"Bang, tadi di pasar ada cerita lucu, deh!"
Wajah wanita yang kunikahi 8 tahun yang lalu itu tampak cerah. Tersenyum simpul, menampakkan dua lesung pipinya. | Cerpen Kehidupan Ternyata Kau Seorang Pembohong Dan Pendusta
"Cerita apa, Neng?"
Ani, istriku, memang selalu menceritakan semua kejadian yang dianggap menarik. Pada dasarnya wanita berkulit kuning langsat itu pemalu. Hanya kepada orang terdekat saja dia bisa bebas bercerita. Dan yang dekat dengannya tidak banyak. Makanya meski kadang bosen dengan cerita-cerita konyolnya, kupaksakan diri untuk mendengar. Daripada dia mencari kenyamanan di tempat lain? Aku sendiri nanti yang repot.
"Waktu Eneng beli sayur, pedagangnya muji-muji Eneng!"
Wajahnya makin sumringah. Membuatku sedikit curiga.
"Tukang sayurnya laki atau perempuan?"
"Perempuan lah, Bang."
Lega, perempuan ternyata.
"Masa dia tadi bilang, Eneng rajin banget, tiap pagi mau disuruh ke pasar sama ibu. Dikira emak yang nyuruh Eneng. Habis itu dia nawarin Eneng buat dijadikan mantu."
Lha?
Aku sudah mulai tahu arah pembicaraannya. Perawakannya yang mungil, dan wajah yang jarang terpoles make up, membuat dia sering disangka masih gadis 20 tahunan. Dan jadi kebahagiaan tersendiri bagi Ani, saat banyak orang yang tertipu dengan usianya.
"Terus Eneng bilang apa?"
Seneng sih, istri dipuji masih kelihatan muda meski umur sudah kepala tiga. Tapi dijadikan mantu? Kok agak jengkel juga ya jadinya? Jengkel karena Enengnya kesenengan.
"Ya ... maulah, anaknya ganteng!"
Dia mengerlingkan mata.
"Lho ... lho ... Abang mau dikemanain?" Aku pura-pura memasang tampang marah. Wajah kutekuk sampai entah berapa lapis. Bibir kumonyong-monyongin. Biar kelihatan sangar.
"Nggak usah disangar-sangarin gitu, Bang mukanya. Biasa saja sudah nakutin kok!" Dia cekikikan.
Sial. Tapi emang bener sih.
"Nggak ding, Bang. Jelek-jelek begitu, Eneng sayang sama Abang. Jadi Eneng bilang ke ibu itu kalau sudah menikah!"
Wajah yang kutekuk, kulurusin lagi. Capek ternyata.
"Ibu itu tampak kaget, Bang. Nggak nyangka Eneng sudah nikah, masih imut katanya."
Nah ini nih, satu lagi sifat istriku yang tidak banyak orang tahu. Dia itu narsis, narsis kronis.
"Oh ... iya. Kemarin juga ada yang bilang Abang ganteng. Mau dijadiin mantu juga. Anaknya beeh ..cantik!" Melihat dia kegirangan, aku ingin balas menggoda.
"Apa, Bang? Abang pasti ke-GR-an 'kan? Abang suka 'kan?"
Wajahnya seketika memerah. Senyum yang tadi menghias wajah ayunya, hilang sudah.
"Cantik mana Eneng sama cewek itu?" cecarnya. Bibirnya kini manyun 5 senti. Dasar Eneng, dia tadi cerita hal yang serupa tanpa sedikit pun merasa berdosa. Giliran aku yang cerita?
"Cantik Enenglah!"
Aku berniat mengakhiri saja topik ini. Kalau diteruskan sepertinya akan berujung tidur di luar.
"Jawab yang jujur cantik mana?"
Lhah, si Eneng masih lanjut. Alamat ini.
"Cantik Eneng. Nggak ada yang lebih cantik dari istri abang tersayang pokoknya!" Pujiku. Biar suasana yang agak memanas sedikit adem.
"Abang bohong. Ngomong yang jujur, Bang. Eneng lebih suka kalau Abang jujur!"
"Cantik dia sedikit."
"Nah ... tuh 'kan? Matanya nggak dijaga. Jelalatan!" Sebuah cubitan maut mendarat mulus di tanganku.
"Auch ... sakit, Neng!"
"Pokoknya Eneng mau mogok masak hari ini!" Kebiasaannya kalau lagi ngambek, tidak mau memasak. Dia tahu aku paling anti jajan di luar. Selain kurang jelas kehigienisannya, juga kurang ekonomis. Boros. Dan Ani pintar sekali memanfaatkan situasi itu.
Dia pun beranjak dari tempat duduk.
"Lha terus Abang makan apa?" Aku pura-pura memelas.
"Terserah. Suruh masakin saja sama cewek yang tadi Abang bilang cantik!" Dia berjalan menuju kamar.
"Beneran? Abang ke sana, ya?" Aku sedikit mengeraskan suara. Sambil menahan ketawa. Karena aku tau apa yang akan terjadi berikutnya. | Cerpen Kehidupan Ternyata Kau Seorang Pembohong Dan Pendusta
"Abaaaaaaaangggg ...!"
Nah ... betul 'kan. Dia berteriak.
Lalu dia akan berbalik.
Tepat sekali. Sedetik kemudian dia berbalik, berjalan cepat ke arahku.
Yang tak kuprediksi sebelumnya dia berbalik dengan senjata di tangan. Kemoceng sakti. Entah kapan dia mengambilnya.
Waktu sepersekian detik kumanfaatkan sebaik-sebaiknya. Katamu hadir ku lah yang menjadi penguatmu.
Katamu hidup mu tak berarti tanpa ku.
Katamu kau rela menderita demi aku.
Katamu jikalau harus memilih, kau akan selalu memilih ku.
Dan aku selalu percaya kata-kata mu itu.
Semalaman aku tak bisa tidur. Sudah ku paksakan mata ini terpejam tapi lelap tak kunjung menghampiri. Pikiranku melayang kemana-mana tak tentu arah. Memikirkan yang tidak pasti. Andai begini andai begitu. Resah hati ini sepanjang malam menjadikan mataku sulit untuk terpejam. Begitu terus sampai pagi menjemput.
Yah kurasa wajar aku tak bisa tidur. Merasa aneh dengan kamarku sendiri. Kamar yang ku miliki belum genap dua belas jam. Kamar yang 3 kali jauh lebih bagus dari kamar ku sebelumnya. Teringat kata-kata bapak baru ku kemaren sore seusai akad nikah nya dan ibu ku. Yah, ibu ku menikah lagi.
"Jamal, ini kamar mu ya. Ada lemari baju dan juga tv di dalam. Semua yang ada di dalam kamar ini adalah milikmu." bapak baru ku menjelaskan padaku yang masih terlihat canggung.
"Iya om, eh pak." Jawabku gugup. Masih bingung mau memanggilnya apa. Bapak baru ku tersenyum demi mendengar nada bicara ku yang gugup
"Yasudah, masukan baju-baju mu kedalam lemari ya. Abis itu mandi terus makan bareng bapak dan ibu."Ucapnya sambil mengusap pelan rambutku.
"Ba baik pak." Jawabku masih terbata-bata.
Dan pagi ini aku keluar kamar dengan wajah kusut khas orang bangun tidur. Ditambah gak tidur semalaman. Pasti udah kaya panda mataku ini. Terlihat ibu sedang di dapur. Ku hampiri beliau.
"Ey udah bangun nak. Gimana tidurnya, enak?" Ibu ku bertanya sambil meraih lenganku.
"Aku gak bisa tidur bu." Jawabku singkat saja.
"Kenapa, gak betah ya?" Ucapnya sembari meraih kursi plastik yang ada di belakangnya. Tangannya mengisyaratkan agar aku duduk di sebelahnya.
"Iya bu." Jawabku pelan. Takut terdengar oleh bapak baru ku.
" Kamu belum terbiasa nak, mulai sekarang di biasakan ya. Ini rumah baru kita. Jadi kita harus betah disini. Bapak Muhdin orang yang baik. Bapak bilang akan menganggapmu seperti anak sendiri. Akan membelikan apa pun yang kamu mau selagi bapak mampu katanya. Tapi kita harus tahu diri juga ya nak. Kita orang baru disini." Panjang lebar ibu ku menjelaskan. Dan hanya ku jawab dengan anggukan. Aku masih bingung dan belum yakin apa aku bisa betah tinggal disini. Meskipun rumah ini bagus. Tapi aku merasa tak betah. Mungkin benar kata ibu ku. Aku belum terbiasa.
Seharian aku hanya berdua dengan ibu. Kata ibu bapak sedang ke rumah orang tuanya. Aku bertanya pada ibu. Kenapa ibu tak ikut bapak. Kata ibu, tadinya mau ikut; tetapi tak tega membangunkan ku karena aku terlihat sangat lelap. Itu berarti, aku sempat tertidur tadi pagi. Dan akhirnya aku tersenyum mendengar jawaban ibu.
Sore menjelang maghrib, bapak baru ku datang. Tapi beliau tidak sendiri. Ada beberapa orang sepertinya. Ternyata satu orang lelaki dan perempuan seusia nenek ku yang turut serta. Ku intip dari jendela kamar baru ku. Mereka turun dari mobil. Ibu ku terlihat keluar menyambutnya. Menyalami kedua orang tua itu. Mencium tangannya sembari tersenyum gembira.
Dan bapak baruku terlihat sedang mengeluarkan sesuatu dari bagasi mobil. Aku penasaran apa yang mau di ambilnya dari sana. Ternyata 2 koper besar. Aku tercengang. Apa kedua orang tua itu akan tinggal disini juga. Dan siapa mereka. Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku. Seandainya iya, ku harap mereka orang yang baik pada ku dan juga ibu ku. Lamunan ku buyar ketika terdengar ibu memanggilku. Aku tertegun sejenak. Bingung.
Bagaimana aku harus bersikap dengan dua orang baru itu. Dengan bapak baru ku saja aku masih canggung. Ah ku beranikan diri keluar dari kamar untuk menyambut tamu itu. Ah sebenarnya aku bingung, aku atau mereka yang menjadi tamu di rumah ini.
"Kabuuuuuuuuur ...!"
Ruang tamu 4x4 itu pun jadi arena kejar-kejaran.
Untunglah anak-anak masih di sekolah. Kalau tidak, mereka pasti ikutan, dikira umi abinya lagi bermain Tom and Jerry. Tambah bubrah kan? | Cerpen Kehidupan Ternyata Kau Seorang Pembohong Dan Pendusta
- Bersambung -