Setulus Cinta Kasih Mamak Dan Juga Bapak

"Bapak sudah tidur, Mak?" tanyaku saat melihat Mamak keluar dari kamar. Kakinya melangkah menujuku, duduk di sofa tepat di depanku. | Cerpen Sedih Setulus Cinta Kasih Mamak Dan Juga Bapak

"Sudah, baru saja," ucapnya sambil memijat leher belakang, sekadar meringankan letih yang menumpuk di bahu. Wajahnya lesu, tapi senyumnya melebar seolah tanpa beban.

"Capek ya? Sini Ara pijitin." Kuletakkan buku kuliah begitu saja di atas meja. Kuhampiri Mamak, duduk di sampingnya lantas memijat tengkuknya.

"Ndak usah, kamu terusin aja belajarnya. Katanya mau ujian ...."

Seperti biasa, Mamak tak pernah ingin menjedaku saat aku sedang memegang buku. Dia selalu bilang belajarku jauh lebih penting. Padahal, kadang yang kubaca adalah novel atau buku-buku yang tak ada kaitannya sama sekali dengan mata kuliah. Namun, mana dia tahu mana novel mana buku kuliah.

"Udah selesai kok." Aku sengaja memaksa, atau Mamak akan bersikeras dan pura-pura masuk kamar dengan alasan hendak tidur.

Perempuan itu menurut. Menggeser sedikit duduknya, menyisakan tempat untukku. Dan mulailah kupijat leher belakangnya hingga sekitar punggung. Sebentar-sebentar Mamak menggeliat menahan geli. Aku cekikikan melihatnya.

"Oya, Mak, kenapa waktu itu tidak menerima permintaan Mbak Ranti saja?" tanyaku hati-hati, membuka percakapan sedikit serius.

Minggu lalu, Mbak Ranti, kakak perempuanku berkunjung ke rumah. Membawa serta suami dan kedua anaknya. Sejak menikah sekitar enam tahun lalu mereka tinggal di kompleks perumahan, rumah dinas suami tepatnya.

Mbak Ranti menawarkan akan mencarikan pembantu untuk membantu pekerjaan rumah. Semua keperluan dan gaji Mbak Ranti yang akan mencukupi. Tapi waktu itu Mamak hanya menggeleng. Menolak.

"Mamak kan masih bisa mengerjakan semuanya sendiri. Ngapain pakai pembantu? Mendingan uangnya ditabung. Syukur-syukur bisa untuk daftar haji," jawabnya ringan.

Inilah salah satu hal yang aku salut dari Mamak. Dia tak pernah ingin merepotkan anak-anaknya. Seharusnya ini bukan hal merepotkan, tapi begitulah Mamak.

"Lagian, Mbak-mu itu anaknya sudah dua, butuh banyak biaya juga buat sekolah."

Terbayang olehku kedua keponakan yang menggemaskan. Si kakak yang usia TK dan si adik yang masih menyusu.

Setelah menjawab, Mamak beranjak ke kamar. Jelas sekali tak mau lagi disanggah.

***

Sudah setahun lebih kondisi Bapak kian menurun. Kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi. Bicara pun susah. Lebih sering dengan bahasa isyarat. Stroke telah menemani hari-harinya. Ke mana-mana hanya berteman kursi roda.

Namun demikian, aku tak melihat gurat sedih di wajahnya. Bukan karena dia laki-laki, tapi ini karena kasih sayang tulus Mamak tak pernah berkurang sedikit pun. Mamak tak pernah mengeluh atau bersikap tak sabar di depan Bapak. Ya, akulah saksinya.

Hampir setiap hari kulihat adegan penuh cinta di antara keduanya. Bukan seperti romansa di film-film. Bukan! Namun bagiku ini lebih luar biasa dari sekadar kisah cinta penuh drama. Cinta yang sederhana, aku menyebutnya. Tanpa saling bicara pun terpancar jelas, mereka saling memahami bahasa hati masing-masing.

Mamak selalu sigap sebelum kokok ayam bersahutan. Mengetuk pintu kamarku untuk membangunkan. Bersama beradu dengan asap kompor sebelum panggilan Subuh menggema. Lantas menyiapkan semua keperluan Bapak dengan cekatan.

Tak jarang, Bapak ikut menemani kami. Ia duduk di kursi roda tak jauh dari meja makan. Matanya awas menatap. Sesekali memaksakan senyum saat mendengar semua celoteh Mamak. Aku tak lupa mencuri pandang. Sangat yakin hati Bapak pasti tertawa. | Cerpen Sedih Setulus Cinta Kasih Mamak Dan Juga Bapak

Terbayang bagaimana dengan masa tuaku nanti. Apakah bisa sehangat mereka? Menghabiskan waktu bersama meski dalam keadaan sulit? Ah, rasa baper tiba-tiba menyeruak.

"Kamu terusin ya, Mamak nganter teh Bapakmu dulu."

Kutinggalkan seikat kangkung dan menuju penggorengan. Bergegas membalik tempe yang sudah kecokelatan.

Hmm, lagi-lagi adegan pasangan senja itu membuatku iri. Mamak dengan sabar menyuapi teh hangat ke mulut Bapak. Kadang suapan itu terlihat meleleh dan berantakan bercampur air liur. Namun Mamak tak jijik mengusapnya.

Bukannya Mamak tak pernah marah. Sesempurnanya ia sebagai istri, ia tetaplah perempuan. Manusia biasa. Tapi di depan Bapak, ia bisa sangat cepat menguasai diri. Mengalihkan kesalnya dengan obrolan atau aktivitas lain.

***

Kubuka buku diary. Bukan untuk ditulisi seperti biasanya. Tapi membaca lembaran-lembaran coretan beberapa bulan lalu. Coretan keegoisan dan kemarahanku di awal-awal sakitnya Bapak.

Mataku kian menderas. Membaca betapa jahatnya aku saat itu. Jahat sebagai seorang anak yang hampir setiap hari mengeluh. Keadaan Bapak yang semakin menurun membuatku begitu sedih sekaligus kesal.

Sedih melihatnya hanya terkulai lemah. Sedih ia tak bisa ceria dan berbagi tawa. Sedih karena ini dan itu. Jahatnya, aku terkadang banyak mengeluh dengan keadaan ini. Persis setelah Bapak sakit, aku harus bangun lebih awal. Menyiapkan semua keperluan dapur, membantu melakukan pekerjaan rumah yang melelahkan dan menyita waktu, nyaris tak banyak lagi kesempatan keluar bersama teman-teman.

Apalagi saat aku tengah semangat wira-wiri mengincar perguruan tinggi. Hingga akhirnya harus membenamkan mimpi, melepas keinginan kuliah. Kondisi Bapak sama sekali tak memungkinkan untuk bisa kembali bekerja. Uang dari mana muluk-muluk berharap kuliah?

Namun lagi-lagi aku tertampar. Mamak memintaku untuk tetap mendaftar kuliah. Tentu bukan di perguruan tinggi impianku. Meskipun di kampus swasta, aku akhirnya menyambutnya setuju.

"Berdoa sungguh-sungguh, minta sama Gusti Allah, Nduk. Insya Allah, akan selalu diberi jalan. Asal kamu nggak malas dan putus asa," ucapnya waktu itu. Begitu teduh.

"Uang pensiunan Bapakmu memang tidak banyak. Tapi Insya Allah berkah. Apalagi kita masih ada toko sebagai usaha, sudah bismillah saja," lanjut perempuan itu yakin.

Ah, mataku masih juga berair. Begitu kasih dan cinta Mamak sangatlah nyata. Harusnya ini menjadi sumber kekuatan dan motivasi bagiku.

"Ya, harusnya aku bisa seperti Mamak. Nggak boleh cengeng, apalagi sering mengeluh."

Aku benar-benar malu. Bagaimana bisa memimpikan keromantisan di hari tua, jika cintaku pada orang tua saja masih di level begini. Belum setulus Mamak padaku dan Bapak.

Kurobek lembaran-lembaran diary itu. Meremasnya menjadi gulungan tak beraturan, melemparnya sembarang beriring sesal. | Cerpen Sedih Setulus Cinta Kasih Mamak Dan Juga Bapak