Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 11

"Za kenalin ini Hira." | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 11

Om Mora memperkenalkanku pada lelaki yang membuat dada ini bergemuruh.

"Hai, Hira. Saya Reza."

Pria itu menyodorkan tangannya yang putih mulus. Sadar tanganku tak selembut itu aku hanya melambaikan tangan.

"Hai juga, namaku Hira."

"Ya sudah, supaya tidak berlama-lama, kita berangkat saja. Reza kamu yang menyetir ya."

"Iya, Pa."

"Hira ayo naik. Kamu duduknya di depan saja. Biar Om yang di belakang."

Deg!

Kali ini jantungku berdegup tak beraturan. Saling kejar-kejaran antara serambi kiri dan kanan. Persis tabuh-tabuhan sesaat menjelang perang.

Darah pun seperti tersirap ke atas. Keringat dingin membasahi telapak tangan. Beruntung 'air conditioner' yang ada di mobil mampu menutupi kegugupanku.

Apa-apaan sih Om Mora. Bikin gelagapan saja.

Setelah membukakan pintu mobil untukku dan Om Mora, Reza lalu mulai memandu Terios hitam tipe paling anyar.

'Jangan melambung, Hira, sementang dibukakan pintu mobil! Dia memang terbiasa melakukan hal itu. Dia seorang ajudan' hati kecilku berbisik lembut.

"Bagaimana pekerjaan kamu, Za?"

Om Mora berusaha memecah kesunyian, setelah hampir lima belas menit hening tercipta.

"Baik, Pa. Do'ain Reza ya. Sepertinya Pak wali merekomendasikan Reza menjadi salah satu kandidat camat di daerah Sibolga. Di sana, camatnya baru saja ditahan. Korupsi Pa."

"Wah, bagus itu. Terima saja, Za. Lumayan untuk karir kamu ke depan."

Aku hanya membisu, sambil berusaha mencerna apa yang sedang mereka bicarakan.

"Hira kuliah dimana?"

"UNAND, Om."

"Jurusan apa?"

"Pendidikan Dokter Gigi."

"Masih lama lagi selesainya?"

"Maksudnya, Om?"

"Maksud Om, kira-kira Hira wisudanya kapan?"

"Oh," sambil tersipu aku lalu menjawab "masih lama, Om. Hira baru mau masuk semester empat."

"Sebentar lagi kalau gitu. Dua tahun lagi juga selesai. Tante kamu orang kesehatan juga. Sempat jadi bidan di daerah Tarutung. Ada sekitar tiga tahunan. Semenjak menikah sama Om, Tante buka usaha kecil-kecilan di rumah, sambil merawat anak-anak."

"Iya, Om. Ngomong-ngomong Om kenal Ayah saya dimana?"

"Oh, itu. Om sama Ayah kamu memang sudah sahabatan dari SPMA. Sekolah pertanian di zaman itu. Tamat dari situ kita berdua sempat bekerja di Hotel Danau Toba, Medan. Zaman-zamannya merantau. Jadi mau kemana saja tidak akan ada yang protes."

"Ayah pernah bekerja di hotel juga rupanya. Hira baru tahu ini, Om."

"Iya, pernah. Om sama Ayahmu lumayan dekat. Sudah seperti saudara. Ayah kamu itu orang baik. Sayang umurnya tidak panjang."

Tes!

Buliran-buliran mengkristal putih mulai meluncur perlahan. Tanpa kusadari. Aku bergumam lirih 'coba Ayah masih hidup'.

"Iya, Om. Ayah Hira orang yang sangat baik."

Kubiarkan perasaan ini terlarut dalam rindu yang tak terperi. Rindu pada sosok Ayah.

"Hira sudah punya pacar?"

Pacar? Boro-boro pacar. Mencinta saja aku selalu gagal. Meskipun Bunda tidak memberikan larangan untuk berpacaran, tapi aku cukup tahu kalau pacaran itu tidak baik. Lebih banyak ruginya daripada untung.

"Hira tidak pacaran, Om. Hira mau fokus kuliah saja."

"Baguslah kalau begitu. Reza juga belum pernah berhubungan dengan perempuan. Dari masih SMA, lalu melanjut ke STPDN --sekarang IPDN, dia anteng-anteng saja."

Tokoh yang dibicarakan hanya tersenyum, melalui spion kecil ia pun melirik Om Mora. Om Mora terkekeh.

"Papa apa-an sih. Perjalanan masih jauh loh. Lebih baik Papa istirahat."

Reza memutar beberapa tembang, melalui radio kecil yang ada di mobil.

'kau selalu ... kurasa ... hadirmu ... antara ada dan tiada ...

Setiapku melihatmu tak terasa di hati

Kamu punya segalanya yang aku impikan

Kenanganku tak henti bersajak tentang bayangmu

Walau kutahu kau tak pernah anggapku ada ...

Ku tak bisa menggapaimu

Takkan pernah bisa | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 11

Walau sudah letih aku

Tak bisa lepas lagi

Kau hanya mimpi bagiku

Tak untuk jadi nyata

Dan segala rasa buatmu

Harus padam dan berakhir

Persembahan dari Utophia mengalun lembut, menemani perjalanan malam, melewati rindangnya pepohonan. Cahaya rembulan malu-malu mengintip dari balik dedaunan.

Perlahan, aku pun terlelap, terbuai dalam belaian mimpi yang begitu dalam.

"Hira, bangun. Sebentar lagi kita sampai."

Suara parau Om Mora membuyarkan bunga-bunga tidurku.

"Iya, Om. Udah dimana ini?"

"Sudah masuk Pariaman. Maksud Om, sebentar lagi kita sampai ke rumah Om. Hira singgah dulu ya di rumah."

Terbata-bata aku membalas perkataan Om Mora, "iya, Om."

Mobil berbelok masuk ke kompleks perumahan. Ternyata Om Mora bekerja di perusahaan listrik negara. Reza menghentikan mobil tepat di depan rumah berlantai dua bergaya modern minimalis.

Seorang wanita paruh baya menyongsong membukakan pintu pagar. Setelah memarkirkan mobil di 'carport' Om Mora mengajak singgah.

"Ayo turun dulu, bersih-bersih. Nanti setelah sarapan, Om yang akan mengantar kamu ke Padang."

"Baik, Om."

"Akhirnya Papa sampai."

Wanita yang tak lain adalah istri Om Mora menyambut kedatangan kami.

"Iya, Ma. Papa juga kebetulan ketemu Hira, jadi Papa bawa saja sekalian."

"Hira anaknya Ivan ya, Pa? Teman seperantauan Papa sewaktu masih bujangan?"

"Iya, Ma. Papa kan sering menceritakan kisah Papa sewaktu zaman susah-susahnya dulu. Mama mah enak, ketemu Papa sudah jadi pegawai. Coba ketemu waktu susah, mana mau Mama menerima Papa."

"Ih, Papa. Bikin malu Mama saja."

Setelah membersihkan badan dan sarapan, Om Mora pun pamit pada Tante Lida.

"Papa pergi dulu ya, Ma."

"Iya, hati-hati ya, Pa. Hira juga baik-baik ya."

"Iya, Tante. Terima kasih atas hidangan yang sudah Tante suguhkan. Nasi goreng buatan Tante sungguh lezat."

"Ah, pinter banget kamu bikin telinga Tante naik."

Mobil bergerak dengan kelajuan enam puluh kilometer per jam, menyusuri jalan hitam beraspal yang masih berkabut.

"Hira, dulu sewaktu Ayah kamu masih hidup, dan kamu masih kecil sekali, kami pernah punya cita-cita yang sama."

"Cita-cita apa itu, Om?"

Aku mulai penasaran dengan cerita Om Mora tentang Ayah.

"Iya, Om sama Ayah kamu sepakat menjodohkan kamu dengan anak Om. Reza."

"Kenapa harus saya Om? Kan Ayah punya dua anak perempuan?"

Aku mulai merasa tak nyaman. Aku memang kagum pada Reza. Bahkan pada pandangan pertama pun aku sudah menaruh hati padanya. Tapi bukan untuk sebuah ikatan.

Teringat berpuluh tahun lalu, saat sedang asik bermain dokter-dokteran. Seorang anak lelaki berusia lebih tua, dengan ukuran badan lebih tinggi, berperan sebagai dokter. Dokter kandungan tepatnya. Satu demi satu anak perempuan itu dicabulinya, dengan dalih membantu proses kelahiran bayi. Satu diantara anak perempuan itu adalah aku. --- baca part: 1

Aku mengetahui bahwa aku merupakan salah korban pelecehan seksual, pun baru-baru saja, setelah aktif mengikuti berbagai seminar kesehatan yang berkaitan dengan reproduksi.

"Karena Om maunya kamu yang mendampingi Reza. Kamu dengar sendiri kan, kalau promosi jabatan Reza berhasil, kamu akan menjadi calon Ibu camat."

"Iya, Om."

"Kamu pikir-pikir dulu ya. Kalau memang setuju, nanti Om pilih waktu yang tepat untuk mendatangi Bunda kamu."

"Iya, Om."

Menit demi menit berlalu, akhirnya sampailah kami di kota Padang tercinta.

Om Mora mengantarkanku sampai di depan rumah. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun masuk.

Pikiranku kalut. Bingung antara menerima atau menolak. Kalau menerima, Insya Allah masa depanku cerah. Apalagi sekilas aku dapat menilai Om Mora dan Tante Lida adalah orang baik.

Aku mencoba berpikir realistis. Mencoba membandingkan diriku dengan Reza. Dia berwajah tampan, sedangkan aku memiliki wajah pas-pasan. Deretan gigi geligi yang tak teratur, salah satu alasanku memilih profesi dokter gigi. Terlebih dahulu aku mau memperbaiki gigiku.

Dia berasal dari keluarga harmonis dan berada. Aku? Terlampau susah untuk menjawabnya. Sangat tidak pantas bila menyandingkan dia dengan diriku. Dia bak anjasmara, aku bak upik abu. Apalagi kalau mereka tahu aku pernah mengalami pelecehan seksual saat kecil. Tidak mungkin tetap mau menerima. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 11

Sudahlah, Za. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.

- Bersambung -