Pertemuan kala itu diakhiri dengan tukar-menukar nomor gawai, dan berjanji akan saling berkirim kabar.
Kami pun berpisah tepat di pemberhentian bus yang terakhir. Aku menuju rumah kost, dan Dani menuju mess tempat dia selama ini tinggal. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 14
Sekilas mata menilai, Dani adalah sesosok pria yang baik, penyayang, penuh tanggung jawab, serta sangat mencintai NKRI. Poin terakhir penilaianku berdasarkan profesinya sebagai tentara.
Alangkah banyak 'calon jodoh' yang dikirimkan Allah buatku. Dari Reza 'si ajudan walikota', Dani 'prajurit negara' dan kali ini orang yang begitu dekat.
Semua begitu paradoksal jika dibandingkan keadaan sewaktu duduk dibangku sekolah menengah atas. Jangankan untuk menjalin suatu hubungan, satu pun pria tidak ada yang mau mendekat. Kegiatan mengibarkan bendera dan menjadi anggota pecinta alam jualah yang menghadiahiku kulit eksotis mendekati legam. Padahal, jargon kala itu 'cantik identik dengan kulit putih'
Sekarang ini, Allah memberikan banyak pilihan padaku. Tidak tanggung-tanggung, semuanya masuk kategori di atas rata-rata.
"Hira dari kampung halaman ya, Nak."
Ucu Nana dan beberapa anggota keluarga lain ternyata sudah ada di rumah. Dia memintaku mengganti panggilan 'Tante' menjadi panggilan 'Ucu' aku tidak tahu kenapa. Yang kutahu, itu panggilan sayang dari keluarganya.
"Iya, Cu."
"Ayo langsung makan, Ucu masak banyak. Ada gulai kepah, gulai ikan, sambal udang, ikan gembung bakar ..."
Ucu menyebutkan satu demi satu makanan yang dimasaknya bersama dengan anggota keluarga lain
"Iya, Cu. Hira mau meletakkan ransel dulu di kamar ya."
Sebelum menuju kamar, tak lupa ku salam tangannya.
Niatku yang akan langsung menuju kamar mandi dan membersihkan badan harus tentunda lantaran Ucu sudah menyiapkan makanan untukku.
"Nanti saja mandinya, ayo makan dulu."
Tak kuasa menolak, akupun menuruti ajakannya. Kami duduk berhadap-hadapan di meja makan berbentuk persegi panjang dengan taplak rajutan dilapis kaca tipis bening transparan.
"Makan yang banyak, ya. Biar berisi seperti Wak Mima."
Wak Mima adalah kakak tertua di keluarga mereka. Setelah Wak Mima, nomor keduanya Bu Ain, disusul anggota keluarga lain, dan ditutup oleh Ucu Nana.
"Iya, Cu. Ini juga Hira makannya sudah banyak."
"Masih kurang, Ucu tambahi lagi ya."
"Ja-"
Sendok berisi butiran-butiran putih kecil itu sudah mampir di piringku. Aku pun mengumpulkan tenaga, berusaha untuk menghabiskannya. Aku tidak pernah makan sebanyak ini.
"Harus, habis."
Ucu Nana mengangkat telunjuknya ke udara, tidak lupa ia mengayunkan seperti memberi peringatan pada anak kecil agar tidak nakal.
"Iya, Cu."
Ini bukan pertemuanku yang pertama dengan Ucu. Masih ingat sewaktu penyelenggaraan jenazah Bu Ain? Ya, kami bertemu di sana. Setelah menumpang di rumah singgahnya, kami jadi sering bertemu. Sebulan bisa sekali, bahkan dua kali. Maklum saja, Harun anak semata wayang, yang sengaja dikirim jauh-jauh untuk menempuh pendidikan yang lebih baik daripada di kampung.
Harun juga bukan anak SMA berkepala nyaris botak, seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Sudah setahun yang lalu sejak dia lulus seleksi akademi polisi.
Perjalanan yang tidak gampang. Aku menyaksikan sendiri saat dia harus berjibaku dangan banyak ujian. Bahkan Ucu Nana sempat memintaku mengajari Harun tes potensi akademik, hitungan koran, psikotes dan tes lainnya.
Setelah dinyatakan lulus, dia pun berpindah dari rumah ini dan tinggal di asrama bersama rekan-rekannya yang lain.
"Hira mau tidak jadi menantu, Ucu?"
Uhuk! Aku tersedak demi mendengar perkataan terakhir Ucu. Menjadi menantu? Apa tidak salah?
"Hira tidak salah dengar, Cu? Coba Ucu ulangi sekali lagi. Sepertinya jilbab Hira masangnya terlalu ketat. Jadi telinga Hira ketutupan." | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 14
"Hira mau tidak jadi bagian dari keluarga, Ucu?"
Kali ini aku punya jawaban gamblang. Tanpa menunggu lama aku pun berkata;
"Cu, Harun itu sudah seperti adik Hira sendiri. Usianya juga jauh di bawah Hira."
"Usia tidak menjadi masalah. Banyak kok yang menikah dengan perbedaan usia yang mencolok."
"Tapi, Cu, kuliah Hira juga belum selesai."
"Kan menikahnya tidak hari ini juga. Masih harus menunggu beberapa tahun, sampai Harun menyelesaikan pendidikan polisinya."
"Iya sih, Cu. Tapi ..."
"Tidak ada tapi-tapi ya. Ucu maunya Hira, titik."
Ucu yang keras kepala. Sama seperti momen-momen kebersamaan kami. Setiap kali datang, Ucu selalu membawaku berkeliling. Di suatu waktu mengajakku menjelajahi satu demi satu pedagang mukena.
Begitu banyak toko yang kami datangi, tak sedikit pun ia tertarik. Setelah melihatku terduduk setiap masuk ke toko berikutnya akhirnya ia pun memutuskan membeli dua kodi mukena, sarung serta sajadah.
"Untuk apa barang-barang sebanyak ini, Cu?"
"Buat sedekah lebaran nanti. Sengaja Ucu beli jauh-jauh hari menghindari lonjakan harga."
Dia tidak pernah absen membawaku kemana-mana. Bahkan hanya untuk sekedar membeli es campur.
"Di sini es campur yang paling enak." Promosi Ucu suatu kali.
"Dari mana Ucu mengetahuinya? Ucu sudah makan semua es campur di kota ini-kah?"
"Maksud Ucu, yang sesuai dengan selera Ucu."
Ucu pun tertawa, setelah meralat perkataannya. Rasa enak kan soal selera. Menurut kita enak, belum tentu menurut orang lain.
Beberapa bulan lalu juga aku turut menginap di rumah sakit, saat Ucu Nana divonis dokter terkena kanker payudara stadium dua. Dokter melakukan proses pembedahan pada payudara kirinya. Setelah menjalani tujuh proses kemoterapi, banyak perubahan yang terjadi. Rambut yang sempat meranggas mulai tumbuh helai demi helai. Kulit yang sempat menghitam pun mulai memudar kembali menjadi putih.
Apa mungkin karena aku membantu merawat ketika dia sakit, yang menjadi penyebab dia menginginkanku menjadi menantunya? Memang benar, aku yang menjaga setiap obat kemo masuk ke tubuhnya, menyuapi, bahkan membersihkan saat Ucu buang air kecil maupun besar. Tapi menurutku, pekerjaan seperti itu biasa dilakukan siapa saja ketika berhadapan dengan orang sakit. Tidak ada yang istimewa. Ah ...! Entahlah.
Bip ... bip ... bip
Sebuah pesan singkat yang berasal dari nomor tidak dikenal masuk ke nomorku
[Assalamu'alaikum, Hira. Masih ingat padaku?]
[Wa'alaikum salam. Ini siapa ya?] aku mencoba mengingat-ingat, siapakah gerangan yang mengirimkan pesan di sore yang begitu cerah.
[Coba tebak, kita pernah melakukan perjalanan malam bersama]
Aku menepuk kepalaku pelan. Bukankah hanya kepada Dani aku memberikan nomor, ketika dia meminta untuk saling bertukar.
[Iya, ingat. Ada apa, Dan?]
[Kamu sibuk tidak? Boleh tidak aku bertamu ke tempat kamu. Sekalian ada yang mau aku omongin sama kamu]
Aku mencoba mengingat apa yang akan aku lakukan hari ini. Setelah memastikan tidak ada kegiatan aku pun meng'iya'kan
[Tidak. Aku tidak sibuk. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 14
Kamu mau datang, emangnya kamu tahu tempat tinggalku?]
- Bersambung -