Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 12

Hakikat mencintai adalah rela untuk bahagia dengan membahagiakan orang lain.
*** | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 12

"Aku telah putus cinta dengan rindu,
dan hati telah bersiap untuk cinta yang baru.
Kamu. Iya, kamu."

Khai mengetik caption untuk foto yang baru ia upload di instagramnya. Foto wajah khas timur tengahnya yang setengah tertutup topi sedang asyik memetik gitar ibaneznya. Topi hitam dengan inisial K berwarna putih itu sempurna menyamarkan wajah penyanyi dan penulis lagu yang sedang naik daun itu.

Baru satu menit fotonya tayang di instagram pribadinya, ratusan netizen sudah menyerbunya dengan like dan komen. Mayoritas komen berisi kebaperan mereka baik pada foto Khai maupun pada status yang di tulisnya. Sejam kemudian saat like di fotonya sudah mencapai tiga ribu, lelaki berjambang tipis itu membagikan postingannya pada link facebook-nya. Dan hal yang sama terjadi. Postingannya tak berhenti dari serbuan penggemar. Bukan sekadar like atau komen basa basi, tapi juga tak sedikit dari mereka ikut emosi dan penasaran tentang cinta baru Khai.

Khai menikmati setiap komen dengan senyum dan sesekali tawa kecil. Konyol! Khai merasa mendapat hiburan menyenangkan membaca komentar penggemarnya yang begitu emosional tentang sosok cinta barunya. Itu konyol menurutnya. Bagaimana seorang perempuan mudah jatuh cinta lalu cemburu padanya tanpa tahu seperti apa dirinya. Konyol yang menyenangkan, pikirnya.

Bahkan beberapa penggemar ada yang pernah tahu Khai yang begitu temperamental, kadang merokok, kadang main perempuan meski hanya sekedar jalan tanpa ikatan, tanpa keintiman. Mereka tahu dan mereka tetap mengejar-ngejarnya. Bukankah itu Konyol? Khai tersenyum lagi. Ia menutup gawainya. Ia tak bermaksud membalas komentar penggemarnya saat itu, biarlah menjadi tanda tanya besar siapa cinta barunya.

Khai sudah berjanji pada Ananta tak akan menyebut nama Kekasih lagi di depan penggemarnya. Biarlah kali ini Keka ia simpan sendiri bersama rasa berbunga-bunga di hatinya. Bunga cintanya yang bersemi kembali setelah kedatangan Ananta tempo hari, biarlah wanginya ia cumbu sendiri kali ini. Ia tak akan menjadikan hubungan pribadinya sebagai konsumsi publik lagi.

Ia belajar banyak dari kejadian putusnya hubungan dengan Keka kemarin. Ia terlalu banyak mengumbar kisah cintanya di dunia maya, ia terlena pada hingar bingar dunia maya yang mengelukan namanya. Ia lupa menjaga cintanya di dunia nyata. Ia abai pada sekeping rasa yang nyata di dunia realita.

Pertemuannya dengan kakak gadis itu memberi napas baru, ia merasa hidup kembali. Merasa merengkuh restu langit dan bumi. Ada harapan terbentang luas untuk meraih kembali cintanya yang hilang, mengobati rindunya yang menggila.

Malam minggu keempat di bulan ini. Maret akan segera ditinggalkan, dan semua kisah pilu itu akan selesai. Khai ingin mengakhiri petualangannya. Ia mulai berpikir tentang pernikahan. Tentang masa depan. Tentang menjaga komitmen, tentang mencintai sampai tua.

Dua malam lalu ada kejadian luar biasa di rumah dan itu menjadi salah satu titik balik bagi lelaki berambut lurus itu untuk memutar balik mindset-nya.

Khai terbangun tengah malam saat ibu menggedor pintu kamar karena ayah tiba-tiba pingsan.

Khai masih setengah sadar saat melihat ayahnya tak sadarkan diri di sofa. Dengan cekatan, putra kedua dari keluarga Shinatriya itu melarikan ayah ke rumah sakit terdekat. Jarak dari rumah hanya sekira 8 kilometer namun bagi Khai malam itu perjalanan terasa jauh sekali.

Ibu menelpon Kahfi, kakak Khai yang bekerja di pertambangan batubara diluar pulau. Perlu waktu seharian untuk sampai ke Batam itu pun jika mendapat tiket pesawat dengan penerbangan pertama besok pagi. Tak bisa diandalkan. Khai merasa kakak lelakinya menjaga jarak sejak ayah menikah lagi.

Ibu yang duduk menangisi ayah itu memang bukan ibu kandung Khai. Namun Khai menghormatinya. Bukan saja karena ibu menjaga ayah dengan baik selepas ibu kandungnya meninggal delapan belas tahun lalu. Tapi juga karena dari pernikahan kedua ini Khai mendapat seorang adik perempuan yang menggemaskan, Kheysa. Rakheysa Shinatriya.

Gadis lima belas tahun itu sejak kecil dekat dengan Khai. Gadis kecil yang manja. Menjadi pelipur bagi sepinya Khai. Sepi karena dunia bagai memusuhi Khai sejak ibu pergi. Ayah sibuk dengan usaha bengkelnya yang sudah memiliki tiga cabang di pusat kota Batam. Kakaknya memilih merantau selepas ayah menikah lagi. Khai bagai layang-layang putus, melayang tanpa arah. Hingga Kheysa lahir, ia merasa memiliki teman. Seseorang yang membutuhkannya.

Lalu ingatannya terbang pada sore itu dimana Echa--panggilan Kheysa-- ikut mendengar percakapannya dengan Keka di telepon.

"Halooohaaa," Kheysa merebut gawai Khai dan langsung berbicara di ujungnya.

"Haiii haiii, capa nih? " sapa Keka, ceria.

"Aku Echa pada bass, adek manjanya Khai pada gitar. "

"Oww, aku Keka pada bingung." Mereka tertawa bersama.

"Kak, jangan minta putus ya."

"Putus apa Cha?"

"Putus dari Bangkai."

"Bangkai?"

"Iya, Bang Khaiiii yang menyebalkan," Keysa tergelak. Gigi kelincinya terlihat berbaris. Khai tak tinggal diam diolok-olok adik manjanya, ia langsung menarik rambut Kheysa yang di kepang dua. Anak SMP di tahun akhir itu menjerit kesakitan. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 12

"Tuh kan bener Bangkai menyebalkan! Sakit tau! "

"Udah sini hape abang! " Khai memerintah.

"Belum! Tunggu! " Keysa mengelak, "Kaaak, bertahanlah aku tahu pasti berat jadi pacar abang, tapi bertahanlah. Demi aku si gadis kecil manis yaaa."

"Entahlah, aku pikir-pikir dulu ya adek kecil manis. "

"Jangan dipikirkan Kak, nanti sakit palanya. Bangkai memang ahli bikin sakit kepala." Kheysa manggut-manggut ala orang tua.

"Cha! "Khai merebut paksa gawainya.

"Kakeeeekaaaa! " Kheysa masih berusaha bicara pada Keka meskipun gawai sudah berpindah di tangan abangnya. "Lafyuu Kaa." Kheysa sengaja menjerit di telinga Khai. Lelaki itu menjepit hidung adiknya, gemas.

"Sonoooo, ganggu olang pacalan aja! " Khai mengibaskan tangan mengusir adik yang wajahnya seiras dengan Khai. Wajah khas timur tengah dengan hidung bangir, mata bulat, dan kulit cokelat terang.

Kenangan itu hangatnya masih terasa hingga sekarang. Bahkan Kheysa tak tahu ada prahara terjadi antara ia dan Keka dua bulan ini. Pikirnya mereka baik-baik saja, hanya Khai yang semakin sibuk dengan jadwal manggungnya hingga tak terdengar lagi keseruan mereka bertelpon di pagi atau di malam-malamnya seperti biasa.

"Hypoglikemia!" Dokter berambut putih itu menerangkan kondisi Ayah. Menurunnya kadar glukosa dalam tubuh Ayah mengakibatkan lelaki berdarah Pakistan itu kehilangan kesadaran. Ayah memang mengidap diabetes sejak dua tahun lalu. Tapi baru kali ini kondisinya drop hingga hilang kesadaran.
Malam itu Khai kembali bersujud di sepertiga malam terakhir. Lama sekali ia melupakan kebiasaan tahajud. Ia memohon sungguh-sungguh agar Allah menangguhkan waktu perpisahan bagi ayah. Masih banyak yang ingin ia berikan pada Ayah sebagai tanda cintanya. Salah satunya adalah cucu yang sehat dan menggemaskan sebagai penerus keluarga Shinatriya.

Dalam sujudnya dini hari itu wajah Keka hadir dalam ingatan. Menyeruak bersama kenangan dan rindu yang terus mengejarnya. Ada doa dilangitkan oleh lelaki muda itu, melangit bersama mimpi masa depannya.

Ayah hanya menjalani rawat inap. Khai bersyukur ayah pulang dengan wajah lebih segar. Wajah itu terlihat lebih tua dari sebelumnya. Dua hari yang penuh kontemplasi bagi Khai.

Usia Ayah belum tentu lebih panjang dari waktu sibuknya. Karena itu Khai sungguh-sungguh berpikir untuk memberikan cucu bagi ayahnya. Cucu dari perempuan cantik dan shalihah yang akan ia nikahi. Cucu yang akan diberikan bersama Kekanya.

Khai sudah mengantongi tiket pesawat ke Bandung. Dari sana ia masih harus melanjutkan perjalanan sekira tiga jam menuju patok besi, dimana tempat Kekasihnya menunggu.

Khai begitu bersemangat, bahkan ia membeli tiket pulang pergi dengan rencana tiga hari menginap di kota kecil itu. Ia berencana mengajak Keka kemping, mewujudkan satu mimpi mereka menghabiskan malam bersama di bawah bintang dan sinar purnama. Rencana yang indah. Khai sudah tak sabar menunggu hitungan tiga hari kedepan. Rindunya sudah berbuku-buku, menanti perjumpaan dengan sang Kekasih.

***

Abah menggenggam jemari putri kesayangannya. Hari itu genap seminggu Keka sudah dirawat di rumah sakit kota. Hasil lab menunjukkan Keka terkena demam berdarah. Kadar trombositnya terjun bebas hingga 70.000 saja dimana normalnya150.000 sampai 400.000. Abah dan Mamah terlihat masih sangat cemas. Dokter bilang Keka belum melewati masa kritis.

Keka masih mengeluh nyeri perut dan sesekali mual disertai muntah, bahkan sulit bernapas. Abah khawatir penurunan trombosit darah yang dialami putri kesayangannya mengakibatkan pendarahan internal. Sebagaimana yang terjadi pada ayahnya Damar yang merenggut nyawa sahabat karib Abah itu.

"Neng enggal damang atuh. Ulah seueur emutan Neng." Abah berseloroh.

Wajah tuanya tak bisa menutupi kecemasan yang berlebih. Ia tak bisa membayangkan jika sejarah DBD yang merenggut nyawa karib kesayangannya, berulang pada putrinya. Ia merasa tak siap mental menerimanya. Meski tak ada darahnya yang mengalir di tubuh Keka, cintanya penuh seluruh.

"Emutan naon atuh Abah? Neng mah ngga inget-inget masalah apapun. Neng mah pengen sembuh aja, pengen pulang sama Abah dan Mamah. "

"Emut ka Khai? "

"Ngga ih Abah." Keka tak bisa menyembunyikan pipinya merona merah saat Abah menyebut nama Khai.

"Neng ngigauna nyebut-nyebut Khai, Neng."

"Khai na punya utang ka Neng, Bah." Keka mengerlingkan matanya, menggoda abah.

"Utang naon? "

"Utang seribu keping maaf. "

"Tuh paan, eta teh emutan namina Neng. Dipikiran."

"Teu Abah. Neng atosan, teu ka Khai deui."

"Abah restu wae mun Khai teh sholeh Neng. Sok ka Abah, lamar neng. Lelaki baik-baik nu cintana teu main-main mah moal lami-lami ngagantungkeun. Datang ka ibu bapakna. Da bade naon deui atuh Neng?"

"Teu Bah. Neng udahan. Tong ngomongkeun Khai deui Abah. "

"Cinta mah bukan tentang wajah yang rupawan neng, atawa harta yang bergelimang. Tapi jiwa yang tenang yang bisa menuntun Neng jadi lebih baik." Abah membuka kembali topik itu. Entah untuk yang keberapa kalinya Keka mendengar abah bicara tentang cinta.

"Bah tapi Neng udahan sama Khai da. Abah ngga usah khawatir. " Keka menghentikan tangan Abah yang masih menyisir rambutnya. Diciumnya tangan Abah penuh sayang.

"Neng, Abah teh udah tua. Tugas Abah hanya satu lagi, menikahkan Neng. Neng masih muda, masih panjang perjalanan, tapi Abah? "

"Iiih Abah mah kitu, Abah juga masih panjang atuh!"

"Wallahu'alam Neng. Hampura Abah ya Neng. " Abah mencium kening Keka, tulus. Keka merasa itu ciuman cinta seorang ayah yang hebat. Ia merasa di mantrai cintanya Abah. Ia lupa pada sakit hatinya, pada rindunya. Ia hanya ingin melihat lelaki tua dihadapannya bahagia. Apapun akan ia lakukan.

"Neng malaikat maut mah tidak bisa dikelabui, dimanapun kita mereka tahu Neng."

" Abah atuh jangan ngomongin mati, Neng cuman DB aja Bah. Besok juga sehat. "

" Bukan Neng, ini mah mungkin abah yang duluan pergi Neng. "

" Iih jangan atuh Abah. " Keka mencium tangan abahnya lagi. Matanya berkaca-kaca. Meski ia tahu bukan anak kandung Abah, baginya cinta Abah dan Mamah cinta yang paling paripurna. Tak terbayang jika ia harus kehilangan dua mata jiwanya.

"Mun Abah ngga ada tenang aja ya Neng, ada Ananta. Abah Serahin Neng ka Ananta. Abah mah percaya, lalaki nu moal nipu, nu moal pikanyeuri hate nya eta...Ananta Neng."

Mereka saling memandang. Saling menguatkan hati. Keka tahu cintanya pada Khai selayaknya harus ia lepaskan.

Ia pernah mencintai Khai, mencintai apa adanya tanpa meskipun atau walaupun. Ia saja bagi Keka cukup. Dulu.
Dan malam itu ia ingin melepaskan semua rindunya, menggantinya dengan penerimaan tertinggi. Menerima takdir hidupnya yang tanpa Khai lagi. Ikhlas.

Dan siapa yang mengira bahwa malam itu adalah malam terakhir Abah dan Keka bercengkrama. Manusia boleh berencana namun takdir-Nya tak seorangpun mampu melawan. | Cerpen Sedih Cintaku Hanya Sampai Diujung Rindu Part 12

- Bersambung -