"Hai, lagi apa semua? Boleh Kakak ikut bermain bersama kalian?"
Mereka yang semula menikmati permainan tiba-tiba berhenti, saling tatap satu sama lain, lalu betpaling ke arahku dan berbicara secara bergantian. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 4
"Kakak siapa?"
"Kakak anak Bude Mira. Kenal tidak?" anak yang berbadan paling besar di antara semua menggeleng.
"Kakak mau apa di sini?" kali ini anak lelaki berkulit putih, berambut cepak yang bertanya. Usianya kira-kira empat tahunan.
"Kakak mau bantu-bantu jagain kalian. Mama kalian baru memperoleh adik baru bukan?" kali ini kelima anak tadi mengangguk bersamaan.
"Ya sudah, kalian boleh melanjutkan permainan. Kakak mau melihat adik baru dulu ya."
"Boleh, Kakak." kali ini gadis kecil berambut sebahu yang menyahut.
Aku menuju sebuah kamar di sayap kiri rumah, berukuran lumayan luas. Terdapat dua tempat tidur enam kaki, dan sebuah lemari kayu berwarna ungu muda. Di salah satu tempat tidur, terbaring sesosok ibu muda yang lemah setelah berjuang melahirkan. Ku salam tangannya sambil menatap takjub bayi perempuan mungil.
"Kapan melahirkannya, Bulek?"
"Dua hari yang lalu, Hira. Biasanya ada yang membantu Bulek. Tapi karena anak perempuannya juga baru melahirkan, dia pun meminta izin."
"Ya sudah, Hira mau rapih-rapih barang dulu ya Bulek."
Kuletakkan tas berbahan parasut hijau toska di dekat jendela. Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku lalu mulai mengerjakan apa yang bisa kulakukan.
Aku mungutip gelas, piring, sendok serta sisa peralatan masak lain yang berantakan, menjadikannya satu di dalan wadah besar berwarna hitam berbahan plastik, mulai mencuci satu demi satu, membilas hingga yakin tidak ada kotoran atau pun busa yang menempel, dan menyusun di ember lain, sambil menunggu airnya tiris, sebelum disusun ke rak piring.
Selama mencuci piring, aku menjedanya beberapa kali. Melerai saat Yuli dan Yani berkelahi, Kiko yang pipis sembarangan, dan Nada yang berteriak 'lapar'. Sungguh menyita perhatian, waktu dan tenaga.
Setiap melakukan kegiatan apapun, selalu ku sambi dengan mengasuh kelima anak polos tanpa dosa. Tak jarang aku lengah hingga mengakibatkan Kiko terpeleset air pipis, Nada terjatuh dari kursi, serta Yuli dan Yani yang pukul memukul. Tidak ada waktu beristirahat di siang hari. Lalai sedikit, bisa berakibat fatal. Kelelahan? Sangat. Di usiaku yang seharusnya masih bermanja-manja dengan Bunda, harus menghabiskan waktu untuk pekerjaan-pekerjaan yang sewajarnya dilakukan oleh beberapa orang. Aku bersyukur, setidaknya tidak perlu mendengar teriakan Bunda yang sedang marah.
Mengawali hari dengan memasakkan sahur untuk Paklek, Yuli dan Yani, mencuci bekas peralatan makan, membersihkan dapur, menyapu dan mengepel lantai yang akan kotor kembali beberapa saat kemudian, hal yang rutin kulakukan.
Satu persatu mereka kumandikan, diberi pakaian bersih dari lemari, serta tak lupa disisir dan diberi bedak. Setelah menyuapi satu demi satu pekerjaan lain yang menanti adalah mencuci pakaian. Aku memang sudah terbiasa, tapi mencuci berember-ember banyaknya sungguh membuat letih. Memisahkan pakaian bayi dari pakaian lainnya, merendam baju dengan baju, pakaian dengan pakaian, kain dengan kain, dan satu ember berisi semua yang berwarna putih. Cukup waktu merendam, aku lalu menyikat satu demi satu, membilas sebanyak tiga kali atau lebih, jika air bilasan masih keruh, memeras hingga kadar air tinggal sedikit dan mengangin-anginkan pakaian --yang tadi segunung-- di bawah pepohonan.
Perjuangan dengan kain dan pakaian masih panjang. Banyaknya pakaian membuat pekerjaan menyetrika tak pernah selesai. Tak jarang aku tertidur kelelahan di tumpukan pakaian kusut, dan terbangun saat ada diantara anak asuhku yang menangis atau berteriak.
Satu purnama pun terlewati. Aku kembali ke rumah Bunda tepat lebaran kedua. Ini kali ketiga lebaran tanpa Ayah. Lara hati tidak bisa kututupi. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 4
Air mata sering jatuh dengan sendirinya setiap kali mengingat kenangan bersama Ayah. Terkadang aku berpikir, kenapa dia tidak membawaku serta?
Tamu Bunda datang silih berganti. Begitupun dengan teman-teman Kak Tami. Tugasku, menyuguhkan es sirup dan bertoples-toples kue kering aneka rasa setiap kali ada yang datang.
Suatu kali, sebuah mobil silver dengan plat luar kota tiba-tiba parkir di depan rumah. Keluarlah sepasang suami istri dengan tiga putera-puteri yang hampir seumuran. Seperti biasa, aku pun menyambut hangat siapa yang datang ke rumah.
"Sedang mencari alamat siapa Om, Tante?"
"Benarkah ini rumah Pak Ivan?"
"Iya, benar Om."
"Bapak ada?"
"Ayah sudah meninggal, Om. Tiga tahun yang lalu."
"Loh kenapa Om tidak mendapatkan kabar tentang kematian Ayahmu?"
"Hira kurang tahu, Om. Mari masuk ke dalam dulu Om, Tante. Tidak enak berbicara di sini."
Setelah mempersilahkan masuk, aku bergegas ke dapur. Menyiapkan minuman dan kue kering buatan Bunda.
"Terakhir Om datang, saat itu kamu masih kecil. Mana Kakak dan Ibu kamu?"
"Sudah dua hari Bunda dan Kak Tami pergi ke luar kota, menjenguk keluarga dari pihak Ayah, Om."
"Kapan mereka kembali?" kali ini giliran perempuan tambun berisi yang mengajukan pertanyaan.
"Belum tahu, Tante. Bunda tidak mengatakan kapan beliau pulang."
"Ya sudah, Om dan Tante tidak berlama-lama, karena mau melanjutkan perjalanan ke Medan. Kita mau menghadiri resepsi pernikahan keluarga Om. Salam buat Ibu kamu ya. Sampaikan padanya Om turut berbela sungkawa atas kematian Ayahmu."
"Baik, Om. Akan Hira sampaikan jika Bunda kembali."
Kutatap punggung-punggung mereka dari pintu yang beberapa saat kemudian menghilang dibalik deru mesin mobil dan debu jalanan.
Sudah lima hari Bunda dan Kak Tami di luar kota. Uang yang ditinggalkan untuk membeli bahan makanan pun telah kandas dari dua hari yang lalu. Berbekal cabai merah dan beberapa butir bawang, aku menyiasati hanya makan dengan menu nasi goreng. Untuk hari ini hingga Bunda kembali, belum tahu harus makan apa.
Aku merindukan Ayah. Tidak mungkin Ayah akan meninggalkanku sendirian di rumah selama berhari-hari lamanya. Berteman dengan kesepian dan rasa lapar yang tidak tertahan. Tanpa pikir panjang, jadilah kue-kue kering di toples sebagai pengganjal. Lumayan untuk mengurangi rasa melilit di perut.
Bunda pun kembali di hari keenam. Dengan berlari aku menyambut dan memeluk sosok yang selama beberapa hari ini kurindu. Tak terkira rasa gembira, karena tidak akan merasakan kelaparan, akibat kehabisan beras dan bumbu dapur.
Aku juga memberi tahu Bunda, tentang kedatangan Om, Tante, dan ketiga anaknya.
"Hira! Kenapa toples kue bunda sebagian kosong? Kamu taruh dimana isinya?"
"Hira lapar, Bun. Kue Bunda Hira yang menghabiskan."
"Lancang kamu! Selama seminggu jajanmu Bunda stop."
"Tapi Bunda-"
"Tidak ada bantahan!"
Stop jajan sama dengan tidak pergi ke sekolah. Jajan yang diberi Bunda dengan jumlah pas-pasan biasanya kugunakan untuk membayar ongkos angkutan umum.
Memperoleh nilai mendekati sempurna, aku pun meninggalkan bangku SMP. Betapa kuat usaha untuk membuat Bunda bangga, dan tidak menyesal telah melahirkanku ke dunia. Tapi Bunda hanya menanggapi dengan ekspresi yang biasa-biasa saja. Hal yang berbeda saat Kak Tami memperoleh juara pertama. Jerih payahnya dihargai. Satu nilai sembilan di rapot, Bunda mengganjarnya dengan uang senilai lima ribu rupiah dan nilai delapan seharga empat ribu. Alhasil setiap akhir caturwulan, Kak Tami selalu 'panen' uang.
Aku mendaftar di salah satu SMA favorit di sini. Kak Tami pernah mengulang kelas sewaktu SD. Akhirnya, kami bertemu di sekolah yang sama.
Di sekolah ini, Kak Tami lumayan tersohor. Semua orang kenal padanya, gadis belia berparas cantik, berkulit kuning langsat dengan rambut tebal. Sepatu, tas dan jam tangan mahal menempel di tubuhnya. Pintar, cantik, supel begitu orang memberi label. Dia pernah mengancamku suatu kali, supaya aku tidak memberitahu orang-orang kalau aku adiknya. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 4
"Jangan pernah kamu mengaku pada siapapun di sekolah ini, kalau aku Kakakmu! Paham?"
- Bersambung -