Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 16

Aku mencecar Bunda dengan banyak pertanyaan. Betapa besar rasa kecewa padanya, kenapa menyimpan hal sebesar ini dariku. Meski cukup tahu, selama ini posisiku ada dimana. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 16

"Tidak ada pilihan, Tami sedang hamil besar. Harus ada yang bertanggung jawab, atau bayi itu akan lahir tanpa Ayah."

Aku semakin 'shock', demi mendengar perkataan Bunda. Kak Tami telah mencorengkan arang. Bukan hanya ke wajah Bunda, ke wajah ku, dan keluarga besar Ivan Ramadanu.

Tami yang selalu dimanja, diberi kiriman melimpah, dengan fasilitas 'grade A'. Tami gadis cantik yang juga termasuk jajaran salah satu bunga desa di daerah kami, akhirnya harus mengemis demi meminta pertanggung jawaban teman lelaki yang telah menghamilinya. Ingin aku berdiri di sampingnya, berteriak "terlalu naif kamu, Kak."

Dia yang diberi kebebasan oleh Bunda, malah kebablasan. Berharap bisa mempermainkan banyak pria, kini ia harus rela menjadi bahan olok-olokan.

Tami, gadis belia yang hanya berselisih tiga tahun denganku, tapi masih saja bertingkah seperti remaja. Kapan dia menjadi dewasa? Menuruti hawa nafsu dengan memperbanyak koleksi mantan. Kasihan kamu, Kak! Petualanganmu tamat sudah!

"Siapa lelaki itu, Bun? Hira ingin memberinya pelajaran," aku mengepalkan tangan. Gigiku gemeretak, tidak pernah merasakan kemarahan seperti ini.

"Lelaki yang sama, sehingga dia menolak perjodohan yang Bunda tawarkan," betapa dalam rasa sesal Bunda saat mengucapkan hal itu.

Ayahku benar, hubungan yang tidak sehat hanya akan membawa penyakit. Bersyukur aku masih mengingat detail segala nasihat Ayah, yang sering ia ucapkan saat memanduku menonton serial di layar kaca.

'Ya Allah, jangan siksa Ayah. Jangan marah pada Bunda. Ini semua kesalahan Kak Tami, bukan salah Ayah maupun Bunda. Kasihanilah orang tuaku. Mereka harus mempertanggung jawabkannya kelak, dimintai pertanggung jawaban bagaimana mereka mendidik kami.'

Demi melihat air mata Bunda menetes, amarah pada Kak Tami pupus sudah. Baru kali ini aku melihat sosok tangguh itu akhirnya mencucurkan air mata. Kuseka air mata Bunda dengan ujung jari.

"Jangan menangis ya, Bun. Apa yang bisa Hira tolong?"

"Kirimkan ia sejumlah uang, untuk membeli tiket pesawat ... dia dan bayi lelakinya ... lalu-," Bunda terisak-isak.

Ah, ternyata Bunda juga menyembunyikan peristiwa lahirnya bayi lelaki mungil itu. Bunda juga mengirimkan banyak uang untuk biaya persalinan dan segala kebutuhan si bayi, dari mulai perlengkapan, susu kotak, diapers, dan entah apa lagi. Ketika kutanya uang darimana, Bunda dengan enteng menjawab "dari mahar yang diberikan Wira untukmu."

Ketika Wira datang beserta barang-barang hantaran, aku memang menyerahkannya pada Bunda.

"Lalu apa, Bun?" aku menanti kelanjutan omongan Bunda dengan perasaan tak menentu.

"Bunda minta tolong, kamu jemput mereka di Bandara. Bawa mereka ke sini. Kamu harus bisa menyembunyikan bayi itu. Jangan ada seorang pun yang tahu. Bunda benar-benar malu," tangis Bunda semakin kencang.

"Bagaimana caraku menyembunyikannya, Bun?" aku kebingungan.

"Kamu bisa bilang apa saja. Mau bilang 'anak pancingan' atau ' anak saudara dari Wira' terserah kamu. Yang penting tidak ada yang tahu kalau itu anak Tami. Tidak ada yang tahu dia sudah menikah selain Bunda dan kamu. Paham?"

Anak pancingan bagaimana? Jelas-jelas aku sedang hamil muda sekarang, setelah kekosongan sekitar tiga bulan. Demi Bunda, aku pun meng'iya'kan setelah terlebih dahulu memberi tahu Uda Wira via selular.

Awalnya dia kaget, namun akhirnya berusaha menerima.

"Ya sudah, Dik. Kamu bantu Bunda dan Kak Tami. Perkara dosa, serahkan pada Allah. Dia yang Maha Benar. Kita cukup bersyukur Tami tidak berusaha menggugurkan janin yang waktu itu dikandungnya. Cukuplah dia menanggung dosa besar zina."

Wira adalah sosok yang pengertian, berhati lembut, penyabar, dewasa, serta penuh kasih sayang. Mungkin itulah penyebab kenapa Allah mengirimkan dia padaku. Aku yang kurang mendapat kasih sayang Bunda, kehilangan sosok pelindung Ayah, akhirnya kutemukan sepaket pada diri Wira.

Selama beberapa bulan pernikahan, kurasakan beruntung memilikinya. Wira tidak pernah membiarkanku sendirian. Dia selalu menantarkan kemana saja, tempat yang jauh atau dekat, ke kampus, bahkan hanya untuk sekedar ke warung.

Dia tidak membiarkanku melakukan sendiri pekerjaan sehari-hari. Sepulang sholĂ t subuh di mesjid, tak lupa ia membantu walau hanya sekedar membilas dan menjemurkan pakaian. Memasak pun kami lakukan berdua. Terlebih dahulu dia mengantarku ke kampus, lalu berangkat bekerja. Dia juga tak pernah telat menjemput. Bahkan teman-teman kampus mengatakan, dia sering menunggu setengah jam lebih awal, buat jaga-jaga siapa tahu aku pulang cepat.

Ketika aku istirahat siang, akibat mual-mual karena hamil, dia pun membantu meringankan beban. Mengangkat pakaian di jemuran, menyetrika dan menyusunkan ke lemari. Bahkan, saat 'mood' memasakku terbang entah kemana, dialah yang mengambil alih tugas itu, memasakkan makanan kesukaanku. Aku benar-benar terharu.

Tidak akan cukup menuliskan kebaikan-kebaikan yang diberinya padaku. Perasaan datar sebelum menikah, lama-kelamaan berubah menjadi benih-benih cinta. Wira pandai memupuk hingga cinta itu bertunas, tumbuh, dan telah melahirkan kuncup yang siap berbunga.

Pernah iseng aku bertanya;

"Uda, kalau nanti Hira sakit-sakitan, tidak mampu mengurus Uda dengan baik, bersediakah Uda menikah lagi?" aku ingin mengetahui apa jawabannya.

"Agama memperbolehkan menikahi wanita lebih dari satu. Akan tetapi aku ragu bisa bersikap adil. Jadi, kau HIRA REVANA, akan kupertahankan hingga maut memisahkan. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 16

Aku ingin menghabiskan masa tua hanya bersamamu. Berjalan berdua di tengah keramaian, sambil bergandengan tangan. Kelak meski telah keriput kulit kita, kita akan tetap bersama mengunjungi satu demi satu anak dan cucu.

Kau HIRA REVANA, adalah wanita yang kusebut namanya di setiap do'a, selama bertahun-tahunlamanya. Tak pernah bosan aku meminta, agar kau menjadi tempat berlabuh hati ini, dan menjadi satu-satunya permaisuriku.

Jika denganmu aku telah merasa cukup, untuk apa aku harus membagi cinta dengan yang lain? Percayalah, hidup seatap dengan banyak cinta tidaklah mudah. Mendapatkanmu adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Jadi, jangan pernah berpikir untuk memintaku menikah lagi. Ketika kamu sakit-sakitan.

Akulah yang akan merawat. Akulah lelaki yang akan menyuapi piringan nasi, menegukkan air, membantu ke kamar mandi, serta membersihkan tubuh sakitmu. Akulah lelaki yang akan membopong atau menggendong saat kau tak bisa berjalan. Aku juga bersedia memindahkan segala rasa sakit itu kepadaku supaya engkau tidak pernah menderita."

Demi mendengar perkataannya aku menangis terisak-isak. Tak sanggup kubendung air mata yang sudah terlanjur ingin keluar.

"Uda kenapa seperti itu," tanyaku lirih.

"Orang tuaku mengajarkan apa itu kesetiaan. Bagaimana mereka menghabiskan waktu hingga renta. Banyak pelajaran yang bisa kuambil, hingga akhirnya mautlah yang mampu memisahkan cinta mereka," terlihat kerinduan yang mendalam saat Wira mengatakan hal itu.

Setelah mengirimkan biaya tiket pesawat, akhirnya Kak Tami memutuskan akan pulang hari ini. Aku sudah bersiap-siap menuju bandara.

Perjalanan lumayan lancar. Tidak banyak kendaraan, serta tidak ada kemacetan. Pesawat akan 'landing' tepat pukul sebelas. Masih ada waktu sekitar dua jam lagi.

Taksi yang kutumpangi mulai memasuki area bandara. Cukup mudah untuk mencari dimana terminal kedatangan dalam negeri, karena memang bandara ini tidak besar.

Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya yang kutunggu pun tiba. Wanita bertubuh sedikit lebar, dengan bayi di gendongannya. Ada beberapa barang yang dibawakan oleh 'potter' Bandara.

Dia menuju ke arahku. Wajahnya sumringah seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Senyumnya membuncah seperti tidak pernah mencampakkan kotoran ke wajah keluarga.

"Hai, Hira. Sudah lama menunggu?" Kak Tami mendekat.

"Hai. Lumayan. Mau singgah dulu, atau langsung ke tempat Bunda?"

"Boleh singgah sebentar? Susu Rayhan habis. Satu kotak cuma bisa tahan dua hari."

"Kenapa tidak disusui anaknya?"

"Tidak bisa disusui. Ada masalah dengannya," --menunjuk ke arah payudara.

"Ya sudah. Nanti disinggahi."

"Beli beberapa kotak, ya. Pakai duit kamu. Duitku tidak ada."

Gemas rasa hati mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. Tanpa merasa bersalah.

"Ya," aku mengangkatkan barang-barangnya menuju taksi yang sedang parkir.

"Gendongin anakku. Aku capek," dia menyodorkan Reyhan padaku.

Akupun menggendong bayi mungil tanpa dosa itu. 'Kasihan kamu, Nak. Jadi korban kebejatan kelakuan kedua orang tuamu.'

Setelah singgah membeli beberapa kotak susu, taksi komersil itu pun meluncur menuju kota tempat tinggalku.

Aku membawa Rayhan serta barang-barangnya, sedang Kak Tami kutinggal di sebuah 'guest house' yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah. Semua yang kulakukan sesuai instruksi Bunda. Bunda tidak ingin orang-orang mengetahui anak kesayangannya itu telah menikah.

Aku menggendong Rayhan menuju rumah Bunda. Ada banyak mata yang menatap, aku membalasnya dengan senyum terpaksa.

"Assalamu'alaikum," aku mengetuk pintu rumah.

Bunda tergopoh-gopoh menyambutku dan Rayhan.

"Uda Wira akan menjemputku hari ini," aku memberi tahu wanita yang ada di hadapanku.

"Ya sudah, kamu bawa saja anak ini sekalian." | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 16

- Bersambung -