Dengan menumpang angkot aku membawa Bunda berobat. Tempat praktek dokter Ilham sore ini sudah mulai ramai. Bunda mendapat nomor urut dua belas. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 13
Masih lama harus menunggu. Untuk mengisi kekosongan aku pun mengajak Bunda berbicara.
"Kak Tami apa kabar, Bun?"
"Bunda kurang tahu. Dia tidak pernah memberi kabar."
"Bagaimana Bunda tahu kalau dia baik-baik saja?"
"Setiap tanggal lima, Bunda rutin mengirim uang bulanannya. Dia hanya menelepon jika uang kiriman kurang."
"Bunda tidak memberitahu Kak Tami kalau Bunda bangkrut?"
"Tidak. Supaya tidak jadi pikiran."
"Bunda juga tidak memberitahu Kakak kalau Bunda sakit?"
Bunda menggeleng lemah. Aku menatap mata yang dulu hitam, dan sekarang mulai berubah menjadi kelabu, berusaha menyelami isi hatinya. Ingin aku mencari tahu, kenapa Bunda se-sayang itu pada Kak Tami, meski Kak Tami tidak membalasnya.
"Mmm ... mobil bunda mana?"
"Sudah lama Bunda jual, Bunda gunakan sebagian untuk menutup hutang di Bank, dan sebagian lagi untuk biaya persiapan wisuda Kakakmu."
Hah! Aku tercekat. Sudahlah! Aku malas membahasnya. Bunda kenapa seperti itu? Aku harus membiayai kuliah dari keringat sendiri, sedang Kak Tami? Sampai tamat pun masih menerima hibah dana dari Bunda.
"Bunda jangan mikirin kuliah Hira ya, alhamdulillah sudah beberapa semester ini Hira mendapatkan beasiswa."
"Syukurlah kalau begitu."
Kami bercerita banyak hal, terutama tentang kenapa Bunda bisa tertipu. Bunda terlalu percaya, sehingga menitipkan dana yang lumayan besar demi mendapatkan untung yang juga jauh lebih besar lagi. Aku juga menceritakan kuliahku dan tiba-tiba aku pun teringat pada Om Mora.
"Bunda, Hira pernah ketemu sama Om Mora, teman Ayah dulu sewaktu masih muda."
"Lalu dia bilang apa sama kamu?"
"Hira yang menemui Om Mora pertama kali, akhirnya Hira dapat tumpangan. Bunda dapat salam juga dari Tante Lida."
"Iya."
"Om Mora juga berniat menjodohkan Hira dengan puteranya, Reza. Menurut Bunda bagaimana?"
"Terserah kamu. Bukankah kamu yang akan menjalaninya."
"Hira minder, Bun. Reza tampan, kaya, calon camat pula. Sedangkan Hira? Bunda tahu sendiri kan kalau Hira jelek kondisi keuangan kita juga sedang terpuruk. Tidak pantas rasanya kalau Hira harus bersanding dengan anak Om Mora."
"Kenapa tidak di coba?"
"Tidak, Bun. Hira cukup tahu diri. Reza tidak sekufu dengan Hira. Yang ada Hira malah diduain. Bunda tahu sendiri kan kalau pejabat suka punya istri simpanan."
"Pikiranmu kejauhan."
"Bunda bantu ya ngomong sama Om Mora, bilang kalau Hira tidak bisa mendampingi Reza. Kalau Om Mora masih memaksa, Bunda sodorin saja Kak Tami. Lagi pula, wajah Kak Tami sudah seperti dulu lagi kan? Sudah can-"
Obrolan harus terhenti lantaran giliran Bunda yang harus segera diperiksa.
Bunda mengalami gangguan dengan asam lambungnya, luka di kaki juga tidak mengkhawatirkan.
"Kalau masih mau sehat, jangan mikir macam-macam ya, Bu. Apa yang kita pikirkan berpengaruh pada kondisi asam lambung. Jangan panik atau cemas, oke!"
"Halo, Kak Tami?"
"Iya, ini siapa ya?"
"Ini Hira, Kak. Kakak sedang sibuk tidak?"
"Mmm ... tidak. Ada apa Hira?"
"Bunda sakit, Kak. Bunda juga memberitahu Hira kalau Kakak kan sudah selesai mata kuliah. Tinggal menunggu jadwal wisuda. Kak Tami tidak berniat pulang dulu ke Sumatera?"
"Tanggung kalau Kakak pulang. Tiket pesawat juga sedang mahal-mahalnya. Kamu tahu sendiri kan kalau ini musim liburan?"
"Bunda sekalian mau membicarakan masalah perjodohan. Kakak tinggal memilih, mau sama dokter muda anak karib kerabat Bunda, atau calon camat anak Om Mora?"
"Ngaco kamu! Bilang sama Bunda aku bukan anak-anak lagi. Tidak perlu mencarikan jodoh untukku! Aku bisa mencarinya sendiri! Lagi, aku sudah ada calon sendiri. Namanya Bima. Dia sudah mapan. Bilang sama Bunda tidak perlu mengatur kehidupanku! Kamu paham?" | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 13
"Iya, Kak."
Stok kata-kataku habis, ketika harus berhadapan dengan Kak Tami. Bertahun-tahun terpisah selama kuliah, tidak membuatnya berubah. Dia masih Tami yang egois!
Seorang kakak yang dulunya senang membuatku menderita akibat ulahnya.
Setengah memaksa aku meminta nomor gawai miliknya, pada Bunda. Awalnya Bunda menolak, dengan alasan tidak mau Tami mengetahui kondisi keuangan yang sesungguhnya. Karena aku bersikeras, Bunda pun memberikan.
Diam-diam, dari hasil penjualan mobil, Bunda membelikannya gawai. Tujuannya agar ia mudah memberi kabar. Ternyata fasilitas tersebut tidak ia gunakan untuk menanyakan kabar Bunda. Terlihat kekecewaan di wajah keriput Bunda saat menceritakan hal itu padaku.
Huh. Aku hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. Sebegitu istimewakah seorang Tami di mata Bunda? Semua kebutuhan hidupnya tidak pernah kekurangan. Selalu tercukupi dengan baik. Bahkan, dalam kondisi terpuruk pun Bunda masih melimpahkan berbagai kemudahan untuknya.
Ingin aku menjerit, dimana keadilan untukku Bunda? Kenapa Bunda perlakukan kami secara berbeda? Tapi akhirnya hati kecilku berbisik;
'Kesuksesan tidak datang dari langit. Ia juga tidak hadir dari perpaduan kesenangan dan rasa bahagia. Sejatinya ia diperoleh dari tetesan keringat, cucuran air mata bahkan darah'
Setengah bulan lebih kuhabiskan waktu bersama dengannya, perempuan yang kini mulai beranjak sepuh, walau masih terdapat sisa-sisa kecantikan di sana.
Berat aku meninggalkannya seorang diri, apalagi dalam kondisi sedang terpuruk seperti sekarang ini.
Jawaban Kak Tami mengenai perjodohan pun menyisakan semburat kecewa di wajahnya. Jelas-jelas Kak Tami menolak dua pilihan yang menurutku 'terbaik' saat ini.
Mengenai Om Mora, Bunda sudah menghubungi beliau, menyatakan ketidak sediaanku menjadi pendamping puteranya. Om Mora pun dapat memahami.
"Tenang saja, Mira. Dengan atau tidak adanya perjodohan antara anak-anak kita, keluarga kita akan tetap menjadi saudara."
Begitulah perkataan Om Mora kala itu.
Adalah seorang pria bernama Dani, seorang prajurit muda berpangkat sersan yang berdinas di kesatuan polisi militer.
Kami bertemu pertama kali secara tidak sengaja saat sama-sama menumpang bus malam menuju kota Padang.
Kami duduk pada deretan bangku yang sama, kursi nomor dua dari pintu masuk bus.
Aktivitas yang selanjutnya kami lakukan adalah berkenalan. Dia menunjukkan 'badge' namanya. Di seragam hijau pekat sebelah kanan tertera nama 'DANI DERMAWAN'.
Selama perjalanan aku lebih banyak terdiam, berbeda dengan Dani, ia banyak bercerita mengenai keluarganya, pengalaman menjadi seorang tentara, tentang kesukaannya, adik-adik dan segala hal yang berkaitan dengan dia.
Dani juga tidak berayah. Sebagai anak tertua, sudah menjadi tugasnya-lah untuk menopang perekonomian keluarga.
Sudah lebih tiga tahun ini dia menjadi tulang punggung keluarga, tepatnya setelah Ayahnya meninggal dunia akibat laka kecelakaan lalu lintas. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 13
- Bersambung -