Lulus SMP, aku dikirim Mama ke Cianjur.
Katanya aku akan belajar mengaji di sana. Bukan mondok, bukan. Hanya saja di sana ada tempat yang kata Mamangku adalah tempat yang bagus untuk menimba ilmu. Terutama mengaji. Untuk apa mengaji jauh-jauh begitu? Pikirku. | Cerpen Cinta Aku Akan Menemuimu Di Lembaran Hari Nanti
"Pak ... " Aku memelas di depan Bapak, memohon agar rencana itu di batalkan saja tapi, "Ikuti aja maunya Mama." Hanya itu yang keluar dari bibirnya.
Terbayang dalam benak, suasana di Cianjur nanti akan bagaimana. Meskipun berada dalam wilayah yang sama, sama-sama di Jawa Barat, tetap saja akan ada yang berbeda. Entah itu cara berperilaku, cara bicara, dan lain-lain. Oh, aku tak siap! Tapi bagaimanapun, aku tidak akan pernah bisa membantah. Jika Mama bilang 'A' maka Bapak juga 'A', tak ada pilihan bagiku selain ikut bilang 'A' juga.
Ini hari kedua aku di Cianjur. Mama dan Bapak pulang ke Bogor setelah memberikanku uang untuk bekal selama sebulan. Di sini aku tinggal dengan Mang Diwan, adik dari Bapakku sendiri. Mang Diwan tinggal di Cianjur bersama istirinya yang memang orang Cianjur. Namanya Bi Diah.
Mereka memiliki dua orang anak, Desi dan Deuis. Mereka masih kecil saat itu.
Aku masih merasa sangat asing di sini, untungnya ada Mang Diwan dan Bi Diah. Merekalah orangtuaku sekarang. Yang akan melindungi, mendidik dan mengurusku.
Meskipun agak segan, aku harus nyaman tinggal bersama mereka.
"Laila kapan mulai ngaji, Bi?" Aku bertanya pada Bi Diah yang sedang memasak. Mang Diwan belum pulang dari masjid sejak ashar tadi.
Desi dan Deuis, mereka bermain di halaman rumah. Dan belum mandi.
"Kamu maunya kapan? Nanti Bibi bilang ke Mamang, biar diantar ke guru ngajinya." Bibi sibuk mengoseng tumis buncis di dalam wajan.
"Mmm, besok aja Bi," jawabku kemudian.
Aku lalu keluar, menghampiri Desi yang sedang bermain rumah-rumahan bersama adik dan teman-temannya yang lain.
"Des, hayu mandi! Ajak Deuis," aku mencoba membujuk. Sejak tadi Bibi berteriak kepadanya agar mandi dengan Deuis, tapi, namanya anak kecil tidak akan nurut kalau hanya diteriaki saja.
"Iya, tapi teteh yang mandiin Deuis ya? Dia mah suka nangis kalau sama Desi." Setengah cemberut Desi berkata.
"Iya, hayu atuh!" Aku menarik lengan Deuis lembut, menuju ke kamar mandi umum yang terletak cukup jauh dari rumah.
Di pinggir kamar mandi itu, mengalir sungai yang masih jernih airnya. Tempat itu di pakai untuk mencuci; pakaian, piring, dan lain-lain. Sedangkan kamar mandi untuk mandi. Tapi ada juga beberapa orang yang mandi di sungai.
Untuk menuju ke tempat itu, aku harus melalui jalan setapak yang suka licin kalau sudah hujan. Untungnya sekarang musim panas, jadi tidak repot. Apalagi kesana sambil menuntun Deuis dan diikuti Desi.
Di perjalanan aku bertemu Wawa. Nama aselinya Salwa. Dia adalah keponakan Bi Diah, keponakan Mamangku juga. Karena waktu kecil pernah di ajak ke Cianjur oleh Mang Diwan, aku jadi kenal dia. Dan tak ragu menegurnya meskipun sudah lama sekali tidak pernah bertemu lagi.
"Wa, mau mandi ya? Bareng atuh," aku memanggilnya yang berada di depan. Jaraknya agak jauh dari kami.
"Eh, Laila?" Wawa menoleh, dan dia seolah terperangah mendapati aku di belakangnya.
"Kapan kesini?" Dia menghentikan langkah, menunggu agar aku sejajar dengannya.
"Kemarin. Hehehe, udah lama ya gak ketemu?" Aku menyerahkan tangan untuk bersalaman.
"Iya udah lama pisan atuh ah! Gimana kabarnya? Ya ampun beda banget," katanya sambil menyambut tanganku.
"Iya, dulu aku kesini waktu belum sekolah. Sekarang udah lulus SMP," aku tersenyum.
"Iya ya ampun," Salwa ikut tersenyum dan melanjutkan langkah, diikuti aku, Desi dan Deuis tentunya.
Karena kamar mandi di pakai Wawa, aku memandikan Deuis di sungai. Desi juga. Karena dia belum cukup besar jadi tidak malu. Lagipula, sore ini cukup sepi. Hanya kami berempat.
Aku selesai memandikan Deuis, Desi selesai mandi, dan Wawa juga. Kami pulang bersama seperti saat berangkat tadi.
"La, nanti main atuh ke rumah. Parah ih, kesini enggak nemuin aku?"
"Iya hehehe, nanti aku nganterin Desi sama Deuis pulang, terus langsung ke rumahmu ya? Masih di situ kan, rumahnya?"
"Iyalah!" Wawa tertawa.
"Bisi we pindah ka Mars," kataku terkekeh.
Setelah menyerahkan Desi dan Deuis ke Bi Diah, aku langsung menuju ke rumah Wawa.
Tidak ada yang berubah dari daerah ini. Tetap sama seperti 9 tahun yang lalu saat terakhir aku ke sini. Kampung Neglasari.
Rumah Wawa terletak di ujung kampung. Aku harus melewati sawah untuk mencapainya.
Rumah Wawa sama bentuknya seperti rumah yang lain. Rumah panggung. Belum memakai tembok atau semen. Dindingnya bilik, atapnya genteng. Yang jika jatuh akan pecah berkeping-keping.
"Assalamu'alaikum," ucapku saat sudah sampai di rumahnya.
"Wa'alaikumussalam ... " Wawa yang membuka pintu. Dia menyambutku dengan senyum dan di tangannya ada sisir. Dia mengajakku masuk, "Pada kemana?" Aku bertanya mengenai Mamah dan Bapaknya Wawa, juga adik dan kakaknya. Rumah ini terlihat sepi. | Cerpen Cinta Aku Akan Menemuimu Di Lembaran Hari Nanti
"Mamah sama Hasan (Adik Wawa) udah dua hari nginep di Rumahnya Ene', Bapak, tadimah ada di belakang. Teteh Wawa udah nikah, La. Sekarang gak tinggal di sini lagi." Wawa mengucapkannya sambil ngaca.
"Ohhh. Ngapain di rumah Ene'? Teh Sari udah nikah?" *Ene' adalah kata lain dari Nenek.
"Sakit, iya."
Aku manggut-manggut. "Kok kamu gak ikut?" tanyaku.
"Ikut ke mana?"
"Ke rumah Ene'?"
"Nanti yang ngurusin Bapak siapa?"
Oh, aku mengerti.
Setelah Salwa beres dengan urusannya, dia mengajakku ke depan. Ke depan maksudnya adalah ke suatu tempat yang biasa digunakan anak muda untuk berkumpul alias nongkrong. Tempat itu biasa disebut 'Pos' karena memang terdapat sebuah Pos kecil. Aku tidak terlalu mengerti guna pos itu untuk apa.
Letaknya ada di persimpangan jalan sana.
Begini, jika mau ke rumah Salwa maka kita harus lurus, kalau mau ke Pos kita harus belok kiri.
Di perjalanan, Wawa terus menanyaiku banyak hal. Dia mau tahu kenapa aku di sini sekarang? Selain untuk mengunjungi Mang Diwan tentunya.
"Oh, kamu mau tinggal di sini?" Wawa berbinar mendengar ceritaku.
"Iya, mau ngaji di Ustadz ... " Aku bagai mikir.
"Ustadz Uus?" Wawa menebak.
"Nah itu," aku membenarkan.
Wawa langsung memelukku erat. Dia nampak senang sekali. Katanya dia jadi ada teman, memangnya selama ini gak punya teman?
"Bukan, aku seneng aja punya temen baru! Nanti aku kenalin ke yang lain ya? Mereka pasti seneng juga, apalagi cantik kaya kamu!"
"Iya-iya. Tapi lepasin dong! Aku sesek napas nih,"
"Hehehe iya." Wawa melonggarkan pelukannya sekarang.
"Hei hei! Urang mawa saha yeuh!" Wawa menggandeng tanganku. Kami telah sampai di Pos. Di sana rame juga ternyata. Wajarlah. Inikan satu-satunya tempat berkumpul mereka, kata Wawa.
Di pinggir pos itu ada sebuah lapangan yang menghampar. Ada bangku kecil dan banyak pohon. Beberapa orang berkumpul di dekat pohon, yang kukira adalah pohon pala. Beberapa lagi duduk di dalam pos. Mereka tidak campur aduk. Laki-laki hanya dengan laki-laki. Perempuanpun begitu.
Beberapa anak lelaki menoleh, ada yang tersenyum. Dan beberapa anak perempuannya menghampiri, "Saha eta Wa? Nigeulis! Jiga kuring," ucapnya.
"Ah manehmah. Setiap aya nu geulis pasti weh jiga urang," tukas Salwa.
"Saha namina?" Perempuan itu menyodorkan tangan.
"Laila," aku menyambutnya.
"Ooh, aku Ratna." Dan yang lain mulai ikut melakukannya. Melakukan perkenalan.
Mereka cukup baik. Aku jadi tidak terlalu khawatir akan dengan siapa melewati hari di sini. Apalagi ada Wawa.
Aku harus bahagia. | Cerpen Cinta Aku Akan Menemuimu Di Lembaran Hari Nanti
Meskipun awalnya dipaksa, semoga nanti bisa menjalaninya dengan hati.
Dan di lembaran hari nanti, aku akan menemukan dia. Dia yang memanggilku 'Yang' walaupun belum kenal.