Tak Terasa Air Mataku Meluruh Begitu Saja

Dengan tinta aku harap dapat menyederhanakan segalanya.

Namun hanya kata itu yang mampu aku tulis, ‘Aku Mencintaimu’ dengan sebuh nama di luar amplop sebelum akhirnya pergi. | Cerpen Sedih Tak Terasa Air Mataku Meluruh Begitu Saja

Aku begitu takut dengan jawaban dan ekspresi keterkejutannya, apalagi sikapnya yang tiba-tiba berubah kepadaku nanti.

Namun...

Menghilangnya aku, kepergianku, entah kenapa tak sedikitpun aku mendengar bahwa ada seorang pemuda yang mencariku, menanyakan alamat baruku, bahkan mengejarku kebandara saat itu.

Yang aku tahu.. surat yang terakhir aku kirimkan itu tak kunjung mendapat balasan, kulihat tak sedikitpun handphoneku bergetar dan berdering atas namanya. Sekarang ingin sekali aku bertanya pada dunia, siapa yang sebenarnya hilang? Aku atau dia?

Dalam jangka waktu satu minggu aku menunggu balasan, bahkan tiga bulan aku mengharap kabar yang ia layangkan melalui ponsel genggamnya. Setidaknya dia masih memiliki nomorku walaupun tidak tahu alamat rumah baruku dan setidaknya dia mencariku ke rumah lamaku walaupun aku sudah tidak di situ, karena di sana masih ada pembantu lama ibuku. Satu tahun tidak ada perkembangan.

Lalu...

“Aku melihat pemuda yang dulu mengisi relung hatiku.” 5 tahun, bukan waktu yang singkat.

“Kau pernah mencintai seseorang?”

Aku mengangguk.

“Kenapa kau tidak pernah bercerita kepadaku?”

Aku mengendihkan bahu.

“Kapan dan dimana kau melihatnya?”

“Baru saja, di sini.”

“Apa?!” suaranya melengking, membuat seisi kantin menoleh kearah kami. “Kenapa kau tidak memanggilnya ataupun mengejarnya?!”

“Mungkin dia sudah lupa atau penglihatanku yang salah, aku tidak mau mengambil resiko kalau-kalau dia tak mengenaliku atau aku salah memanggil orang.”

Aku pikir aku pengecut.

“Dimana orangnya? Katakan padaku, biar aku yang membawanya ke sini. Siapa tahu saja itu benar-benar dia, Shin.” Dia terlihat bersemangat karena baru pertama kali mendengarku pernah jatuh cinta. Meliyana, rekan kerjaku. Dua tahun bersamaku dia hanya tahu namaku dan tempat tinggalku.

Dia mendengus sebal berkali-kali saat aku tak bergerak sedikitpun dari zona nyamanku, karena bagiku.. seorang gadis tidak mungkin mengejar seorang pria meskipun zaman sudah berubah, meskipun lelaki sudah semahal wanita karena jumlahnya yang sangat minim.

Aku masih bisa mengingat bagaimana tulisanku menghiasi kertas yang semula kosong itu, bahkan bukan sekali dua kali aku mempertimbangkan niatku untuk menulis dan mengirimnya.

‘Aku Mencintaimu...’

Besar-besar aku menuliskannya di tengah kertas, aku melipatnya lalu memasukkannya ke amplop dengan nama pengirim di pojok kanan luar amplop.

‘Shinta.’

Meskipun sekarang bukan zamannya lagi.. tapi aku masih saja menunggunya balasannya untuk bisa berbalas pesan kembali melalui surat.

“Permisi..” keterkejutanku akan suara itu membuatku sedikit minggir ke arah kanan dan menoleh kearah sumber suara. | Cerpen Sedih Tak Terasa Air Mataku Meluruh Begitu Saja

Tidak aku sangka aku telah menghalangi jalannya, aku lupa, dan pikiranku entah kemana.

Seorang pemuda mengambil secangkir kopi panasnya di meja kasir. Semula aku menatapnya dalam diam, kemudian bola mataku membulat sempurna. Segera aku membekap mulutku. Aku tidak tau kalimat apa yang ingin keluar dari bibirku hanya saja sepertinya aku perlu menahan bibirku.

Setelah mengambil secangkir kopinya dia yang hendak berlalu dengan langkah panjangnya tiba-tiba saja menoleh ke belakang, kearahku. Aku terkejut saat melihat jemariku tiba-tiba saja sudah menahan langkahnya dengan mengapit ujung bajunya.

“Kau..”

Wajah bingungnya mulai mengenali wajahku.

“M,maaf.. aku t,tidak sengaja melakukannya.”

Aku gugup.

Tanganku sudah turun tak lagi menutupi sebagian wajahku, tapi tanganku yang menahan langkahnya tak kunjung turun dan melepaskannya.

“Shinta?”

Aku mengangguk.

Apa dia sudah membaca suaratku?

Hanya pertanyaan itu yang ada dikepalaku saat ini.

Apa dia sudah membaca suratku? Apa dia sudah membaca suratku? Apa dia sudah membaca suratku? -Seakan mantra aku terus merapalkannya dalam hatiku.

Lalu perasaan lain yang membuncah-buncah di dalam hatiku berganti takut.

Siang itu..

Tak sekalipun dia membahas tentang surat itu. Melihatku yang sempat menahan langkahnya membuatnya memutuskan untuk duduk sebentar bersamaku.

“Sudah lama aku tidak berbincang denganmu.”

Aku mengangguk.

“Kau tinggal di sekitar sini?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana pekerjaanmu?”

“Baik-baik saja.”

“Bagaimana kabar ibumu?”

“Baik.” Hanya obrolan basa-basi yang aku dengar.

Dia mulai menghela nafasnya yang terdengar berat ditelingaku.

“Aku sudah memiliki tunangan”

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kembali kalimatnya.

“Kau sudah memiliki tunangan?”

Dia megangguk mantap.

“Jadi itu alasanmu tidak mencariku.”

Apa maksudnya berkata seperti itu kepadaku? Apa dia berusaha mencurahkan isi hatinya kepadaku atau sedang memperingatkan diriku?

“Ya,” katanya. Disusul kalimat berikutnya,

“Memangnya kau pergi kemana?”

“Kau tidak tahu aku kemana?” aku sedikit terkejut.

“Ya, sekarang itu bukanlah sesuatu yang penting lagi bagimu.” Tambahku lagi. Sekiranya bagitulah pertemuan singkat kami. Bahkan secangkir kopi kami saja tak habis. Aku memutuskan undur diri lebih dahulu karena bagiku sudah tidak ada obrolan penting lagi dengannya.

Aku tak ingin memaksakan diri, tak ingin lagi. Menunggunya, jatuh cinta kepadanya.. sungguh tak ingin.

Lalu air mataku meluruh begitu saja melintasi pipiku.  | Cerpen Sedih Tak Terasa Air Mataku Meluruh Begitu Saja