Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 15

Setelah memberitahu dimana aku tinggal, pada hari yang ditentukan Dani pun datang.

"Hira, ada yang mencari kamu tuh." | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 15

"Siapa, Kak?"

"Dani. Teman kamu bukan?"

"Eh iya, Kak."

Dengan mengenakan daster batik lengan panjang, serta jilbab wollfis hitam aku lalu menemui Dani.

Di teras rumah terlihat seorang lelaki dengan tinggi kira-kira 175 centimeter dan berat sekitar delapan puluh kilogram. Kulit kuningnya serasi berpadu dengan setelan kemeja lengan pendek polos dan jeans belel hitam. Meski tanpa seragam, dia tetap terlihat berwibawa.

Mengetahui aku datang, Dani lalu membalikkan badan.

"Silahkan duduk," aku menarik kursi pelastik berwarna hijau dan menyodorkan ke arahnya.

"Terima kasih," dia pun menghenyakkan tubuhnya.

"Langsung saja, maksud kedatangan kamu kali ini apa?" aku langsung menodongnya.

"Sebentar, aku tarik nafas dulu, ya," perlahan Dani menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Kak Yati datang membawa nampan berisi dua cangkir teh manis, dan sepiring roti kering.

"Ayo silahkan dimakan," dia menawari Dani.

"Iya, Kak. Terima kasih," Dani pun tersenyum malu-malu.

Setelah memastikan Kak Yati kembali ke dalam rumah, Dani lalu mengutarakan maksud kedatangannya.

"Aku ingin memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman ..."

"Maksudnya?"

"Aku ingin mengikatmu. Maukah kau menungguku tiga tahun lagi? Minimal sampai adikku tamat SMA."

"Aku tidak bisa berjanji," aku menggeleng lemah.

"Aku ingin membina hubungan yang lebih serius denganmu."

"Aku tahu, tapi ..."

"Tapi, apa?"

Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk mengatakan bahwa aku tidak ingin digantung. Kalau dia serius, jalan terbaik adalah dengan menghalalkan. Meski saat ini aku masih semester tujuh.

"Mmm ... begini, aku hanya memberimu waktu tiga bulan, bukan tiga tahun. Kalau kamu memang serius, halalkan aku."

Dani sedikit terkejut dengan permintaanku. Dia kelihatan gugup. Setelah terdiam beberapa jeda, dia pun menjawab pasti;

"Baiklah, Hira. Aku akan membicarakan hal ini pada ibu. Tunggu aku dalam tiga bulan. Jika aku tidak datang, kau boleh memilih yang lain."

Dani lalu menyeruput teh manis yang masih mengepulkan asap tipis.

"Aku tidak bisa lama-lama. Tugasmu hanya menungguku tiga bulan ke depan," pria itu mengulang pernyataannya.

"Baiklah," aku menjawab lirih.

Setelah berpamitan pada Kak Yati, Dani pun kembali.

Mengenai Harun, aku benar-benar tidak ingin menikah dengannya. Dia sudah kuanggap adik sendiri. Berulang kali Ucu Nana meminta, tapi aku tetap menolak.

"Ucu, tanpa menikah dengan Harun, Hira tetap menganggap Ucu seperti Ibu sendiri," aku memeluk erat wanita yang belakangan ini kesehatannya mulai menurun.

"Ya sudah. Ucu menyerah. Sebagai gantinya, kamu harus ikut Ucu ke kampung."

"Hira setuju," aku mengangkat ibu jari sebagai isyarat bahwa aku bersedia.

Ternyata membawaku ke kampung halaman di Padang Sidempuan adalah permintaan terakhir sebelum dia menghembuskan nafas yang terakhir satu bulan kemudian.

Aku merasa bersalah. Tapi itu sudah menjadi suratan takdir. Tidak ada yang bisa menolak.

Mengenai kenapa aku menolak Reza, Dani atau pun Harun, tak lain karena aku masih punya trauma masa lalu. Kisah 'permainan dokter-dokteran' itu begitu membekas. Alam bawah sadarku berusaha meyakinkan kalau tidak akan ada lelaki yang akan menerima setelah kuberitahu kalau aku korban 'pelecehan'.

Tidak hanya itu, perekonomian keluarga juga sedang terpuruk. Hutang Bunda di Bank, rumah yang masih diagunkan membuat berpikir, aku tidak ingin mempermalukan diri sendiri dengan menikah dengan lelaki yang jelas-jelas strata sosialnya berbeda jauh denganku.

Dibesarkan dalam ketidak adilan, kesusahan serta penderitaan, tidak membuat mataku silau dengan harta, pangkat dan jabatan. Akan berbeda mungkin halnya jika berada di posisi Kak Tami, seorang anak yang terbiasa menjadi nomor satu, mendapatkan perhatian lebih, selalu menggunakan pakaian mahal serta barang-barang bermerk. Tidak perlu berpikir lama-lama, dia pasti menerima tawaran-tawaran itu.

Sekali lagi, sayangnya aku bukan Kak Tami. Aku adalah Hira. Hira sederhana yang kelak akan menemukan jodoh yang bisa menerimanya apa adanya. Hira yang memiliki kekuatan untuk mengatakan jati diri yang sesungguhnya, sebelum prosesi akad nikah dimulai. Hira yang akan memilih calon imamnya melalui sayembara subuh.

"Carilah calon suami, yang kau menemukannya sedang sholat subuh berjama'ah di mesjid," aku ingat betul perkataan Ayah kala itu.

"Kenapa seperti itu Ayah?" Hira yang kala itu masih polos berusaha mencari jawaban.

"Karena itu yang baik. Hira juga harus menjaga marwah sebagai perempuan. Tidak perlu menawarkan diri pada pria untuk berpacaran. Pacaran itu tidak baik. Banyak godaan syetan di sana. Ingat, jadilah perempuan yang elegan bukan jadi yang murahan. Jangan mau jadi barang obralan berharga murah, tapi jadilah seperti pajangan di toko, hanya orang tertentu yang bisa memilikinya," Ayah menasihatiku panjang lebar.

Aku yang kala itu masih belum mengerti apa maksud perkataan Ayah, hanya mengangguk setuju. Sekarang, aku mengerti arti perkataan sarat makna tersebut.

Dialah Wira, tetangga kost yang sering mencuri perhatianku dari semula. Pria sederhana, yang berasal dari desa, dan mencoba mengubah nasib di ibukota provinsi.

Dialah Wira, yang sering kupergoki setiap kali kembali dari sholat subuh-- saat aku sedang menyapu teras--, serta isya --ketika aku akan menggembok pagar-- memastikan tidak ada lagi anggota rumah yang keluar di atas jam segitu.

Dialah Wira, yang ternyata seorang yatim piatu, dan hidup seorang diri setelah Ibu dan Bapaknya meninggal dunia beberap waktu yang lalu.

Wira adalah seorang guru honorer di sebuah sekolah yang berada tak jauh dari sini. Kami sering berselisih saat aku akan menuju ke kampus.

Ternyata diam-diam, dia menyimpan banyak perasaan padaku, sejak jauh-jauh hari, bahkan saat pertama kali kuinjakkan kaki di kota ini. Dia juga tahu ketika Dani datang berkunjung, dan akhirnya hilang bagai ditelan bumi.

Wira menyimpan rapih semua perasaan, dan mengutarakannya empat tahun kemudian, ketika dia telah memiliki sejumlah uang dan sekodi keberanian untuk melamarku.

Dia datang di suatu pagi yang cerah. Mengenakan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans biru dongker.

Di teras tempat biasa kami menerima tamu, dia pun mencoba mengutarakan isi hatinya.

"Hira, bersediakah kelak kamu menjadi Ibu dari anak-anakku?" dia mulai masuk ke inti pembicaraan.

Sama seperti Dani, aku pun memberi syarat tiga bulan lamanya.

"Aku tidak mau hubungan yang tidak jelas juntrungannya. Jika kau serius, halalkan aku. Kuberi waktu tiga bulan."

"Bagaimana dengan maharnya?" dia bertanya lirih.

"Aku minta hafalan juz tiga puluh. Selebihnya terserah kau saja, berapa pantasnya mahar yang kau berikan," aku berusaha memberikan kemudahan. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 15

"Baiklah. Aku akan mempersiapkan segalanya," dia pun akhirnya berlalu.

Tidak perlu menunggu tiga bulan lamanya, karena dua minggu setelahnya dia kembali datang dan menyatakan kesiapannya.

Aku pun pulang ke rumah, memberitahukan pada Bunda, bahwa akan ada yang melamarku.

"Berapa maharnya?" tanya Bunda.

"Hira tidak bilang apa-apa tentang itu. Hira cuma minta hafalan juz tiga puluh, dan mahar sesuai kesanggupan dia," aku menatap Bunda.

"Bodoh! kenapa tak kau minta dua puluh atau tiga puluh juta atau bahkan lebih. Kau calon dokter gigi. Bunda mengirimkanmu jauh-jauh untuk bersekolah, menghabiskan banyak biaya. Tahu kamu!" nada suara Bunda meninggi.

Aku mengernyitkan dahi. Maksud Bunda apa? Dengan mengatakan bahwa ia menghabiskan banyak biaya untukku.

Sudah beberapa tahun belakangan ini Bunda berhenti mengirimiku uang. Ah, mungkin dia teringat Kak Tami. Bunda memang menghabiskan banyak uang untuknya.

Aku ingin membantah perkataan Bunda yang terakhir, tapi hati kecilku berbisik 'jangan', tak baik melawan orang tua. Meski benar, tak perlu mendebat. Mungkin saja pikiran Bunda sedang kacau.

Semenjak insiden 'kebangkrutan' Bunda, ia memang sering terlihat murung.

"Bunda, Wira bukan anak orang kaya, dia juga sebatang kara. Biarlah dia memberikan mahar sesanggupnya."

"Tidak ada calon lain kah," Bunda mengorek-orek informasi.

Aku sengaja menyembunyikan perihal Dani dan Harun. Bunda bisa lebih marah lagi jika mengetahui aku menolak mereka hanya demi seorang guru honorer yang memenangkan 'sayembara subuhku'.

"Tidak ada Bunda. Hira kan jelek, tidak akan ada yang mau menerima Hira. Bersyukur Wira mau," aku berusaha meyakinkannya.

"Bunda tetap tidak setuju!"

"Dia akan datang melamar, setelah aku mengabarinya mengenai kesediaan Bunda," aku memegang tangan Bunda yang semakin bertambah lemah.

Bagaimana pun, restu Bunda tetap kuharapkan. Aku tidak akan melangkah ke jenjang pernikahan tanpa kesediaannya.

"Ya sudah!" perempuan lima puluh tahunan itu menyerah. Aku lalu menyium tangannya.

Aku baru saja kembali dari kantor kelurahan, ketika mereka bilang ada yang salah dengan NA-nya.

"Saya baru datang hari ini, Pak." Aku bersikeras bahwa ini kali pertama aku datang ke kantor mereka untuk mengurus persiapan menikah.

"Tiga hari yang lalu, Ibu saudari sudah datang mengurusnya. Tanggal pernikahannya juga sama."

"Tapi saya baru datang hari ini, Pak. Saya memang akan menikah lima belas hari lagi. Mungkin Bapak yang salah."

Nyaris kami berperang urat leher, hingga akhirnya seorang ibu muda melerai.

"Sudah-sudah, mungkin yang kemaren diurus untuk saudarinya yang lain," ibu itu berkata seraya membuatkan surat pengantar untukku.

"Nanti kamu temui Bapak ini, dia yang biasa mengurus akta untuk pernikahan," perempuan itu kembali memberitahukan.

Sesampainya di rumah aku memberi tahu Bunda tentang insiden di kantor kelurahan tadi.

"Bunda tiga hari yang lalu ke kantor kelurahan, ya Bun?" aku mendekat padanya.

Bunda mengunci bibirnya rapat-rapat. Tatapannya kosong. Entah apa yang disembunyikannya dariku. Ah, entahlah!

Aku mengurus sendiri segala persiapan akad nikah. Dari mulai surat-surat, undangan, dan lainnya.

Acara akan digelar dikediamanku secara sederhana, pada hari Jum'at pekan depan. Tidak banyak tamu yang diundang, hanya keluarga dekat dan tetangga.

Tibalah hari yang dinanti-nanti, datanglah rombongan Wira dan keluarganya. Aku juga menangkap sesosok yang tak asing di sana. Berseragam hijau tua, lengkap dengan 'badge PM' di salah satu lengannya. Dani ikut rombongan keluarga Wira. Entah sebagai apa aku tak tahu. Yang kuketahui, dari awal tiba sampai akad nikah selesai, dia duduk di sebelah Wira.

"Saya terima nikah dan kawinnya Hira Revana binti Ivan Ramadanu ..." Wira mengucapkan ijab qabul hanya dalam satu helaan nafas.

"Bagaimana saksi? Sah?" tuan kadi bertanya pada orang-orang yang berada di dalam ruangan.

"Sah." semua serempak menjawab.

"Alhamdulillah ..."

Prosesi akad nikah telah usai. Semua hadirin mengucapkan selamat, tak ketinggalan Dani.

"Selamat ya, Hir. Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah," berkaca-kaca Dani ketika mengucapkan hal itu.

Aku masih tidak habis pikir, kenapa dia bisa ada diantara kami.

Posisiku sedang berada di Padang ketika Bunda menelpon dan menyuruhku kembali.

"Pulanglah Hira. Ada yang akan Bunda bicarakan. Penting!"

"Nanti Hira bicarakan dengan Uda Wira terlebih dahulu."

Aku yang sedang hamil muda, meminta izin pada suamiku.

"Uda, Bunda meminta Hira untuk kembali secepatnya. Bagaimana menurut Uda?" aku berusaha memintaa izinnya. Kalau dia mengizinkan aku pergi, kalau tidak aku akan bersabar.

"Baiklah, Uda akan mengantarkan. Setelah itu Uda segera kembali. Menginaplah di sana selama yang Adik mau," dia tersenyum manis saat mengatakan hal itu.

"Kapan Uda akan mengantarkanku?" aku mengelus perut yang mulai membesar. Dua bulan sudah usianya.

"Lusa. Selepas meminta izin dari atasan."

Uda mengantarku hingga ke rumah. Setelah berpamitan pada Bunda, ia pun berlalu. Sangat jelas ketidak sukaan Bunda pada lelaki itu.

Susah payah Bunda mengumpulkan keberanian untuk berbicara padaku hingga akhirnya;

"Tolong Kakakmu ..." Bunda menunduk.

"Ada apa dengan Kak Tami, Bun?" aku mulai bertanya-tanya.

"Tepat di hari kamu menikah, Tami juga menikah ..."

Bagai disambar petir aku mendengar pernyataan Bunda. Ternyata ben

ar, Bundalah yang datang tiga hari sebelum kedatanganku ke kantor kelurahan.

"Bunda menikahkan Kak Tami diam-diam?

Maksudnya apa Bun?" | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 15

- Bersambung -