Sesampainya di rumah, aku langsung menuju tempat dimana dindingnya penuh dengan tempelan. Bukan tempelan poster, tapi kertas berisi ringkasan materi, dengan huruf ukuran besar dan tebal sehingga terbaca dalam posisi berbaring sekalipun. Tidak hanya materi, sebagian lainnya berisi rumus penting fisika, kimia dan matematika.
Ada juga beberapa formula cepat menyelesaikan soal dalam hitungan detik. Di langit-langit kamar pun tidak luput dari berbagai kata penyemangat. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 7
'I CAN! BECAUSE I BELIEVE I CAN!'
'Persiapan yang matang adalah kunci keberhasilan. Tanpa persiapan, yang ada hanyalah kegagalan!'
'Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha'
'Sebuah perjalanan panjang, diawali dengan satu langkah kecil'
Ada banyak tulisan yang lain. Aku biasa membacanya sebelum tidur. Saat alam bawah sadar dalam keadaan alfa. Melakukan repetisi setiap malam, dan memimpikan dapat mewujudkan semua.
Sedari sore aku mengunci diri di kamar, dengan pikiran yang melanglang entah kemana. Panggilan adzan yang bersumber dari pengeras suara mesjid, membuyarkan lamunan. Aku segera berwudhu, mengenakan mukena dan melakukan kewajiban sebagai seorang muslimah. Di sujud terakhir aku memohon, supaya Allah membuka pintu hati Bunda.
Koran hari ini dipenuhi nama-nama pemenang ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru. Namaku tertera di sana, di kolom kedua baris dua puluh lima. HIRA REVANA ditandai Bunda dengan menggunakan stabilo kuning. Dia membawa koran itu dari tempat kerja.
Ternyata, banyak teman kantor Bunda yang anaknya mengikuti ujian sejenis. Tapi sayang mereka tidak lulus.
"Tidak gampang loh Bu untuk masuk ke universitas negeri."
Curhat seorang Ibu yang kata Bunda namanya Tante Lusi.
"Wah, selamat ya, Bu. Puteri Ibu lulus. Anak saya tahun ini menganggur, belajar lagi, supaya tahun depan bisa lulus."
"Selamat ya, Bu. Jarang-jarang loh bisa lulus dengan mudah."
Ucapan selamat datang silih berganti, membuat Bunda malu kalau sampai tidak mengirimkanku ke Padang. Apa kata dunia? Di saat banyak anak yang berharap jadi pemenang, tetapi harus kalah karena ketatnya persaingan, aku malah melenggang dengan gampang.
Gampang? Sebenarnya tidak. Aku benar-benar berjuang sekuat tenaga untuk lulus. Modal les tambahan yang hanya dua bulan, dan sisanya belajar otodidak.
Waktu bermain benar-benar tidak ada. Selama kost di Padang, aku bangun pukul dua dini hari. Sholat tahajud dan hajat sambil bercucuran air mata. Apalah kekuatanku kalau Allah tidak memberi. Semua kupasrahkan hanya kepadaNya. Senantiasa kusebut 'Pendidikan Kedokteran Gigi' disetiap do'aku.
Selesai sholat, dilanjutkan dengan membuka buku setebal dua inci yang berisi kumpulan soal. Aku juga meminta uang tambahan yang kugunakan untuk mengikuti kelas intensif selama beberapa minggu.
Dari pukul tujuh pagi hingga pukul enam sore, kuhabiskan untuk berdiskusi dengan pengajar. Bertanya tentang hal yang belum kuketahui.
Setiba di kost aku mengulang pelajaran hari ini, sampai pukul sepuluh atau sebelas. Terjaga kembali setiap pukul dua begitu setiap hari. Melelahkan? Ya.
Di saat teman-teman lain terlelap, aku malah terjaga. Kak Tami cukup tinggal kuliah tanpa harus berlelah-lelah. Sempat berpikir 'bahagia sekali kamu, Kak' tidak perlu mengalami nasib menjadi aku. Keberuntungan selalu saja memihakmu.
"Kamu boleh menempuh pendidikan, dengan catatan, Bunda hanya akan mengirim empat ratus ribu tiap bulan."
Ya, Tuhan. Apa-apaan ini? Bunda mengirim Kak Tami sejuta bahkan lebih! Separuhnya pun untukku tidak ada. Meskipun kecewa, aku tetap tidak mau membantah Bunda.
"Baik, Bun."
Setelah mengemas barang-barang, aku berangkat pagi-pagi. Rencananya, aku akan tinggal di kediaman ibu yang menawarkanku tumpangan tempo hari. Ini kulakukan untuk menekan biaya pengeluaran.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam. Nak Hira, sini masuk."
Bu Ain mempersilakan masuk. Dia juga menanyakan hasil ujianku.
"Bagaimana hasil pengumumannya?"
"Alhamdulillah, Bu. Lulus di UNAND."
"Alhamdulillah, mengambil jurusan apa kemarin?"
"Dokter gigi, Bu."
"Wah, jurusan favorit itu. Ngomong-ngomong, kamu sudah dapat tempat kost belum?
"Belum, Bu. Di tempat kost yang lama sudah penuh."
"Ya sudah, tawaran Ibu masih berlaku kok. Kamu tinggal di sini ya?"
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Bu."
"Kamu tidak perlu memikirkan biayanya. Anggap saja rumah sendiri. Kalau rumah kotor ya disapu. Lapar? Makan. Jangan lupa piringnya dicuci. Kamu juga boleh bantu-bantu Aisyah."
"Baik, Bu."
Bu Ain mengantarkanku ke kamar. Di sini kami tidur bertiga, aku, Sari dan Kak Aisyah.
Hidup menumpang tidaklah gampang. Harus pandai-pandai mengambil hati empunya rumah. Syukurlah Bu Ain sayang padaku. Dia memperlakukanku sama seperti dia memperlakukan anak dan keponakannya. Tiada beda.
Pukul tiga aku terbangun. Kebiasan sholat malam mulai kujaga. Hatiku semakin lembut, semakin perasa. Untaian do'a kupersembahkan untuk Ayah, Bunda dan Kak Tami. Aku sayang mereka.
Bersama Kak Aisyah --keponakan Bu Ain-- aku memulai hari. Kami membagi pekerjaan. Kak Aisyah memasak, aku menyuci piring. Saat dia membereskan rumah dan menyapu lantai, aku mengelap perabotan, jendela, dan pintu dari debu yang menempel.
Hari masih gelap, tugas yang selanjutnya menyuci pakaian. Aku menyikat, Kak Aisyah membilas. Setelah selesai kami menjemurnya berdua. Coba Kak Tami seperti Kak Aisyah. Pipiku hangat. Bendungan air mata jebol sudah. Aku segera menghapusnya.
"Ambilkan piring di lemari, Hira."
"Baik, Kak. Mau ambil berapa?"
"Ibu, Bapak, Sari, Riki, Hari, Kakak sama Hira. Keluarkan tujuh. Sekalian mangkuk untuk cuci tangan, sendok dan serbet."
"Baik, Kak."
"Kalau sudah, ajak semua ke ruang makan ya. Nasi dan lauk pauk sudah Kakak susun di meja."
Aku pun memanggil semua anggota keluarga. Pagi-pagi semua repot menyiapkan diri.
"Masuk kuliah jam berapa, Hira?"
"Jam delapan, Pak."
"Ya sudah, nanti sekalian saja berangkatnya. Bapak sama Ibu juga berangkat jam segitu."
"Baik, Pak."
"Sari, Riki, Hari, sudah selesai sarapannya? Ayo biar Papa antar ke sekolah."
"Sudah, Pa." Kompak mereka menjawab.
Aku dan Kak Aisyah bergegas membereskan meja makan.
"Kak, Hira mandi ya, mau siap-siap pergi ke kampus."
"Iya. Nanti kalau mandi sekalian sikat kamar mandi ya. Tadi Kakak lihat di sana ada pakaian dalam Sari belum dicuci. Sepertinya dia haid. Keluarkan dari situ. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 7
Biar nanti Kakak yang menyuci."
Kak Aisyah hanya tamatan SMP.
Dia akhirnya diboyong ke kota oleh Bu Ain lantaran tidak terurus di kampung. Ibunya sudah meninggal, sedang Bapaknya suka mabuk-mabukan.
Artinya, kami sama-sama menumpang di sini.
"Sudah, Kak. Biar Hira saja yang menyucinya."
Pengalaman menyuci darah, bukan kali pertama. Aku melakukannya untuk Kak Tami, Bulek yang habis melahirkan dan kali ini untuk Sari. Aku sudah tidak mual.
Sari sebenarnya anak yang baik, hanya saja kata Bu Ain, dia pemalas. Tidak ada pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan. Dia hanya tau sekolah, les, belajar, dan membaca komik.
"Hira, kamu sudah siap?"
Suara Bu Ain membuyarkan lamunanku.
"Sudah, Bu."
"Ini buat jajan di kampus." Bu Ain menyodorkan beberapa lembar puluhan ribu kepadaku.
"Tt- tapi Bu-"
"Sudah, tidak ada tapi-tapi. Itu jajan untuk seminggu. Kalau kurang bilang sama Ibu."
Hampir saja aku menangis mendapati perlakuan manis dari Bu Ain dan keluarganya.
"Terima kasih, Bu," segera kumasukkan ke dompet lembaran-lembaran tadi.
Mobil berplat BA itu melaju sekitar sepuluh menit, Pak Hen memberhentikannya di depan kampus. Setelah mengucapkan terima kasih banyak, akupun turun.
Di kelas, teman wanitaku semuanya berhijab. Aku pun berencana seperti mereka.
"Wah, bagus kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Baju lengan panjang kamu sudah ada? Kerudung Ibu ada banyak, nanti Ibu berikan padamu beberapa ya."
"Mmm ada, Bu. Hira punya beberapa helai kemeja kok."
"Aisyah ... nanti sore bawa Hira ke pasar. Pilihkan dua atau tiga helai baju untuknya."
"Baik, Bu."
"Sari juga, Ma."
"Baju sari kan banyak. Baru Mama belikan minggu lalu."
Aku harus memberitahu Bunda tentang niat berhijabku.
"Bu, Hira mau ke wartel dulu ya, mau telepon Bunda."
"Telepon dari sini aja. Buat apa jauh-jauh ke wartel."
"Baik, Bu."
Setelah menyampaikan keinginan untuk berhijab, bukannya mendukung, Bunda malah marah.
"Apa? Kamu mau memakai kerudung?"
"Iya, Bunda."
"Ingat, Bunda mengirim kamu ke sana untuk menuntut ilmu. Bukan untuk macam-macam. Apalagi untuk menjadi teroris."
"Tapi Bunda Hira cuma mau berhijab, bukan mau jadi teroris."
"Sudah! Jangan macam-macam. Kamu lihat Bunda. Ada atau tidak memakai kerudung? Tidak kan? Perbaiki sholat sama amalanmu. Itu sudah cukup!"
"Tapi Bun ..."
"Tidak pakai jilbab saja kamu jelek! Apalagi kalau kamu memakainya. Mau kamu terlihat seperti nenek-nenek?"
'Klik'
Tut tut tut ...
Telepon terputus. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 7
- Bersambung -