Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 10

Dibalik segala kekurangan, Bunda sebenarnya sesosok ibu yang baik, selalu menjaga ibadah dan rajin memasak.

Ternyata hanya dua poin itu yang menempel di kepala. Lama aku berpikir apa yang menyebabkan Bunda berlaku tidak adil pada kami berdua. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 10

Apakah aku bukan anak kandungnya?

Jelas-jelas Bunda melahirkanku dari rahimnya. Ayah yang membisikkan doa ditelinga, disaksikan oleh beberapa saudara Bunda yang sering kutanya 'apakah aku bukan anak kandung Bunda'.

"Siapa yang mengatakan Hira bukan anak Bunda? Tante sendiri yang menemani Bunda saat melahirkan kamu. Kalau tidak percaya, coba lihat. Alangkah mirip wajah Hira dengan Nenek."

"Benarkah, Tante?"

"Iya benar. Untuk apa Tante berbohong."

Sampai sekarang pun aku tidak habis pikir. Anganku melayang ke peristiwa masa silam, saat dimana Bunda masih gemar memarahiku. Aneka umpat dan cacian tidak lepas dari bibirnya.

Setiap aku meminta sesuatu, Bunda tidak langsung memberikan. Terlebih dahulu ia marah kepadaku.

"Ah, banyak sekali ceritamu. Setiap hari uang saja yang kamu minta."

"Tapi Bunda, uangnya untuk membayar kebutuhan sekolah. Ada buku dan LKS yang harus Hira bayarkan."

"Kamu berani membantah Bunda? Kamu mau Bunda usir dari rumah ini?"

"Bunda, Hira hanya minta uang untuk bayaran, bukan untuk main-main."

"Pergi kamu dari rumah ini! Kamu cari orang tua yang bisa kamu mintai uang setiap saat."

Mendengar perkataan Bunda, hatiku sering merasa perih. Ibarat luka menganga, terkena garam dan larutan asam, perih ...

Pernah lagi aku meminta Bunda untuk mengizinkanku ikut kegiatan eskul photography di sekolah. Karena tanggapan Bunda kurang bersahabat, akhirnya aku mengurungkan niat. Apa kata Bunda?

"Terserah kamu mau ikut apa! Terserah juga kamu mau jadi apa, mau jadi ta*k pun kamu Bunda tidak perduli."

Kata-kata Bunda membuat hatiku sempat mengeras. Kepala juga membatu. Bunda mengajarkanku banyak hal, termasuk menjadi seseorang yang tidak perduli. Bunda mengajarkan menjadi seseorang yang apatis. Bunda juga mengajarkan arti keras kepala dalam makna yang sesungguhnya.

Menyadari semua itu tidak baik, aku pun merubahnya. Seiring waktu berjalan, Hira tumbuh menjadi sosok yang lebih dewasa.

Sebagai manusia, terkadang aku iri melihat orang-orang. Seperti keluarga Tante Nina. Kakak beradik semuanya kompak, setiap hari saling menanyakan kabar. Begitu juga dengan orang tuanya. Mereka dididik untuk perduli satu sama lain. Saling bahu membahu. Aku sempat menemukan sosok Bunda pada diri Bu Ain, walaupun hanya beberapa waktu.

Manusia memang tempatnya salah dan dosa. Tidak ada Bunda yang sempurna. Bu Ain yang begitu baik, tetapi harus menelan pil pahit karena memiliki anak yang 'pemalas dan tidak berempati' seperti Sari. Ujian dari Allah memang berbeda-beda bentuknya.

Sudah lama aku tidak mengirim kabar pada Bunda. Kuliahku sempat terbengkalai pasca sakitnya Bu Ain. Aku mau mengejar ketertinggalanku.

Liburan semester ini aku berencana untuk pulang. Aku merindukan suasana rumah, dan Bunda.

Bunda terkejut mengetahui kedatanganku. Dia yang kala itu sedang memasak, langsung berhenti. Tak hanya kaget, dia juga meradang melihat penampilanku yang sekarang.

"Apa-apaan kamu? Sejak kapan kamu tidak mendengarkan kata-kata Bunda? Bunda sudah melarang kamu memakai kerudung! Kamu berani melawan Bunda ya?"

"Bunda, Hira tidak melawan Bunda. Hira cuma menuruti perintah Allah. Ada di alqur'an kok Bunda."

"Kamu tidak perlu mengajari Bunda. Kamu berhijab mau jadi apa, ha?! Kamu mau ikut aliran sesat? Iya?!"

"Tidak, Bunda. Hira tidak ada ikut aliran apapun."

"Kamu, sudah berani menentang Bunda. Kamu hentikan ide gila untuk berhijab, atau kamu ingin melihat Bunda mati mendadak? Jawab!"

Hira bukan memakai pakaian seksi loh, Bun. Ini cara Hira menjaga diri."

"Bukan dengan cara seperti itu! Lain kali, kalau penampilanmu masih seperti itu, jangan pulang sama sekali!"

Bunda menuju kamar, kemudian mengunci diri dari dalam. Tinggal aku sendiri, tidak tahu harus berbuat apa.

Sudah berbulan-bulan tidak bertemu Bunda, tidak sedikit pun ia merindukanku. Hanya karena selembar kain penutup kepala, Bunda meradang tak berkesudahan.

Letihku belum hilang benar -- setelah menempuh perjalanan berjam-jam, saat kuputuskan menulis sepucuk surat untuk Bunda.

Bunda,

Hira minta maaf

Sampai sebesar ini,

bukannya membuat bangga

Hira terlalu sering bikin Bunda marah dan kecewa

Bunda | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 10

Berhijab adalah kewajiban

Hira lakukan tanpa paksaan

Hira tidak mengerti mengapa Bunda begitu membencinya

Bunda

Anakmu ini bukan anak yang sempurna

Sering terlupa

Tapi Hira selalu ingat jasa-jasa Bunda

Bunda,

Coba lihat palung hati yang terdalam milik Hira

Terselip banyak cinta di sana untuk Bunda

Meski Hira tahu, Bunda malu-malu untuk membalasnya

Maafkan Hira ya Bunda. Hira pamit tanpa permisi sama Bunda

puteri kecilmuu Hira Revana

Setelah menyeka air mata yang tanpa sadar sudah membenua, aku pun menuju pintu. Segera kutinggalkan rumah yang memiliki magnet kuat, yang mencoba untuk menarikku kembali.

Masih ingat dengan Om, Tante dan tiga anaknya yang pernah menemuiku saat SMP? Ternyata secara tidak sengaja bertemu.

Aku yang berada di loket sebuah travel perjalanan tiba-tiba melihat sosok Om tersebut. Dulu, aku lupa menanyakan namanya.

"Om ... masih ingat sama saya?"

"Iya, kamu siapa ya?"

"Saya Hira, Om. Anaknya Ayah Ivan. Om pernah datang ke rumah saya beberapa tahun yang lampau."

"Iya, Hira. Om ingat. Kamu sudah banyak berubah sekarang ya."

"Iya, Om. Masak Hira jadi anak kecil melulu."

Tawa Om yang ternyata bernama Mora itu pecah.

"Kamu mau kemana? Kok bawa-bawa ransel begitu?"

"Hira mau balik, Om. Kan Hira kuliahnya di Padang."

"Di padang ya? Wah dekat rumah Om, dong."

"Om tinggalnya dimana?

"Pariaman. Ya sudah, jangan naik travel. Sekalian saja berangkatnya sama Om. Mau tidak?"

Cepat-cepat aku mengangguk. Penuh rasa syukur pada Allah, saat keuangan menipis, ada saja jalan keluar yang datang.

"Kita berangkatnya setengah jam lagi, ya? Om lagi nungguin Reza."

"Reza siapa, Om?"

"Ingat waktu Om ke rumah kamu tidak? Ada dua anak lelaki yang Om bawa. Yang paling besar namanya Reza."

"Oh, iya, Om. Hira ingat."

"Memangny Reza dimana Om?"

"Sebentar lagi dia dapat izin kok. Dia memang ditugaskan di kota ini. Jadi ajudan walikota."

"Loh, kok bisa?" aku mulai penasaran dengan kisah 'Reza'

"Ya bisalah. Kan Reza sekolahnya di STPDN. Tamat dari sana sempat menjadi ajudan bupati. Baru-baru saja di pindah ke sini."

"Wah, keren, Om."

"Ah, yang benar. Nanti Om kenalkan sama Reza ya."

Beberapa saat kemudian muncul sesosok pria muda, berusia dua puluhan.

Wajahnya tampan, persis aktor lawas Anjasmara. Pria itu mengenakan kemeja flanel kotak-kotak kecil berwarna kelabu, dipadu denga celana berbahan woll. Tak ketinggalan arloji dengan tali berbahan kulit senada dengan sepatu pantofel hitam. Hatiku berdesir. Ah, rasa apakah ini? | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 10

- Bersambung -