Dibantu oleh seorang bilal dan beberapa saudara perempuan Ibu
Kami pun memandikan jasad yang telah terbujur kaku. Menyiram dengan air, mengkafani dan bersiap ikut mengantarkan ke mesjid untuk disholatkan. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 9
Lautan manusia mengiringi kepergian Ibu. Perempuan yang sangat baik, penyayang, pemurah dan selalu tersenyum. Dia tidak terlihat bersedih di detik-detik terakhir sebelum malaikat maut menjemput.
Kaum bapak akan melakukan sholat jenazah seusai sholat Jum'at.
Urusan jenazah Bu Ain sudah selesai. Sebagian tamu, kerabat dan handai taulan mulai berpulangan. Di acara pemakaman inilah aku mengenal saudara-saudara Ibu. Ada banyak. Salah satunya Tante Nana. Beliau adalah adik bungsu Bu Ain.
"Maaf, Adik ini siapa ya? Kenapa tadi ikut memandikan Kakak saya?"
"Saya Hira, Bu."
"Tante. Panggil saya Tante Nana. Maksud saya apa kamu saudara dari Atok Yahya?"
Perempuan itu menyebutkan nama yang sungguh asing, aku tidak mengenali.
"Hira saudara saya, Na. Anak saudara dari kampung."
Pak Hen menutupi identitasku semata-mata agar semua orang berlaku baik. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan keluarga Pak Hen. Kami bertemu secara tidak sengaja saat mereka mengantarkan Sari les tambahan, di tempat yang sama aku mengikuti intensif.
"Oh ... begitu. Hira main-main ke rumah. Tante tinggal di Padang Sidempuan. Enam jam perjalanan kalau dari sini."
"Iya, Tan. Terima kasih."
"RumahTante juga ada di sini, di belakang showroom Asia."
Musyawarah keluarga dilakukan, mengingat Bu Ain meninggalkan tiga orang anak. Sari yang duduk di bangku SMA dan dua adik yang masih SD.
Akhirnya diputuskan, akan dicarikan calon mempelai wanita untuk mendampingi Pak Hen. Istri yang akan mengurus kebutuhannya, seperti yang dilakukan Bu Ain, Ibu yang akan menjaga anak-anak. Makam Bu Ain masih basah. Sudah harus ada yang menggantikan posisinya.
Awalnya Pak Hen menolak. Tapi pihak keluarga Bu Ain terus mendesak.
"Ini demi kebaikan kamu dan anak-anak Hen."
"Tapi, aku belum memikirkan untuk mencari pengganti."
"Kau harus memikirkannya. Tak akan sanggup kau hidup tanpa ada pendamping. Kami sebagai pihak keluarga Ain sudah ikhlas. Keputusan kembali di tanganmu."
Karena terus menerus di bombardir dengan berbagai argumen, Pak Hen pun menyerah.
"Baiklah jika itu memang terbaik."
"Sekarang kita putuskan, calon pendamping kamu yang mencari, atau kami yang memilihkan?"
"Terserah Paman. Saya menurut saja."
"Kami mau calon istri kamu nanti tidak hanya menyayangimu, tapi juga menyayangi anak-anak."
Kandidat utamanya adalah Kak Aisyah. Salah satu Kakak Bu Ain yang mengajukannya.
"Aisyah baik. Masih ada hubungan kekerabatan. Dia cekatan mengurus rumah tangga dan menyayangi anak-anakmu."
Pak Hen kaget. Aisyah yang sudah bertahun-tahun ikut keluarganya. Aisyah yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Aisyah gadis belia yang masuk dalam kategori cantik dan menarik. Penampilannya pun sederhana. Selisih umur dengan Pak Hen terlampau jauh.
"Jangan Aisyah, dia sudah seperti anakku sendiri. Ditambah lagi pekerjaanku menuntut pendamping yang setidaknya berprofesi tidak jauh dari dunia pendidikan. Aisyah hanya tamatan SMP."
Aku sempat senang mengetahui keluarga mengusung Kak Aisyah. Dia pantas mendapatkannya. Apalagi, sebelum menyodorkan nama Kak Aisyah, mereka sudah menanyakan terlebih dahulu padanya, dan Kak Aisyah setuju.
Alasan Pak Hen akhirnya diterima. Akan timpang kalau beliau yang seorang 'magister' berdampingan dengan 'orang dapur tamatan SMP' yang selama ini bantu-bantu di rumahnya.
"Ya sudah, jangan lama-lama ya, Hen. Kami menginginkan dalam bulan ini, sudah ada yang menggantikan posisi Ain."
Paman dan Bibi memutuskan tetap tinggal untuk beberapa hari. Sekaligus mencari solusi untuk aku dan Kak Aisyah jika nanti Pak Hen menikah.
Rencananya aku akan dipindahkan ke rumah Tante Nana. Di sana, di rumah besar berkamar tiga sudah ada yang mengisi. Dua anak lelaki tanggung dan satu anak gadis berusia dua puluh tujuh. Masih tersisa satu kamar kosong.
Solusi untuk Kak Aisyah, dia akan dicarikan jodoh, menikah dan mengikuti suaminya.
Pendamping Pak Hen, dan calon untuk Aisyah sudah didapatkan. Acara ijab qabul akan dilaksanakan dalam satu hari secara bergantian. Selain memang waktu yang mendesak, Kak Aisyah juga secepatnya akan di boyong suaminya ke luar daerah.
"Saya terima nikah dan kawinnya Tati Handayani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ..."
"Sah?" Tuan kadi bertanya pada orang-orang yang berada di ruangan.
"Sah."
"Alhamdulillahi robbil alamin ..."
Doa pun dipanjatkan. Acara 'ijab qabul' akan dilanjutkan dengan acara resepsi di gedung yang sengaja di sewa untuk memberi tahu kerabat, sanak saudara dan rekan kerja kalau Pak Hen sudah menikah. Sedangkan Kak Aisyah, acaranya dilanjutkan di rumah, dengan mengundang tetangga-tetangga yang terdekat.
Banyak omongan yang menyetujui keputusan menikah Pak Hen. Banyak juga yang nyinyir.
"Lelaki memang begitu, kuburan binik masih merah sudah memikirkan untuk menikah lagi."
"Dasar lelaki tidak setia. Saya pikir Pak Hen orangnya baik, ternyata ..."
Ingin aku membalas. Mengatakan kalau Pak Hen memang baik. Ini kemauan pihak keluarga Bu Ain sendiri. Pak Hen hanya menuruti. Keluarga takut Pak Hen terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi ya sudahlah. Masyarakat memang suka begitu. Memberi label, tanpa bertabayyun terlebih dahulu.
Sebelum pindah aku sempat berkenalan dengan Bu Tati. Perempuan berkulit putih bersih, berambut ikal bergelombang. Bu Tati juga berprofesi sebagai guru, tepatnya guru biologi. Tampan dan cantik. Sungguh pasangan serasi.
Kak Aisyah sudah berangkat semalam sore menuju Aceh. Di sana ia akan memulai hari-harinya. Membangun istana kecil, melahirkan anak-anak lucu dan menghabiskan masa tua.
Aku pun jadi menjadi anggota baru di rumah Tante Nana. Mereka bisa saja menyuruh mencari kost-kostan, tapi perkataan Pak Hen yang mengatakan pada pihak keluarga bahwa aku anak angkatnya, akhirnya menjadikan mereka berpikir hubungan kekeluargaan tidak boleh terputus. Harus tetap berlanjut. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 9
Pak Hen membantu membawakan pakaian serta buku-buku, menuju tempat tinggal yang baru.
Sebelumnya Harun, Indra dan Kak Yati sudah diberi tahu akan kedatanganku.
Kami tiba di rumah berpagar hijau tua. Terkunci. Setelah memanggil berulang kali keluarlah seorang anak lelaki berambut cepak, dia Harun. Masih duduk di bangku kelas satu SMA.
"Mari masuk Pak."
"Iya. Bapak tidak lama-lama di sini. Ibumu sudah memberi tahukan kalau Hira akan tinggal di sini?"
"Iya, Pak. Sudah. Kamar juga sudah dibersihkan dari kemarin."
"Ya sudah. Bapak titip Hira di sini. Dijaga baik-baik. Anggap seperti Kakak sendiri ya Har."
"Iya, Pak. Beres."
Harun membantu membawakan barang-barangku. Aku mendapatkan satu kamar dengan luas sembilan meter persegi. Kamar itu tepat berada di samping kamar Harun. Warna catnya putih polos. Terdapat 'jendela monyet' di salah satu sisinya, yang tepat berhadapan dengan pintu kamar. Lantainya dingin. Terbuat dari tegel kuning bermotif acak.
"Kak Hira. Ini ada tikar untuk alas tidur Kakak." Harun menyodorkan satu gulungan tikar.
"Terima kasih."
"Nanti kalau Mama kemari, dia akan bawakan tempat tidur yang ada di kampung. Mama juga bilang Kakak boleh tidur dengan Kak Yati selama Mama belum datang."
"Iya Har. Kak Yati mana? Kok hanya Harun sendiri yang di rumah?"
"Kak Yati dinas malam Kak. Bang Indra ada di kamar. Sedang tidur. Tadi malam begadang ngerjain tugas kuliah."
"Ouh. Ya sudah terima kasih ya."
"Mama juga bilang, kalau ada apa-apa, Kakak bilang saja sama Harun."
"Iya loh."
"Kakak lapar tidak?"
"Memangnya kenapa?"
"Di dapur ada rice cooker sama kompor Kak. Tapi kami tidak pernah memasak. Kalau merasa lapar ya beli makanan jadi di luar. Kalau Kakak mau masak, biar Harun tunjukin dimana warung dekat sini. Kalau mau nasi padang, biar Harun yang belikan."
"Oh gitu. Iya deh. Nanti lapar Kakak kabari ya Har."
Tinggal di sini pun aku tidak memikirkan bayaran kost. Hanya saja, untuk biaya listrik kami bagi rata. Itupun tidak banyak, sekitar dua puluh ribu tiap orang per bulan.
Sebagai gantinya, aku membantu mengerjakan pekerjaan rumah.
Seperti biasa, kebiasaan bangun pagi tak pernah lekang. Walaupun tidak terlalu pagi, saat adzan berkumandang aku selalu terjaga.
Aktivitas pertama diawali dengan sholat subuh dan tilawah alqur'an. Menyapu lantai dan mengepel rutin setiap hari. Menyuci baju sendiri setiap kali mandi. Hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan. Maklumlah sebenarnya ini termasuk rumah persinggahan. Barang-barang yang tersedia pun pas-pasan. Tante Nana mengirimkan anak-anaknya di sini untuk mendapat pendidikan yang lebih baik dari pada di kampung.
Pengeluaranku membengkak. Ternyata biaya yang kuhabiskan cukup besar. Biaya makan, ongkos, listrik dan beberapa pengeluaran lainnya membuat keningku berkerut. Aku mulai memutar otak, bagaimana menyiasatinya. Bunda. Ya, aku harus menghubungi Bunda. Siapa tahu aku memperoleh solusi.
"Assalamu'alaikum, Bunda."
"Wa'alaikum salam."
"Bunda sehat?"
"Iya sehat, ada apa Hira?"
Aku mempercepat pembicaraan sambil melihat argo yang melompat cukup ligat. Aku menelepon Bunda dari wartel dekat rumah. Pulsaku belum sempat diisi. Di dekat sini tidak ada yang menjual.
"Hira butuh kiriman lebih, Bunda. Untuk bulan ini saja. Hira juga baru pindah kost."
"Iya nanti Bunda kirim lebih."
"Terima kasih, Bunda."
Syukurlah Bunda mau mengiyakan. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 9
Terbayang kalau sampai Bunda menolak. Apa jadinya aku.
- Bersambung -