Sehelai Daun Bawang Di Garis Depan

Ummi bilang esok adalah "Perjalanan Kembali".

Seluruh pengungsi akan menuju perbatasan. Aku pun sudah berjanji dengan Qassam dan Syamil untuk ikut gelombang besar itu. | Cerpen Islami Sehelai Daun Bawang Di Garis Depan 

Tujuannya hanya satu. Protes untuk bisa kembali ke tanah kami. Daratan yang menjadi saksi atas kami sebagai bangsa. Rumah di mana keluarga memulai segalanya. Lalu Israel dengan pongahnya mengusir kami.

Aku mungkin dilihat hanya sebagai manusia kecil tak berdaya. Nampak dari mungilnya tubuh, pakaian yang kian lusuh. Tapi, tentu tak pernah mereka sangka, jiwa macam apa yang ada dalam diriku dan saudara-saudara Palestinaku yang lain.

#####

Matahari mulai beranjak tinggi. Aku sudah berada di dalam rombongan sejak tadi. Menyisir barisan dari depan ke belakang. Tapi belum menemukan wujud Qassam dan Syamil. Kemana dua karibku itu? Mereka tidak mungkin lupa dengan janji kami untuk berangkat lebih pagi.

"Ayyash!" Suara itu mengejutkanku yah masih memandangi bayi Asha dalam pelukan abinya. Ia memandangiku dari tadi sambil melambaikan tangan.

Aku menoleh ke arah suara tadi, "Syamil! Dari mana saja kamu. Aku mencari di seluruh barisan rombongan ini. Tapi, tidak menemukanmu dan Qassam.

"Qassam tak sabar tadi menunggumu. Ia sudah duluan di depan sana," kata Syamil sambil tersenyum.

"Aah, dia mendahului kita. Ayo ke depan," kami berlari menerobos celah-celah rombongan.

Ini aksi damai. Bisa dilihat dari apa yang dibawa para ibu. Adalah anak-anak mereka. Hanya sebagian kecil ayah di barisan ini. Kenapa? Kebanyakan ayah sudah ditahan Israel dan sampai sekarang tidak diketahui nasibnya.

Kami sudah berada di bagian depan. Rombongan berhenti cukup jauh dari pagar pembatas. Kakak-kakak pejuang sudah membakar ban-ban untuk menghalangi pandangan tentara Israel di seberang pagar. Sepanjang perbatasan, asap hitam mengepul pekat.

Mengamati beberapa kakak yang mulai memutar tali pelontar batu. O iya. Ini hari libur. Pantas saja banyak sekali anak-anak seusiaku dan Qassam, Syamil serta kakak-kakak lainnya.

"Ayo Ayyash! Kamu bawa apa hari ini?" Syamil menarikku. Ia dengan bangga menunjukkan ketapel baru, "Ibuku membuatkan ini," menangkap bahagia di mata birunya.

"Kau maju duluan, Syamil. Aku akan memakai sesuatu dulu," ku rogoh kantong jaketku. Sebuah masker dan daun bawang.

#####

Abi berkata, intifadha pertama akan berlangsung dua hari lagi. Ia akan pergi bersama Khalid, kakak pertamaku. Lelaki dengan jenggot lebat dan gagah itu memandang tajam ke kedalaman mataku, "Abi titip Ummi dan Khaulah," ditepuknya pundakku. Aku mengangguk tegas.

Itulah terakhir kali aku melihat abi. Tapi, sebelumnya setiap kali pulang dari garis depan, Abi selalu menceritakan hal baru, "ingat-ingat selalu apa yang Abi sampaikan ini, Ayyash. Akan berguna bila kamu sudah siap menuju garis depan." | Cerpen Islami Sehelai Daun Bawang Di Garis Depan 

#####

Masker dan daun bawang. Kata Abi ini akan sangat membantu bila tentara mulai melemparkan gas air mata.

Aku menggunakan masker dan menyelipkan daun bawang di dalamnya. Di dekat situ seorang wartawan Al Jazeera mewawancarai seorang kakak pejuang, "saya selalu kesini bersama kawan-kawan di hari libur," ia memperlihatkan tali pelontar batu di tangannya.

"Untuk apa?"

"Kami memang bisa makan dan bekerja di sini. Tapi kami tidak punya kehidupan," kalimatnya semakin panjang dan remaja-remaja di sekitar wartawan itu berteriak mengiyakan.

Dadaku gemuruh. Kalimat kakak itu benar. Kehidupan kami ada di Gaza. Aku mendekati ban-ban yang telah menyala disertai asap gelap. Di genggamanku sudah ada beberapa batu. Beberapa kali para tentara melempar gas air mata. Saat itu teman-temanku dan yang lainnya segera menjauh. Sedangkan aku tetap di depan. Daun bawang ini sangat membantu.

Mengintip dicelah-celah asap. Ada tentara sniper di sana. Aku melihat ujung senapannya bergerak-gerak. Senjata itu terarah pada seorang anak lelaki yang berada lebih dekat dengan pagar.

Aku berteriak pada tubuh mungil terbungkus kaos bergaris itu. Tetapi kekacauan di garis depan ini meredam suaraku. Bergegas aku maju dan mengarahkan lemparan ke tempat persembunyian sang sniper. Batu pertama meleset. Segera kulempar batu kedua yang lebih besar. Darahku semakin laju. Batu itu melayang dan sniper itu tiba-tiba keluar dari persembunyiannya. Anak yang menjadi sasaran tembaknya tadi melihat ke arahku. Kuberi kode untuk menjauh dari pagar. Sembari aku juga berlari kembali ke balik asap hitam supaya tak terlihat.

"Qassam!!" Ku dengar jeritan Syamil. Beberapa kakak pejuang mengusung sesosok tubuh. Mereka mengarah ke sebuah ambulance.

"Syamil!" Ia menengok, "Kenapa?"

"Dia tertembak," tangannya menunjuk ke ambulance yang sudah membawa Qassam. Kemudian Syamil mendekatiku.

"Tenanglah. Dia akan baik-baik saja. Qassam itu sangat kuat," kataku menghibur. Sahabatku itu mengangguk mengedipkan matanya yang nampak sudah merah, "ayo kita lanjutkan! Bagaimana ketapelmu? Apa yang sudah dia lakukan?"

Wajahnya langsung cerah, "seorang tentara tadi dibawa pergi oleh teman-temannya. Ia terkena batu dari ketapelku. Aku tidak tahu bagian mana yang terkena batu. Tapi setidaknya mengurangi jumlah para penakut di seberang pagar," kami tertawa.

"Dan mereka semakin takut," kami berpandangan, mengangguk.

Tak bisa menyelamatkan Qassam. Tapi atas izin Allah, aku berhasil melindungi anak laki-laki tadi dari tembakan sniper.

Ini memang bukan perjuangan yang hanya sebentar.

Akan panjang dan melelahkan. Tapi, aku akan selalu di sini. Di garis depan. Bertemankan batu, masker dan daun bawang. Namaku Ayyash. | Cerpen Islami Sehelai Daun Bawang Di Garis Depan