Semoga Kamu Bahagia Bersama Ibumu Di Padang Lavender

Dua puluh tiga tahun silam aku dilahirkan dari rahim seorang wanita cantik pilihan Tuhan. Mereka bilang aku mirip sekali dengannya. Tapi, saat aku bertanya, "di mana Mama?". Mereka terdiam seolah enggan menjawab di mana keberadaan wanita cantik yang dulu melahirkanku.

Ma..., Mama di mana sekarang? Aku ingin bertemu. Aku ingin mencium tangan Pintu Surgaku. Aku ingin memelukmu. Bersujud mencium kakimu. Berterima kasih karena telah melahirkanku sehingga aku bisa melihat indahnya dunia ciptaan Tuhanku.

Ma..., hari ini adalah hari kelahiranku. Hari di mana Mama rela berkorban nyawa hanya untuk melihatku terlahir ke dunia dengan selamat. Aku tidak butuh Kue Tart, Ma. Aku juga tidak butuh sebuah pesta, atau berpuluh-puluh hadiah pun berpuluh kartu ucapan, "Happy Birthday". Hanya satu keinginanku dari dulu sampai sekarang. Aku ingin melihat wajah wanita yang telah mengizinkanku menghirup udara hingga saat ini.

Ma..., tidak bisakah kita bertemu? Sekali saja. Kumohon. Aku rindu. Napasku selalu tersekat, dan air mataku lolos begitu saja setiap kali keningku menyentuh sajadah saat aku menghamba pada Rabb-ku karena teringat padamu.

Ma..., seseorang berkata, setiap turun hujan maka doa kita akan dikabulkan oleh Tuhan. Tahukah Mama? Setiap hujan turun, doa pertama yang aku pinta adalah pertemuan kita. Aku tidak pernah berhenti berdoa untuk itu.

Ma..., aku ingin Mama melihatku lalu tersenyum hangat dan memelukku erat. Seseorang dalam sajaknya berkata jika senyum seorang Ibu adalah cahaya dalam gulita. Bahwa senyum seorang Ibu adalah sumber kebahagiaan yang tidak terjabarkan maknanya. Dan senyum seorang Ibu seperti hangatnya sinar mentari yang merona cantik di ufuk timur; begitu menenangkan. Aku ingin melihat itu semua. Boleh 'kan, Ma?

Seorang perempuan muda berwajah oriental dan berambut panjang bergelombang mengetuk pelan pintu ruangan. Setelahnya ia masuk begitu saja dan melihat seorang laki-laki berkemeja biru dongker tengah menekuri layar laptop miliknya di ruang khusus bintang tamu. Pemuda berlesung pipi itu menoleh, lalu memberikan seulas senyum simpul. | Cerpen Sedih Semoga Kamu Bahagia Bersama Ibumu Di Padang Lavender

"Udah siap?" tanya Arlene.

Ganesha--nama laki-laki itu--mengangguk. Lesungnya terlihat jelas saat kedua ujung bibirnya tertarik ke belakang. Garis wajahnya lembut, membuat siapapun yang melihatnya akan dengan mudah menaruh hati.

Arlene memberi aba-aba pada seseorang di seberang melalui alat yang terpasang cantik di telinganya. Lalu, mata hazel-nya kembali menatap pada sepasang warna mata yang sama. Mata yang penuh kelembutan serta arif kebijaksanaan.

"Bersiaplah. Para fans sudah siap menyerbumu untuk meminta tanda tangan serta berfoto," candanya tertawa kecil.

"Panitia membolehkan?" Ganesha bangkit berdiri dari kursinya, berjalan mendekati Arlene yang kini melempar tawa renyah.

"Why not?" Gadis cantik itu mengangkat kedua bahunya sekilas, "mereka adalah orang-orang yang mengapresiasi karya-karyamu." Senyumnya merekah. "Selamat untuk book launching-mu yang ke sepuluh, Tuan Ganesha Adinata. Selamat juga atas kesuksesan lima film yang diadaptasi dari Novel-novelmu." Gadis itu tersenyum hangat. Membuat matanya melengkung cantik seperti bulan sabit.

Ganesha balas tersenyum. "Terima kasih, Mrs. Arlene."

Arlene tersenyum simpul, "baiklah, aku duluan."

"Hem. Aku akan menyusul."

Kepergian Arlene menimbulkan jejak sunyi kembali dalam ruang pribadi itu. Ganesha menghembuskan napas panjang lalu kembali menatap layar laptop. Puisinya--ah, lebih tepatnya catatan pribadinya belum selesai dirampungkan.

"Ma..., aku ingin bertemu. Sangat." Gumamnya dengan mata menerawang. Tatapannya kosong namun, ada ratap tersembunyi di dalamnya.

Suasana peluncuran buku karya Ganesha lancar dan ramai seperti biasanya. Banyak fans berdatangan mengisi kursi-kursi yang tersedia di aula gedung. Pada peluncurannya Ganesha tidak pernah memungut biaya apapun. Peserta bebas datang beramai-ramai.

Setelah memberikan beberapa alasan mengenai latar belakang mengapa ia menulis buku berjudul, "When Will I See You, Mom?". Acara selanjutnya adalah mempersilakan para peserta untuk bertanya.

Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh para peserta. Pun ada yang menanyakan hal-hal mengandung humor recehan, seperti; menanyakan nomor ponsel penulis, menanyakan apakah penulis sudah memiliki kekasih, menanyakan alamat rumah penulis, dan beberapa pertanyaan yang mengundang gelak tawa peserta lain. Semua tertawa mendengar kelucuan yang terjadi.

Sampai pada titik di mana Ganesha tiba-tiba termenung dalam keramaian yang tercipta. Suara bising saling melempar tawa seolah terserap habis tak bersisa dalam sapuan dimensi lain. Membuat lelaki itu harus mengerjapkan kedua kelopak mata teduhnya berulang kali untuk meyakinkan diri jika apa yang terlihat di depannya saat ini bukanlah khayalannya saja.

Ganesha berjalan melintasi jalan setapak berupa batu bundar yang tertata indah. Langkahnya mengikuti ke mana tujuan batu-batu itu. Sesekali menerka di mana kiranya ia sekarang? Di samping kanan dan kirinya semua adalah padang bunga berwarna violet. Wanginya meneduhkan indera penciuman. Warnanya yang begitu lembut memanjakan penglihatan. Mengagumkan, satu kata yang mungkin tersemat dalam pikirannya.

Langkah kaki Ganesha terhenti saat dia melihat seorang wanita di kejauhan. Wanita itu menggunakan gaun putih bersih menjulur hingga menutupi kaki. Jilbab berwarna senada membuatnya terlihat lebih anggun. Siapa wanita itu?

Ganesha melangkah lebih dekat agar bisa melihat rupa wanita yang berdiri membelakanginya. Setelah cukup dekat, Ganes memberanikan diri bertanya.

"Maaf, bolehkah saya bertanya pada Anda?"

Dengan anggun, wanita itu membalik badan. Tersenyum penuh kelembutan pada lelaki yang mendadak terserang kebisuan. Napas Ganesha tersekat. Detak jantung berdentum lebih cepat saat melihat wajah jelita wanita di hadapannya.

"A-anda..., Anda..., si-siapa Anda sebenarnya?" Terbata-bata, Ganesha mempertanyakan siapa wanita yang mempunyai kemiripan wajah sama persis dengan dirinya?

"Bukankah kamu selalu berdoa untuk pertemuan kita, 'nak?" Suara jernih mengalun merdu dari bibir wanita yang terlihat begitu memesona.

Ganesha menahan napas beberapa detik. Matanya memanas. Bibirnya bergetar. Ada sesak juga rindu yang tak terpetakan di sudut hatinya. Kedua tangan mengepal di samping tubuh. Tanpa bisa di cegah, kristal-kristal bening itu luruh membentuk anak sungai di kedua tulang pipinya.

"Ma-Mama?" Suara Ganesha bergetar. Letupan rindu yang selama dua puluh tiga tahun ditahannya meledak bersama isak tangis. Dia hanyalah lelaki biasa, yang bisa menangis jika ada saat di mana dia harus menangis untuk meluruhkan lara.

Wanita itu tersenyum, merentangkan kedua lengannya, mengundang Ganesha datang merengkuh dalam dekapan hangat. "Kemarilah, 'nak. Bukankah kamu merindukan Mama?"

Ganesha berjalan cepat, membalas rentang lengan dengan peluk kerinduan. Tangisnya pecah. Lelaki itu menangis sejadi-jadinya di pelukan Ibu terkasih.

"Ma, Ganes kangen! Kangen Mama! Mama jangan pergi lagi dari hidup Ganes, Ma! Jangan! Ganes mohon!" Ganesha terus merancau dalam tangisnya. Di peluknya lebih erat sosok Sang Ibu. Tidak ingin lagi kehilangan kehangatan pelukannya meski ia harus melawan waktu, melintasi dimensi agar ia selalu bersama Ibunya. Ganesha siap melakukan itu semua.

"Mas Ganes! Bangun Mas! Mas Ganes! Ya Allah! Tolong panggil ambulans! CEPAT!! Mas Ganes Bangun Mas!!"

Samar, Ganesha mendengar teriakan orang-orang yang terpekik memanggil namanya. Suasana yang tadinya ramai berubah histeris saat sosok idola mendadak limbung dari kursi dan jatuh ke lantai dengan darah mengucur deras dari kedua lubang hidungnya. Ganesha merasakan pelukan hangat dari Sang Ibu menghilang lalu lenyap saat matanya menutup sempurna dan kegelapan menelan dirinya.

Dua tahun berlalu semenjak kejadian dirinya jatuh pingsan dan kemudian di rawat di sebuah Rumah Sakit. Selama setahun belakangan pula dia melewati kemo terapi yang begitu menyiksa. Tapi, itu tidak membuatnya surut berkarya. Puluhan Novelnya telah terjual laris di pasaran dan naik cetak terus menerus. Pun banyak Produsen House yang menjadikan novel-novelnya sebagai film--yang ternyata begitu menyita perhatian banyak penonton.

"Mas..., jangan terlalu sering duduk di balkon sore-sore sendirian. Nanti ada setan yang naksir loh!" Sapa suara jernih milik seorang wanita cantik yang dinikahi oleh Ganes dua tahun lalu sebelum dia dinyatakan terkena sebuah penyakit mematikan. Belum lagi sebuah vonis mengerikan yang dikeluarkan oleh pihak Rumah Sakit setahun silam. Membuat lelaki berusia dua puluh lima tahun itu harus rela menelan pil terpahit dalam hidupnya.

Ganes menoleh lalu tersenyum jumawa. Matanya kemudian turun melihat pada perut sang istri yang sudah membesar. Tinggal menunggu dua bulan lagi, Ganes akan jadi seorang Ayah. Kebahagiaan yang saat ini menjadi sumber kekuatannya untuk sembuh. Namun, dia ragu.

"Len, kemari. Duduk di pangkuanku." Ganesha menepuk pelan kedua pahanya. Membuat rona merah tercetak jelas di pipi putih milik Arlene.

"Aku berat loh mas?"

"Aku sudah sering memangkumu dulu. Jika perlu aku ingatkan." Godaan Ganesha membuat Arlene menggigit bagian terdalam pipinya.

Wanita itu menurut lalu duduk di pangkuan Suami terkasih. Membiarkan Ganes memeluk dan menyandarkan kepala di perpotongan lehernya. Mata lentik milik Arlene melebar saat merasakan ada lelehan panas mengalir jatuh mengenai tengkuknya.

Ganes menangis.

"Aku takut."

Arlene menahan napas juga sesak. "Jangan takut, Mas."

"Aku takut tidak bisa menemanimu melahirkan anak pertama kita. Aku sungguh takut, Len." Ganes mengeratkan pelukannya.

Wanita cantik yang sedari tadi menahan diri untuk tidak menangis akhirnya menyerah. Dia mengerti ketakutan yang dirasakan oleh Ganes, suaminya. Sejujurnya dia juga takut membayangkan bagaimana jika itu terjadi?

Arlene menggigit bibirnya menahan isak. Sementara Ganes telah lebih dulu menangis dalam diam.

Ganes menegakan diri dan menatap lembut pada wajah sembab istrinya. Menghapus penuh perasaan air mata yang mengaliri wajah cantik Arlene.

"Don't cry cause of me, baby. Don't Cry, please." Ganes mencoba tersenyum namun gagal karena air matanya kembali luruh.

Ganes menarik napas dalam. "Len, ambilkan aku kotak putih di ujung rak buku urutan ketiga, terletak di bagian bawah tepat setelah buku nomor enam. Geser buku itu, dan buka laci rahasia dengan sebuah kunci yang berada di dalam kalungmu."

Arlene menggeleng. "Aku mau di sini. Menemanimu. Jangan menyuruhku pergi untuk sesuatu hal yang tak penting." Wanita itu kembali terisak. Memeluk erat Ganesha.

"Tolong, Len. Ini penting." Ganes melepas pelan pelukan istrinya. Arlene tetap pada pendirian, dia enggan pergi. Untuk alasan apapun dia tidak mau.

"Kumohon...." |  | Cerpen Sedih Semoga Kamu Bahagia Bersama Ibumu Di Padang Lavender

Melihat keseriusan di wajah Ganes, membuat Arlene akhirnya menyanggupi kemauan suaminya meski berat hati. Wanita cantik dengan senyum sendu bangkit dari pangkuan. Mengecup singkat pipi Ganes kemudian berlalu.

"Aku akan kembali."

Ganes mengangguk.

Sunyi. Ganes menerawang langit keemasan yang ditimpa cahaya senja. Semilir angin membelai lembut helai rambutnya. Senyum Ganes terukir, lalu dua kalimat syahadat terdengar lirih keluar dari bibir pucatnya.

"Asyhadu an laa ilaaha illallāh wa asyhadu anna Muhammad Rasuulullāh."

Sore itu Ganesha pergi membawa satu senyum di wajahnya. Menyambut uluran tangan wanita cantik yang telah lama menunggunya di Padang bunga Lavender.

Tujuh belas tahun kemudian, seorang gadis remaja berwajah oriental menyeka air matanya saat film yang di tontonnya bersama Sang Bunda baru saja berakhir.

"Bunda. Apa sepahit itu hidup seorang Gama di Film If I Ever See You Again?" Manda mengusap air matanya. "Dia meninggal dengan begitu damai. Tapi, meninggalkan luka lara pada anak dan istrinya."

Arlene tersenyum lalu mengusap lembut rambut panjang milik puterinya yang sudah remaja.

"Apakah kamu masih ingin bertemu, Ayahmu, 'nak?" Arlene bertanya setelah merenung cukup lama.

Alamanda menoleh dengan mata berbinar. "Sudah saatnya ya, Bun?"

Arlene balas menatap mata yang begitu mirip dengan mata miliknya juga milik Ganes. Tersenyum sekali lagi, wanita berusia empat puluh satu tahun yang masih terlihat cantik itu mengangguk.

"Bersiaplah."

Alamanda mengangguk semangat.

Langit sore begitu penuh warna. Perpaduan biru, jingga dan nila seperti warna-warni cat air yang tertuang di kanvas Maha Agung menjadi latar belakang seorang gadis remaja yang terisak, menangis sejadi-jadinya saat mengetahui jika orang yang selama ini ingin ditemuinya telah tertidur dengan damai dalam pusara.

Arlene menyeka air mata yang ikut mengalir deras di belakang tubuh puterinya yang berguncang.

Batu nisan bertuliskan nama Ganesha Adinata basah oleh air mata milik Alamanda. Gadis itu berulang kali menyebut kata "Ayah!" namun tidak ada seorang pun yang membalas sapaannya.

Arlene mendekat, ikut berlutut, merengkuh puterinya. "Ayahmu menitipkan sesuatu di hari ini." Arlene menyerahkan sebuah kotak panjang berwarna senada dengan warna bunga Alamanda.

Di bukanya kotak itu. Terdapat sebuah pena, liontin bunga Alamanda dan juga sepucuk surat. Manda membuka surat itu, membacanya dengan seksama. Tangannya bergetar, tangisnya kembali pecah di area pemakaman.

Dear Alamanda

Kamu tahu, nak?

Ada takdir yang tidak bisa kita ubah.

Menjalaninya seperti kita berjalan dalam liku kehidupan yang begitu rumit namun, Tuhan selalu menunjukkan arah agar kita tidak tersesat.

Manda...

Maafkan Ayah karena pertemuan kita justru membuat tangismu pecah.

Tapi, Ayah tahu kalau kamu memiliki jiwa setegar Ibumu.

Tersenyumlah nak...

Manda...

Jadilah gadis yang tangguh

Jadilah gadis yang cerdas

Jadilah gadis yang membuat Ayah bangga memilikimu

Di suatu tempat terjauh

Ayah akan selalu melihatmu

Dan juga merindukanmu gadis kecil Ayah.

Semoga kamu suka dengan hadiah yang sudah Ayah persiapkan untukmu

Ayah harap kamu menyukai film If I Ever See You, Again.

Ayah menitip rindu untukmu di sana melalui Gamantara.

Selamat Ulang Tahun, my dearest Sunshine

Semoga Tuhan merengkuh setiap mimpi-mimpimu.

Dan segera mewujudkannya.

Salam sayang...

Dari Ayah paling tampan

Ganesha Adinata. |  | Cerpen Sedih Semoga Kamu Bahagia Bersama Ibumu Di Padang Lavender

Alamanda menyeka air matanya. "Manda juga sayang sama Ayah. Dan jatuh cinta dengan karakter Gama. Itu singkatan nama kita berdua 'kan, Ayah?"

Arlene tersenyum mendengarnya. Ia mendongkak, menatap langit yang mulai temaram.

'Aku sudah menyampaikan pesanmu, Mas. Semoga kamu bahagia bersama Ibumu di Padang Lavender.'