Sebuah Pertemuan Yang Tak Pernah Diduga

[Aku udah ada di stasiun, kak. Cepetan. Aku takut.]

Buru-buru isi sms itu aku kirimkan pada kak Agun. Sambil kepalaku sibuk menengok ke sana-kemari. Duh, jangan sampai aku ketahuan. | Cerpen Kehidupan Sebuah Pertemuan Yang Tak Pernah Diduga

Hapeku bergetar dalam pegangan, tanda ada sms masuk. Balasan dari kak Agun.

[Iya, dek. Kakak lagi otw nih. Sabar, ya. Tungguin.]

Aku tersenyum senang membaca balasan dari kakak yang aku kenal melalui salah satu situs jejaring sosial ini. Siapa sangka aku dan dia bisa terus menjalin hubungan akrab sebagai kakak dan adik setelah lebih kurang setahunan kenal. Kak Agun ini cowok yang baik, ramah dan juga perhatian. Kalau tidak ingat kami beda kota dan aku masih belum cukup umur, aku pasti sudah mau menjadikannya pacar. Sayangnya, aku juga kurang suka LDR-an. Lagi pula, alasanku mau terus mengenalnya adalah karena seseorang.

Aku mengetikkan lagi sms. Kali ini untuk sosok yang lebih penting. Yang harus ikut terlibat dalam pertemuan antara aku dan kak Agun nanti.

[Dia udah otw. Siap-siap, ya.]

Setelah itu aku kembali mengirimkan sms untuk kak Agun.

[Jangan lupa bawa uangnya ya, kak.]

Tidak lama, sebuah balasan datang.

[Iya, dek. Apapun untuk kamu kakak siap bantu. Tungguin aja. Jangan kemana-mana. Hati-hati.]

Aku tersenyum, lantas kembali bolak-balik menelusuri keadaan, kemudian menghela napas lega saat tahu posisiku masih aman. Semoga akan terus begini sampai kedatangan kak Agun. Kalau sampai kepergok lagi nanti, tamatlah riwayatku.

"Kak Agun!"

Aku berseru memanggil namanya seraya melambaikan tangan di antara kerumunan. Kak Agun balas melambai. Sedangkan telinga kami sama-sama ditempeli hape masing-masing, berkomunikasi mengenai situasi dan rencana bertemu.

Tanpa aku duga, kak Agun memelukku. Sedikit bikin risih. Tapi, aku biarkan saja. Toh, dia memang menganggap aku adiknya.

"Jihan lebih cakep ya kalau ditemuin langsung. Hehehe," puji kak Agun yang cuma kubalas senyum tipis.

Aku menengok kanan dan kiri, memastikan suasana di sekitar kami cukup sepi. Lalu setelahnya memerhatikan penampilan kak Agun yang sesuai permintaanku. Mengenakan jaket serba hitam, kacamata serta masker yang sekarang sudah tergantung di bawah dagu. Namun, apakah sudah cukup aman?  "Jihan?"  Panggilan kak Agun menyadarkanku. | Cerpen Kehidupan Sebuah Pertemuan Yang Tak Pernah Diduga

"Iya, kak. Euh, kakak capek? Mau istirahat dulu? Makan atau minum?"

"Emangnya aman buat kamu?"

"Aman, kok. Di bagian dalam stasiun yang kumuh ada warung makan. Kak Agun bisa ke sana bareng aku," ajakku berusaha menghilangkan kecemasannya terhadapku. "Kalau kakak gak keberatan," ucapku melanjutkan. Deg-degan menanti jawaban darinya.

Kak Agun tersenyum. "Iya, ayok! Selama sama Jihan sih kakak oke-oke aja," balasnya yang sesudah itu memasukkan hape ke dalam saku jeans sebelah kiri. Tas kecil yang dibawanya dipegangi erat. "Sekalian nanti kita bicarain masalah kamu, ya."

Aku mengangguk. Berjalan di samping rangkulan kak Agun sembari menggaruk kepalaku. Bukan karena gugup. Ini adalah sebuah kode.

Misiku sebentar lagi akan kembali dimulai.

Bugh!

Tubuh kak Agun akhirnya limbung, terjatuh setelah pukulan dari linggis yang dibawa oleh bang Harjo dengan telak mengenai tengkuknya. Buru-buru aku menggunting tali tas milik kak Agun lalu merampasnya, disusul merogoh hape mahal di kantung jeans sebelah kirinya.

"Periksa duitnya!" titah bang Juki sembari menunjuk tas yang aku pegang. Dia masih sibuk memegangi luka di bibir akibat tonjokan kak Agun beberapa saat lalu di awal-awal.

Aku membuka tas dan tersenyum sumringah melihat puluhan lembar uang senilai lima puluh ribuan yang mengisinya. "Ada!" sorakku gembira.

Aku dan kawan-kawanku tertawa puas. Setidaknya, lelah kami sirna seketika setelah sukses menjerat satu lagi korban serta harta bendanya.

"Ya udah, Res. Lo pergi aja duluan. Tunggu di markas. Biar kami yang beresin si Agun keparat ini," ujar bang Harjo sambil melempar linggis ke semak-semak. Kali ini, ganti mengeluarkan pisau dari rompi yang dipakainya.

Aku menatap ke arah kak Agun sekali lagi. Menghadiahkan dia satu tendangan di kepala, setelah itu mundur perlahan. "Oke, Bang. Pastiin dia hanyut yang jauh, ya. Orang sini gak bakalan ada yang kenal dia. Terus, jangan lupa telanjangin terus baju punyanya dibakar. Supaya jasa CCTV gak akan kepake."

Bang Juki berdecak sebal. "Iya, Resti. Banyak bacot lo. Kita juga tau apa yang mesti dilakuin. Udah, sana pergi. Sekalian bagiin hasilnya, yang rata. Awas kalau lo curang," pesannya sambil menudingkan celurit ke arahku.

Aku hanya terkikik. Membalikkan badan, mulai melangkah menuju markas kesayangan. Markas di mana aku dan teman-teman tinggal lalu menyusun rencana. Menipu, memperdaya, dengan tujuan mengumpulkan harta benda dari mereka--orang-orang bodoh yang terlalu baik. Kak Agun ini adalah korban ketigaku.

Semula, aku ketakutan. Akan tetapi, misi pertama kami dua tahunan yang lalu berbuah hasil yang besar dan bikin gelap mata. Meskipun nyaris ketahuan aparat kepolisian, untunglah kami semua pintar berkelit. Toh, memang, hidup di dunia ini tidaklah mudah. Banyak manusia serakah dan tak tahu diri. Termasuk aku.

Namaku Resti. Atau bisa kalian sebut Ratna. Atau Jihan. Bisa juga, Kiki. Aku punya banyak nama. Karena dengan nama ini, aku bisa mencapai apa yang aku inginkan. Walau dengan cara kotor sekalipun.

Aku bisa mempercayai siapapun. Sayangnya, aku sangat tidak bisa dipercayai. Terutama oleh orang-orang baru. Apa kau ingin jadi korbanku selanjutnya? | Cerpen Kehidupan Sebuah Pertemuan Yang Tak Pernah Diduga