Baru ingin menggerakkan bibir ini untuk menjawab, ponsel selular tiba-tiba berdering. Lekas, aku mengelap tangan. Tanpa nama. Nomer baru yang panggil. | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami Part 4
"Diangkat, Mas. Siapa?" Laura bertanya. Aku mengangkat bahu.
"Nomer baru."
"Coba aja diangkat. Siapa tau penting." Laura memberi usul. Aku turuti.
"Maaf, Pak. Apa benar ini dengan Pak Zain Rahmadi?" Suara wanitanya terdengar lembut. Aku mengerut dahi.
"Iya. Ini saya orangnya. Ini sama siapa?" Dahi masih berkerut saat aku bertanya. Dahi Laura juga ikut-ikutan mengerut.
"Siapa, Mas?" Laura lagi-lagi bertanya. Aku menggeleng.
"Bapak, kalau bisa secepatnya ke rumahsakit Dr. Nyak Arief." Secepatnya panggilan dimatikan. Tanpa pemberitahuan yang jelas. Sedikit ragu untuk mempercayainya. Lantas, aku ke pintu utama.
"Mas, siapa sih tadi?" Laura kembali bertanya. Aku membalikkan badan.
"Katanya, aku disuruh ke rumah sakit, secepatnya."
"Siapa yang sakit?"
"Entah."
"Bagaimana kalo kita ke sana sekarang? Siapa tau ini sangat penting." Usulan Laura sedikit membuatku merinding. Diri ini hanya membayangkan Kartika di luar sana. Pikiran ini bertanya-tanya. Apa mungkin ia kecelakaan?
"Humaira bagaimana?"
"Udah. Jangan khawatir. Anak kita masih lelap. Aku ganti baju dulu, Mas." Sekejap Laura bergegas.
***
Untuk menuju rumah sakit yang dimaksud, aku harus melewati jalan raya. Banyaknya kendaraan membuat perjalanan jadi macet. Lima menit setelahnya motor kami baru sukses melewati gang kecil yang ternyata membuat perjalanan kami sedikit terganggu. Hingga, kami baru berhasil tiba di rumah sakit 15 menit setelahnya.
"Ada pasien yang namanya Kartika Wulan Sari?" tanyaku pada perawat petugas piket. Baju yang terpakai sedikit terlihat lengket di kulit. Bagaimana tidak, pikiran yang tidak tenang seperti ini membuat tubuh memompa cairannya untuk keluar.
"Sebentar, Pak." Seorang perawat memberitahu. Terlihat tangannya membolak-balik lembaran di depannya. Tanpa berkedip, perawat berkacamata itu nampak serius dengan tugasnya.
Ia mengangkat dagu. Lalu, menurunkan sedikit kacamata.
"Tidak ada. Maaf, Pak. Apa Bapak menerima panggilan dari pihak rumah sakit ini?" Dahi perawat itu mengerut. Aku menatap Laura.
"Tidak ada keterangan jelas. Tapi, saya di suruh ke rumah sakit ini secepatnya," jelasku.
"Yakin rumah sakit ini, Pak?"
"Ini rumahsakit Dr. Nyak Arief, kan?"
"Iya."
"Ya sudah. Kami permisi." Secepatnya aku menarik lengan Laura ke tempat parkir. Lantas, secepatnya balik ke rumah.
***
Baru di pagar rumah, pemandangan tak enak, cukup mendebarkan dada ini. Beberapa warga ikut memenuhi beranda rumah. Pintu utama terbuka. Sedikit kupaksa cepat langkah ini masuk ke dalam. Di kursi itu, Kartika tertunduk lemah dengan tumpahan air mata. Seseorang wanita tetangga mengelus-elus bahu istriku itu.
"Ada apa ini?" tanyaku. Sontak, Kartika bangkit. Lantas, memeluk diri ini.
"Mas, kenapa kamu pergi tidak bawa anak kita?" Kartika sesegukan. Aku melepas pelukannya. Sekejap ke ruangan buah hati kami. Laura juga ke sana.
Kosong. Tempat tidur buah hati kami benar-benar kosong. Kemana bayi kami? Tak tertahankan, mata ini jadi berkaca-kaca. Namun, kucoba menahannya agar tak tumpah.
"Humairaaa." Laura bergegas ke tempat tidur. Ia juga terlihat syok. Lalu, ia berkata, "Maafkan aku, Mas. Ini salahku. Maafkan aku." Sambil melutut ia menumpahkan air mata.
Entah berapa bulir. Air mata Laura juga ikut membasahi pipinya. Sesaat kami saling bertatapan. Menatap serius ke arah wanita mualaf yang sudah kunikahi itu. | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami Part 4
"Diangkat, Mas. Siapa?" Laura bertanya. Aku mengangkat bahu.
"Nomer baru."
"Coba aja diangkat. Siapa tau penting." Laura memberi usul. Aku turuti.
"Maaf, Pak. Apa benar ini dengan Pak Zain Rahmadi?" Suara wanitanya terdengar lembut. Aku mengerut dahi.
"Iya. Ini saya orangnya. Ini sama siapa?" Dahi masih berkerut saat aku bertanya. Dahi Laura juga ikut-ikutan mengerut.
"Siapa, Mas?" Laura lagi-lagi bertanya. Aku menggeleng.
"Bapak, kalau bisa secepatnya ke rumahsakit Dr. Nyak Arief." Secepatnya panggilan dimatikan. Tanpa pemberitahuan yang jelas. Sedikit ragu untuk mempercayainya. Lantas, aku ke pintu utama.
"Mas, siapa sih tadi?" Laura kembali bertanya. Aku membalikkan badan.
"Katanya, aku disuruh ke rumah sakit, secepatnya."
"Siapa yang sakit?"
"Entah."
"Bagaimana kalo kita ke sana sekarang? Siapa tau ini sangat penting." Usulan Laura sedikit membuatku merinding. Diri ini hanya membayangkan Kartika di luar sana. Pikiran ini bertanya-tanya. Apa mungkin ia kecelakaan?
"Humaira bagaimana?"
"Udah. Jangan khawatir. Anak kita masih lelap. Aku ganti baju dulu, Mas." Sekejap Laura bergegas.
***
Untuk menuju rumah sakit yang dimaksud, aku harus melewati jalan raya. Banyaknya kendaraan membuat perjalanan jadi macet. Lima menit setelahnya motor kami baru sukses melewati gang kecil yang ternyata membuat perjalanan kami sedikit terganggu. Hingga, kami baru berhasil tiba di rumah sakit 15 menit setelahnya.
"Ada pasien yang namanya Kartika Wulan Sari?" tanyaku pada perawat petugas piket. Baju yang terpakai sedikit terlihat lengket di kulit. Bagaimana tidak, pikiran yang tidak tenang seperti ini membuat tubuh memompa cairannya untuk keluar.
"Sebentar, Pak." Seorang perawat memberitahu. Terlihat tangannya membolak-balik lembaran di depannya. Tanpa berkedip, perawat berkacamata itu nampak serius dengan tugasnya.
Ia mengangkat dagu. Lalu, menurunkan sedikit kacamata.
"Tidak ada. Maaf, Pak. Apa Bapak menerima panggilan dari pihak rumah sakit ini?" Dahi perawat itu mengerut. Aku menatap Laura.
"Tidak ada keterangan jelas. Tapi, saya di suruh ke rumah sakit ini secepatnya," jelasku.
"Yakin rumah sakit ini, Pak?"
"Ini rumahsakit Dr. Nyak Arief, kan?"
"Iya."
"Ya sudah. Kami permisi." Secepatnya aku menarik lengan Laura ke tempat parkir. Lantas, secepatnya balik ke rumah.
***
Baru di pagar rumah, pemandangan tak enak, cukup mendebarkan dada ini. Beberapa warga ikut memenuhi beranda rumah. Pintu utama terbuka. Sedikit kupaksa cepat langkah ini masuk ke dalam. Di kursi itu, Kartika tertunduk lemah dengan tumpahan air mata. Seseorang wanita tetangga mengelus-elus bahu istriku itu.
"Ada apa ini?" tanyaku. Sontak, Kartika bangkit. Lantas, memeluk diri ini.
"Mas, kenapa kamu pergi tidak bawa anak kita?" Kartika sesegukan. Aku melepas pelukannya. Sekejap ke ruangan buah hati kami. Laura juga ke sana.
Kosong. Tempat tidur buah hati kami benar-benar kosong. Kemana bayi kami? Tak tertahankan, mata ini jadi berkaca-kaca. Namun, kucoba menahannya agar tak tumpah.
"Humairaaa." Laura bergegas ke tempat tidur. Ia juga terlihat syok. Lalu, ia berkata, "Maafkan aku, Mas. Ini salahku. Maafkan aku." Sambil melutut ia menumpahkan air mata.
Entah berapa bulir. Air mata Laura juga ikut membasahi pipinya. Sesaat kami saling bertatapan. Menatap serius ke arah wanita mualaf yang sudah kunikahi itu. | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami Part 4
Pikiran ini mulai dibayang-bayangi rasa yang tak baik kepada Laura.
- Bersambung -