Aku berusaha menghubungi Bunda kembali, tapi tak ada jawaban.
"Sudah bicara dengan orang tua kamu?" | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 8
"Sudah, Bu. Bunda tidak mengizinkan."
"Kalau untuk kebaikan Ibu rasa izin tidak terlalu penting. Berhijablah, Ibu mendukungmu."
"Baik, Bu."
Sepertinya yang dikatakan Ibu Ain benar adanya. Untuk kebaikan lebih baik disegerakan. Umur belum tentu sampai besok-besok. Apalagi aku sempat mendengar dari kajian kampus, anak perempuan yang menutup aurat, menyelamatkan ayahnya dari jilatan api neraka.
'Hira tidak ingin Ayah mendapat siksa pedih akibat lalai menutup aurat'
Dengan ditemani Kak Aisyah dan Sari, Pak Hen mengantarkan kami ke pasar.
"Ini cantik Kak Hira."
"Iya, benar. Bisa buat ke kampus juga," Kak Aisyah membenarkan perkataan Sari.
Akhirnya kemeja polos merah muda dan denim biru laut telah berpindah tangan. Setelah cukup berkeliling, akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali.
Di bawah pohon mangga depan rumah ternyata Bu Ain telah menanti.
"Bagaimana Hira? Dapat bajunya?"
"Iya, dapat Bu," sambil mengangkat plastik kresek berwarna putih ke angkasa.
"Sudah dicoba belum?"
"Belum, Bu. Ini baru mau Hira coba."
"Warna pink sama biru, ya? Aisyah coba ambil kerudung Ibu di lemari. Yang senada dengan warna baju Hira, ya. Biar sekalian di coba."
"Iya, Bu."
Lama aku berdiri di depan benda bening memantul. Memperhatikan dengan seksama. Ada yang berbeda di sana. Kerudung polos hitam mampu menutup rambut kemerahan serta oval wajahku. Manis. Akupun tersenyum. Perlahan aku keluar kamar, memperlihatkan kepada Bu Ain, 'style' hari ini.
"Kamu terlihat berbeda, Nak."
"Maksud Ibu?"
"Maksud Ibu, kamu terlihat lebih anggun, Solehah. Sini-sini ..." Bu Ain merentangkan tangan, berharap aku menyambut pelukannya.
Aku pun berlari mendekati badannya yang berisi. Pelukannya hangat. Kapan terakhir kali Bunda memeluk, aku tak ingat. Lupa.
"Baik-baik sekolahnya ya, Nak. Biar nanti Hira jadi orang yang sukses."
"Iya, Bu. Hira tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Ibu berikan pada Hira. Ibu seperti orang tua bagi Hira. Terima kasih tempat bernaung yang sudah Ibu beri, Hira tidak kepanasan pada saat terik, juga tidak merasa kedinginan saat hujan datang. Makanan-makanan yang lezat, pakaian Hi-"
"Sudah, jangan diteruskan. Nanti pahalanya hilang loh. Ya sudah sana bantu Kak Aisyah menyiapkan makan malam."
" Iya, Bu."
Aku senang tinggal di keluarga ini, keluarga harmonis yang penuh kehangatan.
Bu Ain seorang guru Bahasa Indonesia yang bijaksana. Tak jarang murid-murid datang ke rumah untuk sekedar singgah atau pun meminta bantuan jika ada lomba menulis atau pidato antar sekolah.
Pak Hen bekerja di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat. Menjabat sebagai sekretaris, sangat pantas dengan polah yang simpatik dan berwibawa. Aku jadi teringat Ayah. Aku merindukan sosok Ayah yang hidup kembali di diri Pak Hen.
'Bagi anak perempuan, seorang ayah adalah 'rumah' tempat dimana dia bisa mendapatkan rasa aman. Tidak ada seorang pun di dunia ini yg ingin kehilangan rumahnya. Karena ditinggalkan seorang ayah adalah patah hati terhebat.' ---- quote
Di sini telah kudapatkan sosok penyayang ibu, kehangatan perlindungan ayah, cinta dari saudara dan saudari. Betapa hebat tangan-tangan Allah bekerja. Tak ada yang mustahil. Kun fayakun.
Suatu ketika Kak Tami kecelakaan. Motor yang ditumpangi bersama temannya menabrak motor lain. Teman Kak Tami terluka cukup parah, sedang Kak Tami hanya terseret beberapa meter.
Walau pun tubuh hanya lecet, namun separuh wajah bagian kanannya hancur terkena aspal. Ada sebagian daging yang harus dijahit lantaran sempat terlepas.
Hilang sudah kecantikan, bersama rasa pongah.
Bunda bergegas terbang ke Bandung, karena harus mengurus Kak Tami yang sudah terlanjur menginap berhari-hari di rumah sakit. Tidak ada yang mengurusnya di sana. Setiap hari dia hanya bisa menangis menyesali kebodohan, menaiki motor yang mereka tahu dalam keadaan rem blong. Dia juga semakin terpukul begitu mengetahui apa yang terjadi pada wajahnya.
Aku sempat merasa senang saat itu. Rasakan Kak Tami! Kakak sering memanggilku dengan sebutan 'jelek' . Akhirnya Kakak tahu rasanya buruk rupa.
Dia benar-benar terpuruk akibat kejadian itu. Berhari-hari mogok pergi kuliah. Hingga akhirnya Bunda mengizinkan cuti kuliah selama satu semester. Bunda pun membawanya pulang ke rumah, merawat luka parut yang meninggalkan bekas.
Kak Tami ibarat aset bagi Bunda. Kecantikannya diharapkan bisa menjadi modal untuk mendapatkan pasangan yang tak kalah istimewa. Apalagi yang kudengar, Bunda berencana menjodohkan Kak Tami dengan seorang dokter muda anak sahabat karibnya.
Segala cara diupayakan Bunda untuk mengembalikan wajah Kak Tami seperti sedia kala. Dari tradisional, hingga mendatangi banyak klinik kecantikan. Tidak sedikit uang dihamburkan untuk memuluskan mendapat wajah cantiknya kembali.
"Hira, bulan ini Bunda kirim separuh ya. Pengeluaran Bunda membengkak. Bunda harus membeli obat, salep wajah, krim penghilang luka serta makanan bervitamin buat Tami. Kamu tahu kan, semuanya itu tidak murah. Bunda harap kamu mengerti."
Lagi-lagi aku tidak tahu harus menjawab apa. Kebutuhanku juga sedang banyak-banyaknya. Biaya diktat, membeli alat praktik, dan entahlah. Lidahku kelu.
"Baik, Bun."
Aku memang mempunyai sedikit tabungan, tapi akan kugunakan untuk kebutuhan yang benar-benar mendesak. Kiriman dari Bunda terkadang berlebih. Itu karena aku tidak perlu memikirkan biaya kost, makan, listrik, air serta angkutan. Aku hanya mengeluarkan ongkos untuk pulang dari kampus, karena jadwal pulang kami tidak bersamaan.
Sesekali aku menelepon Bunda. Menanyakan kabarnya, walau tak pernah sekali pun Bunda menelepon dan menanyakan kabarku. Mungkin saja Bunda sibuk. Selalu aku berusaha memahami Bunda.
Malam ini pun aku akan menghubungi Bunda. Memberitahu kalau sudah dua hari aku demam tinggi. Aku ingin Bunda datang menjenguk, dan berharap segera sembuh setelah bertemu Bunda.
"Bunda, Hira sakit. Sudah beberapa hari demam tinggi. Hira juga sudah berobat. Tapi belum ada perubahan. Bunda datang ya jenguk Hira."
"Makanya kesehatan itu dijaga. Jangan makan sembarangan. Istirahat yang cukup. Maaf Bunda tidak bisa datang. Kakakmu belum benar-benar pulih. Tidak mungkin Bunda tinggal sendirian."
"Ya sudah, salam buat Kak Tami ya Bun."
"Iya, nanti Bunda sampaikan."
Air mataku menitik bagai rinai gerimis yang jatuh di sore ini. Kenapa selalu Kak Tami? Kapan giliranku Bunda?
Kesehatan Bu Ain belakangan ini menurun drastis. Beberapa kali kudapati ia mengalami pendarahan hebat. Pak Hen sudah membawa ke dokter berkali-kali, tapi belum ada perubahan. Akhirnya, dengan berat hati Bu Ain harus di opname.
Aku memandangi tubuh yang mulai susut digerogoti penyakit. Dokter belum mengatakan Bu Ain sakit apa. Butuh pemeriksaan yang intensif untuk mendapatkan informasi berharga itu. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 8
"Ibu cepat sembuh ya, Bu. Nanti Hira masak makanan kesukaan Ibu."
Wanita di hadapanku tersenyum lemah.
Tanganku digenggam, erat. Dia berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan untuk berbicara.
"Coba Ibu punya anak perempuan seperti kamu. Ibu akan merasa senang. Kamu lihat Sari? Dia sangat kurang dalam berempati."
"Ibu jangan bicara dulu ya, Bu. Istirahat saja. Biar Hira yang menjaga Ibu."
"Kamu tidak kuliah besok?"
"Jum'at dan Sabtu Hira kosong, Bu. Jadi Ibu tenang saja ya."
Aku sudah memberitahu Kak Aisyah kalau akan menginap di rumah sakit, jadi Kak Aisyah tidak perlu menunggu untuk mengerjakan pekerjaan rumah bersama.
Beberapa hari di rumah sakit, Bu Ain merasa tidak betah. Ia pun minta pulang. Dengan berat hati Pak Hen menuruti.
Bukannya membaik, kondisi Bu Ain malah memburuk. Setengah memaksa Pak Hen melarikannya ke Rumah Sakit. Berulang terus. Akhirnya dokter memvonis Ibu terkena kanker rahim stadium akhir. Ibu sempat beberapa kali dikemo terapi, sampai akhirnya menyerah karena tidak sanggup. Tak hanya keluarga yang terpukul, akupun juga.
Setiap hari aku menangis setiap berhadapan dengan Ibu. Saat membersihkan dan mengganti pakaiannya, yang kudapati hanyalah kulit pembalut tulang. Ingin aku meminta pada Allah, kembalikan Bu Ain yang dulu.
Hampir sebulan kuliahku berantakan. Perhatianku tertuju pada kesembuhan Ibu. Sore ini aku akan menyuapi Ibu bubur.
"Hira anak yang baik, cantik lagi."
"Cuma Ibu yang mengatakan Hira cantik."
"Ibu tidak sedang berbohong. Coba lihat siapa yang cantik sekarang? Ibu atau Hira?"
Aku tak kuasa menahan air mata. Kali ini
"Ibu yang cantik. Ibu tidak boleh sakit. Ibu harus sembuh. Huhuhu."
"Hira kenapa nangis? Nanti kalau Ibu sudah tidak ada, Hira jangan pernah lupa sama Ibu ya?"
"Ibu jangan bicara seperti itu, Bu."
Pak Hen mencoba berikhtiar. Kali ini pengobatan Ibu akan dilakukan di penang, Malaysia. Banyak pemeriksaan dilakukan, hingga akhirnya dokter memanggil Pak Hen. Pak Hen bilang dokter menyuruh mereka kembali ke tanah air.
"Pak, Ibu sehat kok. Dirawat saja baik-baik. Diberi makanan yang enak-enak. Jangan lagi diberi obat-obatan ya. Kasihan Ibu."
Yang kutahu, dokter berkata demikian apabila persentase untuk sembuh sangat tipis. Aku ingin menggugat Allah. Kenapa Dia mengirimkan padaku seorang Ibu, sekaligus mengambilnya tiba-tiba.
"Hira, sini Nak."
"Iya, Bu."
"Coba lihat ini, Ibu meminta Bapak membelikan kamu ponsel. Nanti kalau ada apa-apa, Ibu bisa cepat menghubungi kamu."
"Terima kasih, Bu."
Aku sudah tidak semangat menerima pemberian Ibu. Apalagi bicara Ibu sudah berbeda, lidahnya mulai memendek. Ibu juga mengeluh, penglihatannya semakin berkurang. Hingga di Jum'at pagi, saat aku sedang mengikuti kuliah umum, Pak Hen menghubungiku.
Setelah permisi untuk berbicara di telepon, akhirnya dosen membolehkanku keluar kelas.
"Iya, Pak."
"Hira izin pulang ya, Nak. Bapak mau minta tolong sama Hira."
"Sekarang, Pak?"
"Iya, sekarang. Bisa kan, Nak."
"Baik, Pak."
Perasaanku mengatakan, ada yang tidak beres. Benar saja, banyak mobil bergerak menuju rumah. Aku juga sempat melihat beberapa mobil bak membawa berpapan rangkaian bunga.
Kupercepat langkahku, ada sesuatu yang terjadi dengan Ibu. Benar saja, mereka yang datang, hendak melihat Ibu untuk terakhir kali.
"Ibu ...!"
Aku tak bisa membendung rasa haru. Kudekati jasad yang sudah terbujur kaku.
"Jangan ditangisi. Tolong, Nak. Jangan ditangisi. Kasihan almarhumah."
"Hira, sini. Sebelum meninggal Ibu berwasiat, beliau minta Hira, Aisyah dan Sari yang memandikan. Apakah kamu bersedia?"
"Saya bersedia, Pak." | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 8
- Bersambung -