Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 4

"Biasanya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."

Celetuk seseorang ketika menyadari aku masuk kelas.

Aku masih belum sadar kalau peribahasa itu ditujukan padaku. Aku berjalan santai menuju bangku tepat didepan meja guru. | Cerpen Sedih Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 4

"Tampangnya sih polos, gak tahu dalamnya ... Hancur." sahut yang lain. Kemudian terdengar suara tawa mereka serempak. Mereka berempat berkeliling duduk di pojok. Dan aku tahu, siapa mereka.

Nia, Ratih, Wulan dan Anggi. Sekelompok anggota cewek yang selalu suka ngerumpi, memamerkan kekayaan kedua orang tua mereka.

Tapi hari ini, pandangan mereka terus tertuju padaku. Apa mungkin mereka membicarakan aku tentang SPP-ku yang dilunasi Den Bagus?

"Ada gak sih orang nolong kalau gak ada maksudnya?" Nia berkata dengan suara agak dibesarkan supaya aku bisa mendengar.

Deg.

Benar apa yang kupikirkan? Tentang perkara kemarin rupanya.

Aku membiarkan mereka. Dan asyik membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan kemaren. Waktunya untuk dikembalikan makanya aku ingin membaca ulang supaya selalu ingat.

"Ya. Jelasnya pasti ada embel-embelnya. "

"Kalau enggak disuruh nyuci baju ya ditidurin..."
Sahut yang lain dan aku tak tahu siapa. Kemudian tawa mereka serempak menyusul.

Shitt!!

Tawa mereka meremas hati. Entah , mengapa badanku menggigil tiba-tiba. Buku teremas kuat ditangan.

"Orang kelakuan ibunya sama... Ya jelas anaknya juga sama." Ratih mencibir dengan nada yang menampar telak hatiku.

Brukk.

Buku aku banting keras ke meja. Aku berdiri kasar sampai kursi yang kududuki jatuh terjungkal ke belakang. Saat terdengar bunyi benda jatuh membuat tawa mereka berhenti seketika.

Mereka berempat memandangi dengan wajah terheran. Sebab baru kali ini, aku terlihat marah mendengar olokan mereka.

"Apa maksud perkataan kalian?"Aku bertanya dengan sedikit membentak. Mereka diam. Suasana kelas yang tadi ramai mendadak sepi. Bahkan mulai mencekam. Berpuluh mata menatap kami.

"Kiranna, " panggil Rita, teman kelas yang duduk di bangku sebelah. Menghampiri aku dan menepuk bahu, lembut. " udah, jangan diladeni!"

Aku diam. Tapi tanpa membuang tatapan marah pada mereka.

"Dia tidak terima perkataan kita," ejek Ratih tersenyum sinis. Memandangi dengan mata beloknya.

Dulu, aku memang takut pada Ratih, anak kepala desa. Karena aku tidak ada apa-apanya bila harus melawan olokan mereka.

Tapi, ini sudah diluar batas...

Mereka menghina ibuku. Perempuan satu-satunya yang aku hormati selain Simbah. Tidak bisa! Aku tidak terima.

"Lalu kamu mau apa?" tiba-tiba Wulan sudah berdiri di depan. Sedikit mendorong tubuh ini agak kasar. Aku terhuyung ke belakang. Untung saja ada Rita yang menahan tubuh.

"Mana ada perempuan yang pamitnya kerja bertahun- tahun, tapi pulang hanya bawa anak. Kalau tidak bekerja sebagai wanita nakal." seloroh Ratih di belakang.

Entah. Rasanya aku ingin melompat saat itu dan menampar mulutnya.

"Malu dikatain bekas anak pelacur!" Wulan menyunggingkan senyum mengolok.

Badanku gemetar. Tangan mengepal kuat. Mata terasa panas menyebabkan kabut di pandangan. Aku memejamkan mata. Beberapa bulir air bening jatuh di sudut mata. Terlintas bayangan wanita anggun penuh senyum.

Ibu. Ibu....

Rasanya aku ingin berlari memeluk ibu.

Entah. Rasanya tubuh terasa ringan. Tanpa sadar mendorong tubuh Wulan hingga menabrak meja. Lalu terjatuh di lantai. Dia mengaduh. Disusul jeritan teman seisi kelas.

Melangkah dengan cepat menuju seseorang. Ratih terkesiap. Mencoba berlari melindungi diri. Tapi tanganku lebih cepat menangkap lengannya. Cengkeraman tangan membuat dia menjerit memanggil guru.

"Kamu boleh menghinaku... Tapi jangan menghina ibuku. Dia bukan pelacur !" teriakku emosi. Dan melayang tamparan keras di pipinya.

___________________

"*Bocah edan!!" teriak Bulek menekan kasar kepalaku, " kok wani-wanine tumindak kasar karo anake pak lurah."

Aku menunduk. Pasrah mendapatkan perlakuan kasar.

"*Wes, Tum." cegah Simbah menampik tangan Bulek. Kemudian tangan keriputnya memeluk. Tangis yang berusaha aku tahan sedari tadi memberontak keluar. Menumpahkan sesak yang menghimpit dada.

Bulek melengos kasar, "*gara-gara mbok manja terus dadine yo nglunjak koyok ngeneki."

"Wes, ngaliyo." Simbah mengusir Bulek untuk pergi, "Kiranna urusanku dudu urusanmu. Dadi gak usah melok- melok."

"*Wes. Emboh !" teriak Bulek kesal keluar dari kamar, " urusono dewe putumu. Nek enek opo-opo. Ojo jaluk tulung aku. Aku emoh."

Masih terdengar suara Bulek dari arah luar. Bunyi suara tendangan kaki menghantam pintu lalu disusul suara TV hitam putih milik kami di depan ruang tamu. Benda terakhir kenangan dari ibuku.

"Kenapa kamu lakukan itu, Nduk?"

Aku menggigit bibir bawahku supaya isak tangis mereda.

"Mereka menghina ibuku," jawabku tersendat sendat.

Simbah diam. Menarik kepalaku supaya tertidur di pangkuan.

"Kenapa harus diladeni? Biarkan saja yang penting kita gak merugikan orang lain." Simbah mengelus rambutku.

Aku gemetar menahan nyeri di ulu hati. Sakit. Saat mengingat perkataan mereka. Lebih baik aku di tampar berkali-kali daripada aku mendengar kata-kata yang membuat hatiku mati menahan sakit tak terbekas.

"Mereka menghina ibuku. Aku tidak terima. Ibuku bukan pelacur..."

Dan tangis itu mengerang hebat. Melihatkan bahwa sipunya tak mampu menahan lagi sakitnya.

Setetes air jatuh membasahi pipi. Aku melihat Simbah menangis terpejam. Bibirnya gemetar menahan tangis.

"Biarkan saja. Mereka bilang apa karena kita tahu sendiri kebenarannya." Simbah mendongakkan kepala bermaksud untuk menghentikan airmatanya yang jatuh tanpa bisa dicegah.

"Aku tidak terima, Mbah. Ibuku dihina seperti itu."

"Semakin kamu menunjukkan kebenaran itu semakin kamu akan mendapatkan sakitnya. Biarkan kebenaran itu akan mencari jalan sendiri untuk mengungkapkan keberadaannya."

Aku menangis. Mengingat ibu. Senyum ibu yang menenangkan seperti halnya kata-kata Simbah. Entah. Lelah. Entah mengatuk. Hingga aku terlelap dipangkuan Simbah.

________________

"Keluarkan anak ini.!" perintah Pak Lurah marah didepan wali kelas. Di ruangan itu ada Simbah yang menggenggam erat tangan. Saat ini kami berada di ruang kepala sekolah.

"Tidak bisa begitu, Pak!" Bu Saski menentang, "Biarpun saya tidak membenarkan tindakan kekerasan yang Kiranna lakukan. Hanya masalah seperti ini harus dikeluarkan, itu hukuman yang gak adil menurut saya."

"Gak adil, bagaimana?"

"Kiranna melakukan hal tersebut pasti ada alasannya."

"Lalu alasan apa hingga membuat anak ini melakukan kekerasan pada anak saya?"

Pak Lurah menatapku tajam. Ada rasa segan dan takut saat aku mencoba membalas tatapan beliau. Mata itu kian melebar saat kami bertemu pandang. Segera kutundukkan wajah. Takut.

"Kiranna, " panggil Bu Saski mendekati. Aku menoleh, "coba kasih penjelasan pada kami, kenapa kamu bisa melakukan kekerasan itu?"

Aku menunduk, " mereka mengatakan ibuku wanita murahan."

"Kalau bukan wanita murahan. Kenapa kamu harus marah?" bentak Pak Lurah.

Aku sedikit terkejut dengan tanggapan beliau. Tidak ada rasa simpati sama sekali. Aku kira beliau akan mengerti akan kemarahanku. Mendadak sakit yang masih belum hilang itu timbul dan meletup-letup lagi.

"Karena saya gak suka ibu saya dihina seperti itu." Aku membalas bentakan beliau dengan kalimat penuh penekanan. Bu Saski mengelus bahu pertanda bahwa emosiku perlu dikendalikan.

Aku mengembuskan napas perlahan. Menenangkan gemuruh yang mulai meletup kembali.

"Kamu masih kecil sudah mulai bicara kasar sama orang lebih tua." Pak Lurah melirikku sinis. Berdiri dari duduknya, berkacak pinggang sambil menunjuk tepat di muka, " saya tidak mau tahu. Anak ini harus dikeluarkan. "

Bapak kepala sekolah hanya manggut-manggut. Seolah mengiyakan atas keinginan dari Pak Lurah. Simbah yang sedari tadi cuma bisa menggenggam tangan. Menjatuhkan tubuhnya dihadapan Pak Lurah. Berlutut sambil memegangi jemari beliau.

"Jangan lakukan ini pada cucu saya, Pak." pinta Simbah menangis, terisak.

Hatiku teremas. Ngilu mendengar ratapan tangis Simbah.

"Mbah, gak usah seperti ini? Kiranna gak apa kalau harus keluar." Aku mengajak Simbah bangkit tapi ditolak.

"Simbah minta maaf atas kesalahan cucu saya. Simbah mohon, jangan keluarkan dia!"

Pak Lurah menepis tangan Simbah, "gak bisa. Anak itu harus dikeluarkan."

Mendengar keputusan dari Pak Lurah, Simbah menangis kencang. Hingga Simbah gak kuat menahan tubuhnya, terkulai lemas. Sesak rasanya melihat Simbah menangis seperti itu. Aku membiarkan Simbah bersandar pada tubuh.

"Saya rasa pemimpin itu akan berlaku adil tanpa memihak siapa yang salah dan benar. Hanya saja saat ini, saya belum menemukan contoh seorang pemimpin seperti itu." Aku berkata dengan menatap Pak Lurah tajam.

"Lancang mulut kamu!" bentak Pak Lurah marah. Mencoba mengayunkan tangan ke arah ku. Tapi tertahan oleh tangan Bu Saski.

"Bapak kendalikan emosi." Guru berlengsu pipi sebelah itu menggelengkan kepala mengisyaratkan bahwa itu tindakan tak baik, " Kiranna jaga perkataanmu."

"Pokoknya aku tidak mau tahu, anak ini harus dikeluarkan kalau bisa sekalian keluar dari wilayah ini." bentak Pak Lurah marah.

Seseorang berdehem keras dan serasa memang dibuat-buat dari arah pintu masuk. Dan kukenal siapa pemiliknya.

"Siapa yang berani mengusir Kiranna dari wilayah ini, mari berhadapan denganku di meja hijau."

Serempak kami menoleh melihat dia berdiri di depan pintu dengan tenangnya.

Jangan lupa krisannya...

*anak gila, beraninya kamu berbuat kasar sama anak Pak Lurah
*udah thum
*gara-gara dimanja terus makanya nakal kayak gini
*sudah pergi kamu, kiranna bukan urusanmu dia urusanku. Gak usah ikut- ikut.
*terserah urusi cucumu sendiri. Kalau ada apa-apa jangan panggil aku. Gak sudi

"Biasanya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya."

Celetuk seseorang ketika menyadari aku masuk kelas. Aku masih belum sadar kalau peribahasa itu ditujukan padaku. Aku berjalan santai menuju bangku tepat didepan meja guru.

"Tampangnya sih polos, gak tahu dalamnya ... Hancur." sahut yang lain. Kemudian terdengar suara tawa mereka serempak. Mereka berempat berkeliling duduk di pojok. Dan aku tahu, siapa mereka.

Nia, Ratih, Wulan dan Anggi. Sekelompok anggota cewek yang selalu suka ngerumpi, memamerkan kekayaan kedua orang tua mereka.

Tapi hari ini, pandangan mereka terus tertuju padaku. Apa mungkin mereka membicarakan aku tentang SPP-ku yang dilunasi Den Bagus?

"Ada gak sih orang nolong kalau gak ada maksudnya?" Nia berkata dengan suara agak dibesarkan supaya aku bisa mendengar.

Deg.

Benar apa yang kupikirkan? Tentang perkara kemarin rupanya.

Aku membiarkan mereka. | Cerpen Sedih Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 4

Dan asyik membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan kemaren. Waktunya untuk dikembalikan makanya aku ingin membaca ulang supaya selalu ingat.

"Ya. Jelasnya pasti ada embel-embelnya. "

"Kalau enggak disuruh nyuci baju ya ditidurin..."
Sahut yang lain dan aku tak tahu siapa.

Kemudian tawa mereka serempak menyusul.

Shitt!!

Tawa mereka meremas hati. Entah , mengapa badanku menggigil tiba-tiba. Buku teremas kuat ditangan.

"Orang kelakuan ibunya sama... Ya jelas anaknya juga sama." Ratih mencibir dengan nada yang menampar telak hatiku.

Brukk.

Buku aku banting keras ke meja. Aku berdiri kasar sampai kursi yang kududuki jatuh terjungkal ke belakang. Saat terdengar bunyi benda jatuh membuat tawa mereka berhenti seketika.

Mereka berempat memandangi dengan wajah terheran. Sebab baru kali ini, aku terlihat marah mendengar olokan mereka.

"Apa maksud perkataan kalian?"Aku bertanya dengan sedikit membentak. Mereka diam. Suasana kelas yang tadi ramai mendadak sepi. Bahkan mulai mencekam. Berpuluh mata menatap kami.

"Kiranna, " panggil Rita, teman kelas yang duduk di bangku sebelah. Menghampiri aku dan menepuk bahu, lembut. " udah, jangan diladeni!"

Aku diam. Tapi tanpa membuang tatapan marah pada mereka.

"Dia tidak terima perkataan kita," ejek Ratih tersenyum sinis. Memandangi dengan mata beloknya.

Dulu, aku memang takut pada Ratih, anak kepala desa. Karena aku tidak ada apa-apanya bila harus melawan olokan mereka.

Tapi, ini sudah diluar batas...

Mereka menghina ibuku. Perempuan satu-satunya yang aku hormati selain Simbah. Tidak bisa! Aku tidak terima.

"Lalu kamu mau apa?" tiba-tiba Wulan sudah berdiri di depan. Sedikit mendorong tubuh ini agak kasar. Aku terhuyung ke belakang. Untung saja ada Rita yang menahan tubuh.

"Mana ada perempuan yang pamitnya kerja bertahun- tahun, tapi pulang hanya bawa anak. Kalau tidak bekerja sebagai wanita nakal." seloroh Ratih di belakang.

Entah. Rasanya aku ingin melompat saat itu dan menampar mulutnya.

"Malu dikatain bekas anak pelacur!" Wulan menyunggingkan senyum mengolok.

Badanku gemetar. Tangan mengepal kuat. Mata terasa panas menyebabkan kabut di pandangan. Aku memejamkan mata. Beberapa bulir air bening jatuh di sudut mata. Terlintas bayangan wanita anggun penuh senyum.

Ibu. Ibu....

Rasanya aku ingin berlari memeluk ibu.

Entah. Rasanya tubuh terasa ringan. Tanpa sadar mendorong tubuh Wulan hingga menabrak meja. Lalu terjatuh di lantai. Dia mengaduh. Disusul jeritan teman seisi kelas.

Melangkah dengan cepat menuju seseorang. Ratih terkesiap. Mencoba berlari melindungi diri. Tapi tanganku lebih cepat menangkap lengannya. Cengkeraman tangan membuat dia menjerit memanggil guru.

"Kamu boleh menghinaku... Tapi jangan menghina ibuku. Dia bukan pelacur !" teriakku emosi. Dan melayang tamparan keras di pipinya.

___________________

"*Bocah edan!!" teriak Bulek menekan kasar kepalaku, " kok wani-wanine tumindak kasar karo anake pak lurah."

Aku menunduk. Pasrah mendapatkan perlakuan kasar.

"*Wes, Tum." cegah Simbah menampik tangan Bulek. Kemudian tangan keriputnya memeluk. Tangis yang berusaha aku tahan sedari tadi memberontak keluar. Menumpahkan sesak yang menghimpit dada.

Bulek melengos kasar, "*gara-gara mbok manja terus dadine yo nglunjak koyok ngeneki."

"Wes, ngaliyo." Simbah mengusir Bulek untuk pergi, "Kiranna urusanku dudu urusanmu. Dadi gak usah melok- melok."

"*Wes. Emboh !" teriak Bulek kesal keluar dari kamar, " urusono dewe putumu. Nek enek opo-opo. Ojo jaluk tulung aku. Aku emoh."

Masih terdengar suara Bulek dari arah luar. Bunyi suara tendangan kaki menghantam pintu lalu disusul suara TV hitam putih milik kami di depan ruang tamu. Benda terakhir kenangan dari ibuku.

"Kenapa kamu lakukan itu, Nduk?"

Aku menggigit bibir bawahku supaya isak tangis mereda.

"Mereka menghina ibuku," jawabku tersendat sendat.

Simbah diam. Menarik kepalaku supaya tertidur di pangkuan.

"Kenapa harus diladeni? Biarkan saja yang penting kita gak merugikan orang lain." Simbah mengelus rambutku.

Aku gemetar menahan nyeri di ulu hati. Sakit. Saat mengingat perkataan mereka. Lebih baik aku di tampar berkali-kali daripada aku mendengar kata-kata yang membuat hatiku mati menahan sakit tak terbekas.

"Mereka menghina ibuku. Aku tidak terima. Ibuku bukan pelacur..."

Dan tangis itu mengerang hebat. Melihatkan bahwa sipunya tak mampu menahan lagi sakitnya.

Setetes air jatuh membasahi pipi. Aku melihat Simbah menangis terpejam. Bibirnya gemetar menahan tangis.

"Biarkan saja. Mereka bilang apa karena kita tahu sendiri kebenarannya." Simbah mendongakkan kepala bermaksud untuk menghentikan airmatanya yang jatuh tanpa bisa dicegah.

"Aku tidak terima, Mbah. Ibuku dihina seperti itu."

"Semakin kamu menunjukkan kebenaran itu semakin kamu akan mendapatkan sakitnya. Biarkan kebenaran itu akan mencari jalan sendiri untuk mengungkapkan keberadaannya."

Aku menangis. Mengingat ibu. Senyum ibu yang menenangkan seperti halnya kata-kata Simbah. Entah. Lelah. Entah mengatuk. Hingga aku terlelap dipangkuan Simbah.

________________

"Keluarkan anak ini.!" perintah Pak Lurah marah didepan wali kelas. Di ruangan itu ada Simbah yang menggenggam erat tangan. Saat ini kami berada di ruang kepala sekolah.

"Tidak bisa begitu, Pak!" Bu Saski menentang, "Biarpun saya tidak membenarkan tindakan kekerasan yang Kiranna lakukan. Hanya masalah seperti ini harus dikeluarkan, itu hukuman yang gak adil menurut saya."

"Gak adil, bagaimana?"

"Kiranna melakukan hal tersebut pasti ada alasannya."

"Lalu alasan apa hingga membuat anak ini melakukan kekerasan pada anak saya?"

Pak Lurah menatapku tajam. Ada rasa segan dan takut saat aku mencoba membalas tatapan beliau. Mata itu kian melebar saat kami bertemu pandang. Segera kutundukkan wajah. Takut.

"Kiranna, " panggil Bu Saski mendekati. Aku menoleh, "coba kasih penjelasan pada kami, kenapa kamu bisa melakukan kekerasan itu?"

Aku menunduk, " mereka mengatakan ibuku wanita murahan."

"Kalau bukan wanita murahan. Kenapa kamu harus marah?" bentak Pak Lurah.

Aku sedikit terkejut dengan tanggapan beliau. Tidak ada rasa simpati sama sekali. Aku kira beliau akan mengerti akan kemarahanku. Mendadak sakit yang masih belum hilang itu timbul dan meletup-letup lagi.

"Karena saya gak suka ibu saya dihina seperti itu." Aku membalas bentakan beliau dengan kalimat penuh penekanan. Bu Saski mengelus bahu pertanda bahwa emosiku perlu dikendalikan.

Aku mengembuskan napas perlahan. Menenangkan gemuruh yang mulai meletup kembali.

"Kamu masih kecil sudah mulai bicara kasar sama orang lebih tua." Pak Lurah melirikku sinis. Berdiri dari duduknya, berkacak pinggang sambil menunjuk tepat di muka, " saya tidak mau tahu. Anak ini harus dikeluarkan. "

Bapak kepala sekolah hanya manggut-manggut. Seolah mengiyakan atas keinginan dari Pak Lurah. Simbah yang sedari tadi cuma bisa menggenggam tangan. Menjatuhkan tubuhnya dihadapan Pak Lurah. Berlutut sambil memegangi jemari beliau.

"Jangan lakukan ini pada cucu saya, Pak." pinta Simbah menangis, terisak.

Hatiku teremas. Ngilu mendengar ratapan tangis Simbah.

"Mbah, gak usah seperti ini? Kiranna gak apa kalau harus keluar." Aku mengajak Simbah bangkit tapi ditolak.

"Simbah minta maaf atas kesalahan cucu saya. Simbah mohon, jangan keluarkan dia!"

Pak Lurah menepis tangan Simbah, "gak bisa. Anak itu harus dikeluarkan."

Mendengar keputusan dari Pak Lurah, Simbah menangis kencang. Hingga Simbah gak kuat menahan tubuhnya, terkulai lemas. Sesak rasanya melihat Simbah menangis seperti itu. Aku membiarkan Simbah bersandar pada tubuh.

"Saya rasa pemimpin itu akan berlaku adil tanpa memihak siapa yang salah dan benar. Hanya saja saat ini, saya belum menemukan contoh seorang pemimpin seperti itu." Aku berkata dengan menatap Pak Lurah tajam.

"Lancang mulut kamu!" bentak Pak Lurah marah. Mencoba mengayunkan tangan ke arah ku. Tapi tertahan oleh tangan Bu Saski.

"Bapak kendalikan emosi." Guru berlengsu pipi sebelah itu menggelengkan kepala mengisyaratkan bahwa itu tindakan tak baik, " Kiranna jaga perkataanmu."

"Pokoknya aku tidak mau tahu, anak ini harus dikeluarkan kalau bisa sekalian keluar dari wilayah ini." bentak Pak Lurah marah.

Seseorang berdehem keras dan serasa memang dibuat-buat dari arah pintu masuk. Dan kukenal siapa pemiliknya.

"Siapa yang berani mengusir Kiranna dari wilayah ini, mari berhadapan denganku di meja hijau."

Serempak kami menoleh melihat dia berdiri di depan pintu dengan tenangnya.

Jangan lupa krisannya...

*anak gila, beraninya kamu berbuat kasar sama anak Pak Lurah
*udah thum
*gara-gara dimanja terus makanya nakal kayak gini
*sudah pergi kamu, kiranna bukan urusanmu dia urusanku. Gak usah ikut- ikut.
*terserah urusi cucumu sendiri. | Cerpen Sedih Jangan Menangis Air Mata Membasahi Kirana Part 4

Kalau ada apa-apa jangan panggil aku. Gak sudi

- Bersambung -