Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 6

Detik demi detik terus berlalu. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 6

Aku banyak menghabiskan waktu, mengikuti berbagai kegiatan eskul di sekolah. Dari menjadi anggota pecinta alam, pasukan pengibar bendera, osis dan bergabung di kepanitiaan perayaan hari besar islam. Berangkat sebelum matahari merangkak naik dan pulang ke rumah saat senja mulai temaram, menjadi kebiasaan.

Sikap Bunda juga mulai melunak, semenjak Kak Tami melanjutkan studi ke luar pulau. Kak Tami mengambil jurusan Ekonomi, di salah satu universitas bergengsi di kota Bandung.

Bunda sudah mau berbicara padaku, meski tak banyak. Terkadang Bunda mengajak masak bersama dan memintaku menemani ke salon. Seperti yang sering dilakukannya bersama Kak Tami.

Mendapati sikap Bunda yang berubah beberapa derajat, membuatku lebih bergiat lagi belajar. Berharap suatu saat nanti Bunda bangga memiliki anak bernama Hira.

Bunda mengizinkan bersekolah, memberi makan setiap hari, membelikan pakaian, semua itu kuanggap berkah yang luar biasa. Aku tidak mau berkaca pada Kak Tami lagi, yang mendapatkan segalanya dengan 'grade A'. Aku cukup berkaca pada anak-anak yang tidak seberuntung aku, dicampakkan Ibu Kandung, dianiaya, bahkan sebagian mereka dijadikan alat pencari uang dan diperjual belikan.

Bundaku tidak seperti itu. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, kuyakin dia punya sekotak kecil kasih padaku. Masih terkunci. Suatu saat aku berharap bisa membuka kotak itu dan mendapatkan kasih sayang Bunda.

Bunda juga pasti tidak membenciku. Aku mempercayainya. Sebagai bukti nyata, aku masih bernapas lega hingga usia enam belas tahun. Kalau memang Bunda tidak mengharapkan aku terlahir, tepat di tahun 1987 mungkin dia sudah menghabisi nyawaku.

Mungkin Bunda punya cara yang berbeda dalam menunjukkan rasa sayang. Aku ditempah tidak hanya dengan rasa sakit, luka dan air mata, tapi lebih dari itu semua, Bunda membentuk kepribadian yang jauh berbeda dengan anak-anak seusiaku.

Aku mulai memikirkan masa depan, agar kelak tidak menjadi beban. Ku utarakan niatku untuk melanjutkan kuliah ke Jakarta.

"Bunda, Hira melanjutkan sekolah ke Institut Kesenian Jakarta, ya?" kupilih waktu yang tepat untuk mengutarakan hasrat yang selama ini terpendam.

"Hmm. Kamu tahu, Tami baru saja kuliah. Biaya di universitas swasta itu besar. Bunda menggelontorkan dana yang tidak sedikit buat Kakakmu. Itu belum biaya sejuta tiap bulan untuk kebutuhan sehari-harinya. Kadang Kakakmu butuh lebih dari itu. Harus Bunda siapkan seorang diri. Kamu harus mengerti itu!"

"Tapi Hira ingin kuliah seperti Kakak, Bun."

"Kuliah ke Jakarta, memangnya kamu mau menjadi apa?"

"Hira mau jadi sutradara. Hira mau mengambil jurusan sinematografi, Bunda."

"Biaya untuk menjadi sineas itu tidak sedikit. Ganti jurusan, pilih universitas negeri, cari yang dekat dengan kota ini atau tidak sama sekali!"

"Baik, Bunda."

Aku pun keluar dari kamar Bunda. Di kamar Kak Tami --yang sekarang menjadi milikku-- aku menimbang-nimbang perkataan Bunda tentang pengeluaran bulanan yang besar, biaya kuliah Kak Tami yang mahal, serta pilihan universitas negeri atau tidak sama sekali.

Akhirnya aku menjatuhkan pilihan, melanjutkan sekolah ke kota rendang, Padang. Antara UNP atau UNAND aku masih bingung. Jurusan apa yang akan kuambil juga belum bisa terbayangkan.

"Bunda, Hira boleh ikut bimbel. Biayanya murah kok, Bun. Seratus ribu sebulan. Boleh ya Bun?"

"Baiklah. Tapi hanya dua bulan. Sisanya kamu belajar sendiri. Kamu kan pintar. Pasti bisa tanpa les-lesan atau bimbel-bimbelan."

"Terima kasih, Bunda."

Akupun mendaptarkan diri, dan mengikuti kegiatan bimbel selama dua bulan. Bersyukur teman sekolah ada yang bimbel di tempat yang sama. Aku rutin menyalin dan membahas materi bimbel yang kuperoleh darinya setiap minggu, selama hampir sepuluh bulan.

Ujian nasional baru saja selesai. Aku meminta izin pada Bunda untuk mulai mempersiapkan diri menghadapi bangku perkuliahan. Sempat menolak jalur undangan, aku harus mempersiapkan diri mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru. Universitas negeri atau tidak kuliah sama sekali!

Bunda membekaliku uang sebanyak Rp. 350.000,00. Lima puluh ribu sudah kugunakan untuk biaya kos. Sisanya untuk menyambung hidup dan formulir ujian.

Di kota ini, ada seorang Ibu yang secara tak sengaja kutemui. Dia menawarkanku tinggal di rumahnya, namun kutolak dengan alasan sudah membayar biaya kost selama sebulan penuh.

"Nanti kalau ujiannya lulus, tinggal di rumah Ibu saja ya, Nak."

"Iya, Bu. Do'akan Hira lulus ya, Bu."

"Mudah-mudahan apa yang kamu cita-citakan terwujud ya, Nak."

"Amin, Bu."

Sembari menanti pengumuman hasil ujian, aku pun pulang. Hari-hari kulalui dengan membantu Bunda mengerjakan pekerjaan rumah. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 6

Aku tidak tahu kapan tepatnya, tiba-tiba saja Bunda berubah pikiran.

"Hira, sepertinya tahun ini Bunda tidak sanggup membiayai kuliahmu. Kamu kuliahnya dua tahun lagi ya, biarkan Tami wisuda dulu."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Sedih? Pasti. Hal yang manusiawi. Tapi aku tidak mau memaksakan kehendak. Bunda itu orang tua tunggal yang harus berjuang menghidupi kami bertiga. Aku masih muda. Kesempatanku juga panjang. Aku berusaha menghibur diri.

"Kamu tidak boleh membebani Bunda, Hira." Hatiku berbicara.

Walaupun sudah pupus harapan untuk bersekolah, aku tetap menanti hasil pengumuman. Tante Ros --tetangga beberapa rumah-- tiba-tiba datang.

"Bu Mira, Hira mana? Hari ini pengumuman kan?"

Dari dalam kamar aku lalu menuju asal suara Bunda dan Tante Ros.

"Iya Tante, kalau melalui internet hari ini sudah pengumuman. Tapi kalau melalui koran, hasilnya baru besok pagi."

"Ayo ikut Tante ke rumah. Nanti lihatnya barengan sama anak Tante."

"Ya sudah, sana ikut Tante. Nanti langsung pulang ya. Bunda mau ke kota sebentar. Kamu jaga rumah."

"Iya, Bun."

Di rumah Tante Ros sudah ada anak lain yang menanti pengumuman. Yang satu anaknya dan satu lagi keponakan.

"Nomor siapa duluan nih yang mau dilihat?"

"Dewi aja, Bang."

"Berapa nomor ujian kamu, Wi?"

"06543986 Bang."

Tawa pun seketika pecah saat tulisan berwarna merah tiba-tiba menghiasi layar komputer.

"Wah, kamu belum beruntung, Wi. Coba lagi tahun depan ya."

"Nomor ujian kamu berapa Bagas?"

"06532235 Bang. Coba abang lihatkan lulus dimana."

Senasib dengan Dewi, Bagas pun memperoleh kotak merah dengan huruf kapital bertuliskan BELUM LULUS. Sekali lagi tawa pecah di ruangan itu.

"Mana nomor ujian kamu, Hira?" Bang Dika bersiap memasukkan nomor ujianku.

"06790998"

Aku tidak terlalu berharap untuk lulus. Apalagi Bunda sudah mewanti-wanti agar aku bersabar dua tahun lagi.

Kali ini kotak berwarna hijau dan tulisan LULUS. Semua yang ada di ruangan mengucapkan selamat, termasuk Tante Ros.

"Wah, Hira lulus. Kemarin jurusan apa yang dipilih?"

"Hira memilih Pendidikan Dokter Gigi, Tan."

"Bunda kamu pasti bangga."

"Pasti, Tan," jawabku lemah.

Setelah mengucapkan terima kasih aku pun pamit. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 6

- Bersambung -