Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 12

"Loh kok balik, Kak? | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 12

Bukannya Kakak pulang ke kampung halaman, Kakak?"

Sesosok pria berkepala nyaris botak tiba-tiba muncul, membuyarkan lamunanku tentang Reza.

"Mmm ... iya, Har. Pas kakak balik, ternyata mereka nggak di rumah. Coba dihubungi, ternyata sedang di Bandung."

Aku terpaksa berbohong. Bagaimana pun, tidak akan sanggup aku memberitahu kalau Bunda lebih baik tidak melihatku, daripada melihatku berhijab.

"Kakak tidak merasa kelelahan?"

"Ya lelah lah. Ini rencananya mau meluruskan kaki. Istirahat. Kak Yati mana?"

"Kak Yati dinas pagi. Jam dua juga sudah pulang."

"Bang Indra?"

"Biasa, tidur. Begadang terus dibantai tugas kuliah."

"Kakak masuk kamar dulu ya," aku pun berlalu karena alarm di tubuh sudah mengisyaratkan untuk beristirahat.

Semenjak insiden hijab beberapa waktu lalu, aku belum ada menghubungi Bunda. Aku merasa belum siap kalau Bunda harus marah, menghardik, mengusir bahkan memecatku jadi anaknya.

Seburuk apa pun Bunda memperlakukan, aku tetap anaknya, dan dia tetap Bundaku. Ibarat dicincang air tiada putus, begitulah hubungan pertalian darahku dengan Bunda. Berkah air susu yang mengalir di tubuh ini menjadikan darah dan daging yang kini bisa menopang jiwa rapuhku. Tak sedikit pun ada dendam di hati.

Terkadang aku bertanya pada diri sendiri, terbuat dari apakah engkau duhai kalbu? Meski perlakuan kasar Bunda bertubi-tubi, aku tetap menyayanginya.

Sebagai manusia biasa sangat wajar kalau awalnya aku merasa kecewa pada sikapnya. Ketimpangan dalam memperlakukan aku dan Kak Tami sempat membuatku

merasa sedih. Rasa sayang yang besar pada Bunda, ternyata mampu mengalahkan perasaan sedih dan kecewa.

Rasa rindu yang menggebu pada Bunda jua lah, membuatku memutuskan untuk meneleponnya saat ini. Aku ingin mendengar kabar darinya.

"Ya halo ..." wanita yang tak lain adalah Bundaku mengangkat telpon di seberang.

"Apa kabar Bunda?"

"Baik ..." terdengar lemah suara Bunda. Aku yakin ada yang tidak beres yang sedang terjadi padanya.

"Ada apa, Bun? Cerita ya sama Hira ... suara Bunda beda, tidak seperti biasanya."

"Iya, Bunda sedang dalam masalah."

Akhirnya Bunda pun menceritakan, duit yang selama ini ia setor setiap bulan, dalam rangka arisan bulanan, dibawa kabur oleh temannya. Bunda menjadi korban penipuan.

"Banyak yang hilang, Bun?"

"Lumayan, mobil sama rumah sudah tergadai ke Bank. Bunda juga sempat mengagunkan slip gaji buat ambil pinjaman lain."

Aku terkejut. Bunda yang selalu bersikap tidak ada uang kalau berbicara denganku, Bunda yang hanya menghamburkan uang demi Kakakku, harus kehilangan banyak uang dengan cara yang tragis. Berharap untung malah buntung yang datang.

"Sudah lapor polisi, Bun?"

"Sudah, perdata. Kamu tahu artinya kan? Duit ratusan juta Bunda amblas. Bunda bangkrut."

"Hira sedih mendengarnya Bun."

" Sudah tidak perlu memikirkan Bunda, pikirkan saja kuliahmu. Sepertinya Bunda belum tahu kapan bisa mengirim duit bulanan sama kamu."

Iya, Bun. Tidak apa-apa. Nanti Hira cari cara untuk mengatasinya. Hira bisa jualan kok Bun, atau membuka kelas privat untuk anak SD dan SMP."

"Bunda bingung, Kakakmu sudah mau selesai, dia sedang butuh dana banyak-banyaknya. Dari mana Bunda mendapatkannya? Kalau pun dapat pinjaman, bagaimana Bunda membayarnya. Gaji Bunda habis buat bayar hutang."

"Nanti Hira pikirkan ya, Bun."

Telepon terpaksa terputus karena aku kehabisan pulsa. Aku tidak tahu harus berkata apa. Yang aku tahu, Bunda sedang kesusahan. Aku tidak mau membebaninya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk mencari sendiri biaya kuliah. Aku mengerjakan semua, dari berdagang jilbab, brosch, sampai berdagang makanan.

Awalnya aku hanya menjual mie goreng yang kutitipkan di warung-warung dekat rumah. Sebagian kubawa ke kampus jika ada teman yang memesan.

Aku memasak semuanya. Terkadang dibantu Kak Yati kalau dia sedang tidak dinas. Beberapa tetangga kost yang juga mahasiswi akhirnya memintaku membuatkan menu katering untuk mereka. Aku pun menyanggupi. Dari sanalah kuperoleh rupiah demi rupiah untuk menyambung hidup dan membiayai kuliah. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 12

Letih? Jangan ditanya. Berkutat dengan kompor dan dapur, juga harus penuh konsentrasi untuk tetap fokus di perkuliahan.

Syukurlah, dari awal kuliah indeks prestasi selalu baik. Aku bersaing nilai dengan Melisa. Kalau tidak melisa, ya aku yang tertinggi di kelas.

Kak Tami? Kuliah jauh ke Bandung, biaya besar, begitu hasil keluar hanya mentok di 2,75 Bunda tetap membelanya. Kata Bunda, biasa kalau baru kuliah mendapatkan nilai segitu. Giliran aku memberi kabar kalau IP-ku 3,5 Bunda hanya berkata "oh." Bahkan sewaktu kukabari aku mendapatkan IP 3,87 Bunda bergeming.

Aku pun lalu menyemangati diriku sendiri;

'Tanpa, atau dengan pujian dari Bunda, aku akan tetap melangkah maju, menggapai cita-cita'

Aku merasa perlu untuk pulang ke rumah, melihat keadaan Bunda. Baikkah? atau burukkah?

Masih teramat pagi ketika aku sampai di depan rumah masa kecilku. Terasnya tak terawat. Diantara bunga-bunga yang ditanam Bunda tumbuh pula rumput yang lebih tinggi dari bunga itu sendiri. Sebagian bunga yang lain bahkan meranggas, akibat tidak tersentuh air kehidupan.

Pintu terbuka. Setelah mengucapkan salam aku pun masuk ke dalam rumah.

Suasana di dalam rumah juga tidak beda jauh dari penampakan di teras tadi. Debu dimana-mana, perabotan yang tidak pada posisinya, gelas, piring dan benda-benda lain parkir semau mereka.

Aku menuju kamar Bunda. Raga yang menyambut tua itu sedang terbaring lemah. 'Bunda sakit ...' batinku.

Serta merta aku mendekat, memeluknya erat. Badannya hangat, wajahnya juga sedikit pucat. Rambut hitam, yang diselingi uban itu kusut masai.

Kuambil sisir di meja rias Bunda, dan mulai menyisir helai demi helai rambutnya. Mendapati ada sesuatu yang menyentuh kepalanya, Bunda pun terbangun.

"Kapan kamu tiba, Hira?"

"Baru saja, Bun. Bunda sakit ya?"

"Iya. Sudah hampir seminggu ini Bunda kurang sehat."

"Kak Tami sudah Bunda beritahu?"

"Belum. Telepon sudah dua bulan diputus lantaran Bunda tidak sanggup membayar biaya abodemennya."

Ah, aku baru sadar. Ternyata itu sebabnya, setiap kali aku menghubungi Bunda, selalu terdengar nada sambung, tanpa pernah Bunda menjawabnya.

"Bunda sudah makan?"

"Belum."

"Sebentar ya Bun, Hira lihat apa yang ada di dapur."

Air mataku pecah demi mengetahui lemari pendingin yang biasanya dipenuhi stok makanan, kali ini kosong melompong. Aku menuju ke lemari penyimpanan bahan kering, nasibnya juga sama. Kosong!

Kuperiksa keranjang-keranjang kecil, tempat Bunda biasanya menyimpan bumbu dapur seperti jahe, bawang serta bumbu kering lainnya. Yang ada hanya beberapa bawang merah yang mulai menciut dari ukuran semula lantaran mengering.

Beras, minyak, gula dan lainnya pun bersih tidak bersisa.

'Astaghfirullah'

Aku lalu menuju kamar Bunda. Masih dengan posisi yang sama seperti saat kutinggalkan tadi.

"Bunda sudah berapa hari tidak makan?"

Bunda hanya membisu. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

"Hira sudah biasa tidak makan, tapi Hira kecewa, kenapa Bunda tidak bilang kalau Bunda kelaparan?"

Masih sambil meneteskan air mata aku pun bergegas pergi, tujuanku satu, membelikan sebungkus nasi dan sebotol air mineral untuk mengganjal perut Bunda yang beberapa hari belum diisi.

Bunda makan dengan lahap. Kusodorkan botol minuman kepadanya. Bunda pun meneguk sejumlah air.

"Bunda istirahat dulu ya, Hira mau merapihkan rumah dulu. Nanti sore, Hira bawa Bunda ke tempat praktek dokter Ilham."

Dokter Ilham adalah dokter sepuh yang kini mengabdi di daerah kami. Sebagai dokter umum, banyak orang yang datang untuk berobat. Tangannya dingin. Banyak yang datang, lalu memperoleh kesembuhan, tentunya dengan izin Allah. Biaya juga murah. Sekali berobat biasanya cukup membayar sepuluh ribu rupiah. Itu pun hanya untuk mengganti biaya obat. Paling mahal lima belas ribu.

Pasiennya jangan ditanya banyaknya. Berbondong-bondong. Aku harus datang agak cepat, supaya jangan mengantri lama.

Kelak, aku ingin jadi dokter dermawan seperti beliau.

Setelah rumah terlihat rapi, aku pun kembali ke kamar Bunda sambil membawa sebaskom air hangat. Aku akan membersihkan sekujur tubuhnya.

"Hira mau membersihkan badan Bunda ya, biar sekalian gantiin baju Bunda juga."

Bunda hanya mengangguk, ada butiran kecil halus di sudut matanya yang sudah siap-siap hendak melompat. Aku langsung melihat ke arah lain. Pura-pura tidak melihat Bunda.

Aku senang, Tuhan masih memberiku kesempatan merawat Bunda. Sungguh tuah yang luar biasa.

Ketika sedang mengelap tubuh Bunda, tak sengaja aku melihat jemari kaki Bunda, sepertinya terluka. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada surgaku itu. Yang aku tahu rasanya pasti sakit. Sebagian kulit mengelupas di sana.

"Yang ini sakit ya, Bun?"

"Iya, sakit."

"Hira bersihkan ya, Bun."

Aku membersihkan satu demi satu surgaku itu. Ada bau yang mengganggu ketika kuusapkan kapas beralkohol di sana. 'Ya Allah, sembuhkan Bunda ...' aku berbisik lirih | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 12

- Bersambung -