan pada masa itu. Pernah juga, sebakda maghrib, aku memergokinya sedang menggonceng wanita tua dengan karung bawaannya. ari rupa pakaian, aku tahu bahwa wanita itu adalah pemulung. Ia membawa wanita itu pelan2, sambil fokus mendengar arah jalan yang dikomandokan dari suara yang ia gonceng di belakang jok motornya. Juga, setiap ada agenda besar senat, gadis itu, tidak malu mengumpulkan gelas bekas air minum kemasan. Dikumpulkannya gelas-gelas itu ke dalam kresek merah besar yang sengaja dibawanya untuk kemudian di berikan ke pemulung pertama yang ia temui di jalan.

Semenjak saat itu, aku menemukan detak berbeda dari jantungku ketika melihatnya. 'Tapii siapa aku?' pertanyaan sepihak itu menghancurkan harapanku.

Aku Hanya laki-laki cacat yang punya banyak cela. Kecelakaan ketika Semester awal kuliah, membuat jari-jari tangan kiriku putus.

Semenjak saat itu, aku menyimpan rasaku. Seringkali mengurainya pada lantai yang kucium ketika malam menuju sekarat.
Itulah cara paling aman menurutku. Bagaimna tidak! Kau membisikkan harapmu ke kedalaman bumi, namun pinta itu menggema menuju langit. Ajaib bukan?
Tapi sepertinya Allah belum berkenan mempernyata harapan yang kukirim, Beliau masih senang mendengarku menyebut nama gadis itu.

Dulu Aku mengira, Cinta saja cukup. Tapi ternyata, aku salah besar. Karena cinta tanpa keberanian hanyalah omong kosong belaka.
Sama sepertiku, Aku mencintai gadis itu. Tapi karena aku lelaki penakut dan minderan, maka aku masih terjebak atas definisi cinta yang kubentuk semenjak 9 tahun lalu. Cintaku menyeretku di tengah-tengah keadaan antara maju atau mundur. Antara diterima atau ditolak. Dan aku belum siap untuk konsekuensi dari jawaban yang tidak kuharapkan jika aku mengutarakan rasaku. Maka aku biarkan waktu menjawab segalanya.

Hatiku sesak dengan bunga-bunga yang ditebar (maksudku yang kuambil) dari pesona akhlak gadis itu. Hingga 9 tahun ini, tidak ada satupun wanita lain yang bisa mencipta degup lebih hebat atau serupa yang dilakukanya dulu,9 tahun lalu.
Orangtuaku pernah beberapa kali berniat menjodohkanku dengan gadis pilihannya, tapi aku menola halus karena jujur walau aku sudah tidak pernah tahu kabar Zakiya, ada keyakinan kuat di hatiku bahwa wanita itu akan menjadi pelengkap agamaku.

Semenjak lulus, aku tidak lagi mengetahui kabarnya. Aku pasrah pada waktu. Aku ridho pada takdir. Kubiarkan rasaku berjalan biasa saja. Walau pada akhirnya di awal-awal masaku tidak lagi aktif di kampus, ada rindu hebat yang harus aku babat dengan bejibun aktivitas yang sengaja aku lakukan. Waktu mengajarkanku untuk tidak lagi menjadi penguntit. Aku memulai berdamai dengan hatiku. Sejak saat itu aku tidak tahu lagi kabarnya. Hingga sore tadi Ardi memberitahu bahwa wanita itu belum menikah. Ada benih-benih bunga beranjak tumbuh di hatiku. Dadaku berdesir hebat. Aku tahu, ini debaran kebahagiaan.

Malam itu, aku mendapati diriku tengah senyum-senyum sendiri di atas balkon. Harapanku tumbuh kembali. Wanita itu belum bertuan. Dan itu membuatku tidak bisa tidur. Aku menenteng ponselku dari tadi. Menunggu dering WA dari Ardi. Setelah istikharah tadi, hatiku mantap untuk mencoba mengkhitbah gadis itu.

'Aku Harus berani !' . Tekadku kuat di dalam hati.

Berani untuk menerima dua kemungkinan : diterima atau ditolak. Sikap yang harusnya kuambil sejak dulu tapi kalah dikarenakan rasa 'minder' yang kucipta.

Jam di Hp-ku menunjukkan angka 11 pada layarnya sementara tidak ada satupun dering tanda WA dari Ardi. Hanya percakapan di group yang dari tadi mengganggu.
Aku mengetik pesan, mencoba menanyakan ardi tentang kejelasan Info yang ia janjikan. Tapi lagi-lagi ketika akan kukirim, ku hapus huruf-huruf itu.
Aku malu.

Ardi menelponku, aku langsung menjawab
" Iya Di, Asslamualaikum. "

"Waah cepat sekali diangkat, nggak sabar yaa? Dia menggodaku lagi.

" Jawab salam dulu dii" Aku mengalihkan candaannya.

" Astagfirullah.. 'alaikummussalam ya Akhii".

" Bagaimna Di ? " Aku bertanya dengan nada biasa. Menahan gejolak hebat dari gumpalan di dada.

" Apanya? " Dia menggoda lagi..
" Nggak ada apa-apa Dii" Aku tidak terlalu berharap.

"Ukh Zakiyaa?? " Dadaku makin berdebar, mendengar nama gadis itu lagii.

"i.ya. " aku menjawab pelan.

" Eh tegas dong! Haha.. " masih saja dia menggodaku.
"Alamatnya di Pemotoh, Batukliang Utara akh, istri ana tahu rumahnya. Antum jadi kaan mau kesana? " Dia meminta kejelasan.

" Iya Akh. InsyaAllah. Ana siap. " aku menjawab mantap.

" Jadi kapan kita kesana?, pokoknya harus bisa sebelum ana balik ke Malang ! Okey?" Dia bersemangat menanyakan.

"Siap akh. Besok juga boleh.. " Aku menjawab cepat.

" MasyaAllaaah.. Kenapa nggak dari dulu berani kayak gini, akhiii" Dia menyayangkan sikapku selama 9 tahun belakangan.

"Besok kita ketemu di depan IC yaa, jam 9 kita jalan, besok ana telpon antum lagi"

"Siap" aku menjawab mantap.

"Ana istirahat dulu. Antum nggak usah begadang, biar besok fresh." Dia menyarankan.
" Assalmualaikum warohmatullah wabarakatuuh"
Lalu mengakhiri panggilan ketika aku selesai menjawab salamnya.

Malam itu , aku tidak bisa tidur, tidak sedikitpun mulutku menguap. Ada rasa tidak sabar agar waktu cepat melaju. Kata-kata salah seorang penulis favoritku terkenang dalam pikiran "Ada dua alasan yang membuat seseorang tidak ngantuk semalaman : kebahagiaan yang teramat sangat dan kesedihan yang mendalam"
Dan malam itu opsi pertama sangat cocok denganku. Dadaku berdebar, desakan bunga-bunga kecil itu meluap-meluap, mencipta sungginggan senyum dibibirku berkali-kali .

Aku jatuh cinta. Lebih hebat getarannya dari 9 tahun lalu. Kali ini aku punya bekal lebih lengkap. Sudah kusisipkan 'keberanian' pada saku kananku. | Cerpen Cinta Diujung Penantian Aku Menanti Cinta Sejati

''Besok. akan kutemui gadis itu.'' . Aku menggulang kalimat itu berkali-kali, malam itu.

- Bersambung -