Pagi ini hujan lebat mengguyur Kota Medan. Angin bertiup kencang dan cuaca semakin gelap, tapi semua itu tak bisa mendinginkan hati Vina yang serasa terbakar. Wajahnya merah padam. Ia menggigit bibir seperti sedang menahan sesuatu. Namun bendungan yang dibuatnya tak mampu menahan luapan air bening yang meluncur deras membasahi pipi. Setelah Andi pergi ke kantor, emosi Vina memuncak. Ia merasa dilecehkan. Harga dirinya sebagai istri serasa terinjak. | Cerpen Motivasi Sebuah Kisah Remaja Menuju Gerbang Pernikahan
Wanita berkulit putih yang memiliki wajah oval dan berhidung mancung itu, baru menikah dengan Andi sekitar dua bulan. Ia berkenalan dengan pemuda Jawa itu hanya tiga bulan sebelum menikah. Sejak berkenalan dan sampai saat ini tidak pernah bertengkar, bahkan berdebatpun tidak. Semua berjalan mulus dan terasa indah, tapi sekarang seperti ada badai yang akan melanda bahtera rumah tangga mereka.
“Rasanya sudah lama aku nggak makan tauco udang seperti masakan mama,” gumam Andi ketika sedang sarapan pagi.
Vina tahu, kalau gumaman suaminya ditujukan untuknya. Andi memang begitu. Jika menginginkan sesuatu tidak langsung ke permasalahan. Sudah beberapa kali Andi mengatakan kalau tauco udang mamanya paling enak di dunia. Dan pagi ini diulangi lagi.
“Sekarang udang mahal,” jawab Vina sekenanya.
“Ya, kalau udang mahal, pakai ikan pun bolehlah.”
“Ikan juga mahal,” debat Vina lagi.
“Kalau gitu, tauco cabai hijau aja, Vin. Enak kok! Yang penting ada tauco dan cabainya.”
“Tapi aku kan belum bisa masak tauco. Kamu ajalah yang masak,” seru Vina yang mulai sewot, karena merasa Andi terus mendesak.
Sewaktu masih gadis, Vina memang agak tomboi dan paling tidak suka ke dapur. Ia lebih senang membersihkan rumah daripada membantu bundanya memasak. Memang sebulan sebelum menikah, ia yang keturunan suku Minang mencoba belajar dari sang bunda. Memasak gulai, kalio, rendang, balado dan beragam masakan Minang lainnya sudah dipelajari dari sang bunda, tapi belum pernah sekalipun belajar masak tauco udang.
“Ya sudahlah! Besok aku pesan dari Mama. Biar di antar ke sini. Kamu nggak usah repot,” ucap Andi pelan.
Darah Vina langsung mendidih. Napasnya memburu. Dadanya serasa mau meledak. Ia merasa dipandang sebelah mata oleh sang suami. Kenapa harus pesan dari mamanya? Mentang-mentang aku nggak bisa masak tauco udang, pikirnya.
“Sedikit-sedikit, mama. Masakan tauco udang mama paling enak di dunia. Itu saja yang sering diulang-ulang,” gerutu Vina hampir tak terdengar.
“Mas, jangan pesan dari Mama. Aku nggak mau!” seru Vina dengan napas memburu.
“Sudahlah Vin. Aku tidak bermaksud membuatmu marah. Maafkan aku, Sayang,” ucap Andi seraya mengecup kening sang istri.
“Aku ke kantor dulu, ya,” pamit Andi kepada istrinya.
"Iya, Mas," jawab Vina datar.
Lima hari berlalu dan sore ini Vina merasa tak sabar menyambut Andi pulang dari kantor. Ia sudah menyiapkan suguhan istimewa untuk sang suami. Vina yakin sang suami akan menyukai. Selama dua hari belakangan ini ia telah belajar masak dari bundanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam ketika Andi pulang. Memang hari ini Andi terlambat pulang karena ada rapat di kantor. Vina menarik Andi ke meja makan. Dengan wajah berseri-seri ia mengajak sang suami untuk santap malam.
“Mas, hari ini aku masak tauco udang kesukaan kamu,” ucap Vina dengan mata berbinar-binar.
“Oh ya! Wah enak dong!”
Vina membuka tudung saji penutup hidangan di meja makan.
“Silakan, Sayang," ucap Vina. Pasti Andi senang sekali, pikirnya.
Kening Andi berkerut begitu melihat masakan sang istri.
“Kok kuahnya warna putih? Dikasih apa? Santan ya?” tanya Andi beruntun. Terpancar perasaan heran di wajahnya.
“Ya iyalah! Memang dikasih santan,” jawab Vina tegas.
“Aduh ...! Kenapa pakai santan? Pakai kacang panjang, tahu dan tempe lagi. Kok jadi begini?” gerutu Andi kecewa, “ini gulai bukan tauco!”
Begitu melihat masakan sang istri, nafsu makan Andi lenyap bagaikan embun terkena panas matahari.
“Mas, cobain dulu dong! Jangan protes aja.” Suara Vina mulai parau. Sekilas wajahnya tampak mulai merah. Matanya tak berkedip menatap sang suami.
Andi mengambil tauco udang dan menuangkan ke piring. Ia mulai makan sesuap demi sesuap, tapi raut wajahnya datar. Tak tergambar perasaan senang.
“Enak juga kok.” Akhirnya keluar juga pujian dari mulut Andi.
“Kalau enak juga, berarti nggak enak. Bilang aja nggak enak,” ucap Vina ketus, “mulai besok makan aja di rumah mama kamu! Makanlah tauco tiap hari!”
Dengan wajah cemberut, Vina beranjak meninggalkan ruangan makan. Ia menuju ke kamar dan merebahkan badan di tempat tidur sambil bergumam, “Kenapa Mas Andi tidak menghargai masakanku? Aku kan telah berusaha. Kenapa hanya masakan mamanya yang paling enak? Sebel, sebel, sebel!”
Selesai makan, Andi menghampiri Vina. Perlahan ia mengelus punggung sang istri, tapi Vina tidak menghiraukan, terus saja menangis.
“Vin, maafkan aku ya. Aku telah menyinggung perasaan kamu,” pinta Andi lembut, “aku tidak akan minta dimasakin tauco udang lagi.”
Vina diam saja. Tidak menggubris permohonan maaf Andi. Vina terus menelungkupkan wajahnya ke bantal, hanya sesenggukannya yang terdengar.
“Vin, aku sayang kamu. Aku lebih sayang kamu daripada tauco udang. Percayalah! Tidak makan tauco udang juga tidak apa-apa, asal kamu jangan marah. Sudah ya, jangan menangis lagi,” bujuk Andi seraca mencium lembut tangan istrinya.
Perlahan Vina membalikkan badannya. Agak lama ia diam sambil memandang wajah sang suami. Seperti ada sesuatu yang dipikirkan. Akhirnya ia membuka mulut.
“Sudahlah. Lupakan saja. Sekarang temanin aku makan ya,” pinta Vina seraya bangkit dari tempat tidur.
Keesokan harinya Vina meminta izin pergi ke rumah bundanya yang juga tinggal di Kota Medan. Ia mengadu kepada sang bunda.
“Bunda, sepertinya Vina nggak bisa masak tauco udang kesukaan Mas Andi,” ucap Vina begitu tiba di rumah bundanya. Wajahnya tampak lesu. Tak ada senyum menghiasi bibir.
“Memangnya, masakan tauco yang Bunda ajarin waktu itu tidak cocok?”
“Iya, Bunda, Mas Andi tidak suka. Tapi sudahlah, Vina mau lupakan itu. Mas Andi juga bilang, nggak mau minta dimasakin lagi kok.”
“Eh, jangan begitu! Kamu harus berusaha. Cobalah minta diajari sama Mamanya Andi.”
“Apa Bunda ...! Ah, nggak mau! Biar aja Andi makan tauco udang di rumah mamanya!”
“Vina ...,” ucap Bundanya lembut, “masih ingatkan dengan janji suci kalian sewaktu mau menikah. Katanya mau saling mengalah, saling mengerti, saling menghargai dan saling menyayang. Baru begini saja, udah ngambek. Pergilah ke rumah Mamanya Andi. Belajarlah masak tauco udang kesukaan suamimu!”
Vina teringat janji suci yang telah mereka ikrarkan. Hatinya luluh. Rasa kesal dan amarah yang tersimpan di dalam hati mencair.
Hari ini hari minggu. Andi dan Vina baru saja pulang dari jalan pagi. Pasangan suami istri ini rajin sekali melakukan jogging setiap hari libur.
“Mas, temanin ke pasar ya,” ajak Vina ketika tiba di rumah.
“Siap, Sayang,” jawab Andi sambil mencium lembut kening istrinya.
Benih-benih cinta yang sejak lama mereka bina, terus tumbuh dan berkembang. Walau kadang ada pertengkaran kecil, namun tidak membuat mereka berlama-lama saling mendiamkan. Bisa saja Andi yang aktif membujuk sang istri, atau sebaliknya Vina yang merayu sang suami agar tidak marah lagi.
Agak lama Andi menunggu. Sekitar satu jam baru Vina keluar dari pasar dan langsung mengajak pulang ke rumah.
“Emangnya belanja apa aja, kok lama banget?” tanya Andi sambil menyetir mobil.
“Ada deh,” jawab Vina sambil tersenyum, “ntar juga kan tahu.”
“Kok?”
“Iya, hari ini aku mau masak makanan kesukaan kamu.”
“Makanan apa?”
“Tauco udang.” | Cerpen Motivasi Sebuah Kisah Remaja Menuju Gerbang Pernikahan
“Apa ...! Tauco udang?” tanya Andi hampir tercekik. Ia merasa tidak percaya terhadap apa yang didengarnya.
“Ah, sudahlah, Vin. Aku tidak berani mimpi kalau kamu mau memasak tauco udang lagi.”
“Nggak apa-apa. Dua hari ini, aku sudah belajar dari Mama kamu,” jawab Vina serius.
“Oh ya! Alhamdulillah .... Kamu memang istriku yang paling cantik dan bijaksana.”
“Apa ...? Paling cantik? Emangnya ada istri kamu yang lain?” tanya Vina sewot.
“Bukan, Vin! Bukan begitu,” bantah Andi cepat-cepat. Ia merasa salah bicara, “Maksudku kamu paling cantik dari wanita manapun juga. Istriku satu-satunya.”
‘Hmm gombal,” sungut Vina, walau di dalam hati merasa senang mendengar pujian dari suaminya, “ya sudah, ntar bantuin ya?”
“Ok, Sayang,” jawab Andi lega, karena pujaan hatinya tidak jadi marah.
Setibanya di rumah, Vina membuka belanjaannya. Ada udang, cabai hijau, cabai rawit hijau, cabai merah, tauco, gula merah, gula pasir, asam jawa, lengkuas, garam, sereh, jahe, tomat, minyak goreng, bawang merah, bawang putih, udang ebi dan daun salam.
Andi kebagian tugas untuk membuangi kepala udang dan ekor tajamnya. Ia juga mengiris tipis cabai hijau dan cabai merah. Hatinya senang membayangkan makan siang nanti dengan tauco udang kesukaannya.
“Ah, aku sangat beruntung memiliki istri yang pengertian. Untung saja dia mau belajar dari Mama,” katanya di dalam hati.
“Sudahlah, sekarang kamu duduk di depan saja,” imbau Vina sambil mulai menjerangkan wajan di atas kompor, “biar aku sendiri yang kerja di dapur.”
“Nggak ah, aku di sini saja. Biar bisa menikmati harum tauco udang masakan kamu.”
“Hmm, dasar maniak tauco.”
Vina menuang sedikit minyak goreng. Lalu mulai menumis bumbu giling bersama garam, gula pasir dan gula merah, air secukupnya, tomat, sereh, lengkuas, daun salam dan tauco. Setelah terasa harum, ia memasukkan cabai hijau yang telah diiris, baru giliran udang. Harum semerbak wangi tauco memenuhi dapur.
“Mas, kamu coba dulu. Rasakan apa yang kurang,” imbau Vina.
“Kurang manis. Tauconya juga tambah sedikit lagi.” Andi memberikan saran setelah mencicipi tauco udang itu. Dia memang paling doyan makan tauco udang, sehingga sangat peka terhadap rasa masakan itu dan mengerti apabila ada yang kurang pas rasanya.
“Ok, aku tambah,” ucap Vina seraya memasukkan irisan gula merah dan tauco ke dalam wajan.
Setelah diaduk beberapa menit, Vina bertanya lagi, “Nah, sekarang coba lagi ya.”
“Sudah cukup. Ueeenak tenan,” kata Andi setelah mencicipi lagi tauco udang masakan sang istri. Air liurnya serasa ingin menetes keluar. Ingin mencicipi lagi.
“Vin, kalau bisa cabainya dibikin lemas sedikit, biar lebih enak dimakan dan rasa pedasnya berkurang?” saran Andi lagi dengan mata tak berkedip memandang tauco udang yang sedang dimasak istrinya. Seakan ingin segera melahapnya.
“Memang kata Mama, cabai hijaunya harus dimasak sampai agak lemas,” sahut Vina seraya mengecilkan api kompor agar cabainya jadi lemas dan tidak membuat warna hijau menjadi kehitaman.
“Oh iya, aku suka banget cabai hijaunya,” kata Andi dengan pandangan mata tetap ke wajan. Andi memang tidak pernah menyisakan sepotong cabai pun di piring jika sedang makan tauco udang.
“Mas, sekarang kamu mandi. Aku goreng ayam dulu dan potong timun untuk melengkapi makan siang kita.”
“Vin, setelah mandi, kita langsung makan ya? Please deh,” bujuk Andi yang sudah tidak sabar untuk segera makan tauco udang.
Sejak saat itu, setiap dua kali dalam seminggu tauco udang terhidang di meja makan. Vina semakin mahir memasak tauco udang, sekarang masakannya terasa sangat istimewa. Dia memasak bagaikan seorang penyihir, lengkap dengan mantra yang bisa menyihir siapa saja yang makan tauco udang masakannya. Tidak hanya Andi yang mengatakan, tapi para tetangga yang pernah dikirimi juga mengatakan lezat sekali rasa tauco udang itu. Bahkan sang mertua pun mengakui kalau masakan Vina lebih enak dari masakannya. Dimakan bersama nasi enak sekali dan jika sebagai pelengkap untuk makan lontong juga sangat lezat.
Sejak pukul delapan pagi tadi, Andi terus memerhatikan Vina yang tidak berhenti mengatur dua orang asistennya menyiapkan pesanan-pesanan dari pembeli. Ya, sejak tiga bulan yang lalu Vina membuka usaha penjualan Lontong Medan Kak Vina di Pasar Lenggang Jakarta. Andi yang saat ini sudah pensiun dengan setia selalu mendampingi istri tercinta. | Cerpen Motivasi Sebuah Kisah Remaja Menuju Gerbang Pernikahan
Usia perkawinan Andi dan Vina sudah memasuki dua puluh lima tahun. Mereka dikaruniai tiga orang anak, satu putera dan dua puteri. Rumah tangga mereka tetap harmonis. Masakan tauco udang Vina seakan telah menjadi candu bagi keluarga, teman-teman dan siapa saja yang pernah mencicipi. Andi merasa sangat bersyukur memiliki istri yang bijaksana dan pengertian. Sampai kapanpun Andi tetap terpesona dengan masakan tauco udang sang istri.