Mata ini menatap sayu ke arah Kartika. Hati pun tak berdaya lagi untuk berontak. Namun, ada satu alasan yang belum aku mengerti dengan keanehan itu. | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami Part 2
"Sayang, baik, aku perkenankan maumu. Namun, boleh dong aku tau apa sebabnya. Selama ini, apakah nafkahku tidak cukup buat keluarga kita?" Dahi ini melipat. Aku menatap serius padanya.
"Jujur, Mas. Bukan tidak cukup. Tapi, aku ingin lebih. Lebih seperti tetangga-tetangga kita. Apa salahnya?"
"Perlu kamu tau. Aku mau menikah lagi, bukan murni menuruti kemauanmu. Tapi, karna menikah itu ibadah. Ibadah ke duaku. Di sisi lain, agama juga menganjurkan menikah dua, tiga dan empat bila mampu. Apalagi, sebagai istri pertama kamu sudah setuju."
"Terimakasih, suamiku. Kamu baik sekali." Kartika merangkul. Entah, bahagia seperti apa yang ia rasakan. Dia tidak tahu, prinsipku punya satu istri satu sudah jebol oleh pintanya. Hati ini, sedikit tergores. Walau tidak terlalu dalam. Ini dirasakan oleh bening-bening air yang masih berkaca-kaca di mata ini.
Keputusan itu aku sampaikan langsung kepada pak haji Subrata. Pemilik kebun sawit, cengkeh dan palawija lainnya itu terdengar haru dengan keputusan itu. Pundi-pundi kekayaan orang yang tiga tahun baru masuk Islam itu seolah tak pernah berkurang. Bahkan, aku menganggap sudah bertambah setelah ia mualaf. Mungkin, ini berkah dari hidayah-Nya.
Tiga hari setelah pemberitahuan itu, aku disuruh kembali ke rumah mereka.
"Undangan, biar kami yang atur. Bagaimana kalo begini undangannya?" Pak haji menyodorkan kertas berwarna emas. Di sana, tertera lengkap nama calon istri ke duaku. Laura Subrata.
Sudah bukan rahasia umum lagi. Setelah mualaf, pak Subrata betul-betul mendalami Islam. Buktinya, tak lama setelah itu mereka langsung ke tanah suci. Syukur, mereka masuk Islam bersama-sama. Namun, nama lahir mereka tidak digantikan seperti halnya para mualaf lainnya. Haji mabrur. Baru sekali ke tanah suci, sapaan 'pak haji' sudah melekat padanya.
Pernikahan sudah usai. Acaranya sangat meriah. Tak terhitung undangan saat acara resepsi sesudah itu. Bahkan, Kartika sendiri ikut menyuging senyum saat acara itu.
"Zain, kamu tinggal saja bersama kami. Buat istri pertamamu, kami sudah membelikan rumah baru. Di dekat sini juga. Biar Nak Zain mudah bolak-balik."
"Maaf, Pak. Laura akan ikut kami saja. Kami akan tinggal bertiga serumah di rumah baru itu."
"Bertiga? Apa Islam tidak melarangnya?" Dahi mertua baruku itu benar-benar mengerut.
"Yang dilarang itu, sekamar, Pak. Serumah tidak apa. Apalagi, Kartika tidak keberatan."
"Ayah, Laura juga setuju. Mbak Tika tidak apa-apa, kan?" Laura menatap madunya. Ia coba ikut meraba suasana hati Kartika. Istri pertamaku mengangguk pelan.
"Iya, Pak Haji. Aku seneng, kok serumah dengan maduku yang kaya gini." Kartika merangkul di kanan.
"Mohon restunya, Ayah." Laura menggait lengan kiri ini.
Sehari dua hari, di rumah baru yang lumayan besar itu aman-aman saja. Namun, memasuki minggu ke dua, urusan dapur dan sumur sudah rutin Laura yang selesaikan. Tak ada pembantu. Apalagi, baby sister buat bayi kami. Aku masih syok dengan kejadian lima tahun silam. Karena keteledoran pembantu, buah hati pertama kami menjemput ajal. Laura tidak mempermasalah saat aku menentang untuk cari pembantu rumah tangga. Ini sudah terlihat dengan beresnya semua pekerjaan.
"Mas, Humaira dibikin susu! Aku lagi sibuk, nih." Terdengar Kartika setengah berteriak dari lantai dua atas. Sekejap, aku ke tempat putri kami. Tanpa suara, Humaira tidak lagi menampakkan tangisnya. Pintu tak tertutup. Hati ini, seperti disiram salju. Sejuk. Ada pemandangan indah di hari itu. Dengan lembutnya Laura kulihat menggendong. Sementara tangan kanan madu Kartika itu fokus dengan susu yang dipegangnya.
"Ra, terimakasih buat semuanya," ucapku. Senyum ini tanpa kupaksa, menyerbak cepat ke arah bidadari baruku itu. Laura tertunduk malu. Aku merangkulnya dari belakang. Sekali, aku menciumnya dari arah belakang.
"Mas, anakmu, anakku juga. Aku akan menjaganya seperti aku mencintaimu. Tegur aku bila ada yang tak pantas di matamu. Aku akan sami'na wa ata'na." Ssrrr, lagi-lagi hati ini bagai tersiram salju. Sejuk sekali. Kembali, aku menciumnya di tempat yang sama. Namun, adegan itu tak berjalan lama. Tiba-tiba ...
"Mas? Kalian? Sedang apa di sini?" | Cerpen Sedih Secarik Catatan Hati Seorang Suami Part 2
Kartika mematung dengan mulut terbuka dan mata tanpa berkedip.
- Bersambung -