Meskipun hati meronta, Bunda tetap mengantar dan menitipkanku pada koleganya.
Aku hanya pasrah saat benda beroda yang kami tumpangi menggelinding meninggalkan rumah dan kenangan tentang Ayah. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 3
Enam puluh menit telah berlalu. Tibalah kami di rumah tua berpagar keliling peninggalan zaman belanda. Setelah membunyikan bel, keluarlah seorang wanita sepuh bersongkok serta mengenakan daster hijau dengan taburan bunga kecil berwarna putih. Dia terlihat tidak kompak dengan tongkat kayu yang membantunya untuk berjalan. Wanita itu tetap terlihat kepayahan.
"Bunda hanya mengantarmu sampai di sini. Silahkan masuk bersama wanita itu."
Tanpa menunggu jawaban, Bunda lalu melangkah pergi, meninggalkanku yang masih patah hati karena kehilangan sosok pembela. Seandainya Tuhan sedikit lebih lama memberi waktu pada Ayah untuk tetap hidup, pasti Bunda tidak akan menitipkan pada orang yang sama sekali asing bagiku.
Terdengar suara decitan ketika aku berusaha membuka pagar dan menutupnya kembali. Wanita tua itu menyambut di depan pintu, sambil tersenyum manis.
"Mari masuk. Nama kamu siapa, Nak?"
"Hira. Namaku Hira."
"Kamu boleh memanggil saya Opung Boru. Mari masuk ke dalam. Maaf Opung jalannya pelan, mata Opung juga tidak bisa melihat dengan jelas."
"Iya, Pung. Tidak apa-apa."
Bangunan kokoh berwarna putih --dengan kusen cokelat tua-- termasuk rumah paling besar di daerah sini. Terdapat empat kamar tidur, ruang tamu, dua ruang makan, dapur, kamar mandi dengan ukuran 6 x 6 meter persegi, garasi, ruang untuk menjemur pakaian, dan halaman samping yang lumayan lebar. Aku mengetahuinya setelah Opung Boru mengajak berkeliling. Dia juga menjelaskan apa-apa saja yang harus kulakukan.
Selama ini dia hidup bersama pria tua yang kupanggil dengan sebutan Opung Godang, orang tua hasil didikan zaman kompeni. Dia mengajarkan hidup teratur, penuh disiplin dan serba terjadwal.
Pukul empat pagi sudah harus bangun, memasak air, nasi dan lauk sederhana untuk sarapan. Setelah selesai sholat hal yang selanjutnya dilakukan adalah menyapu rumah, halaman serta menyiram bunga --dilakukan pagi dan sore hari.
Tepat pukul enam aku menuntun Opung Boru keliling perumahan, untuk merangsang syaraf kakinya yang sempat lumpuh akibat struk. Setelah itu barulah mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah yang hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit berjalan kaki.
Sepulang sekolah, menjemput menu kateringan di rumah Bu Santi, mengeluarkan isi dan menatanya ke piring untuk makan bertiga.
Piring yang telah kotor segera dicuci. Dilanjutkan dengan mengangkat pakaian yang sudah mengering, melipat untuk kemudian di setrika di hari Minggu. Mandi sore sekaligus mencuci pakaian kotor hari ini, meniriskannya di kamar mandi, untuk di jemur keesokan harinya di tempat penjemuran. Sekitar setengah jam sering kami habiskan di bawah pohon seri di samping rumah.
"Kamu senang tinggal di sini?"
"Senang, Pung. Apalagi setiap hari Opung mengajariku memasak."
"Syukurlah kalau kamu senang. Coba lihat, apakah uban Opung sudah ada yang tumbuh?"
"Iya, Pung." Aku pun mulai menelisik rambutnya. Mencari-cari rambut kecil berwarna putih yang konon bisa membuat gatal kepala.
Aku yang memasak hidangan untuk makan malam, karena menu katering hanya bertahan sampai siang. Dari pukul delapan sampai pukul sepuluh malam waktu untuk belajar. Tak jarang aku tertidur di meja belajar karena sudah kelelahan seharian.
Rutinitas yang berulang setiap hari selama sembilan bulan. Aku diantar kembali ke rumah Bunda lantaran Opung Boru meninggal dunia. Tak ada lagi yang harus kujaga, kutuntun setiap hari, dan harus ku urut jika kakinya mulai kelelahan.
Ketika Opung Godang mengantarkanku pulang, kami tepat berselisih di jalan dengan Bunda. Setelah menyerahkanku, Opung Godang pun pulang. Aku ikut ke dalam mobil berwarna hitam metalik keluaran terbaru yang belakangan kutahu milik Bunda.
Ban mobil berpacu menuju restoran yang menjual aneka olahan burung. Kursi berhias pita disusun sedemikian rupa, pertanda akan ada perhelatan di sini.
"Bunda, kita mau apa ke tempat ini?"
"Tami ulang tahun hari ini, jadi Bunda memutuskan untuk mengundang teman-teman dan merayakannya di sini."
"Selamat ulang tahun, Kak." aku menyalam dan memeluknya.
Acara ulang tahun berlangsung meriah. Banyak teman Kak Tami yang datang. Dia juga mendapat bermacam hadiah. Aku senang melihat itu semua.
Bulan kelahiran kami berdekatan. Di ulang tahun yang ke empat belas, aku ingin dirayakan juga.
"Bunda, ulang tahun nanti, Hira mau dirayakan seperti Kakak, ya?"
"Tidak bisa. Bunda sudah menghabiskan banyak biaya untuk pesta ini. Bunda juga harus membayar cicilan mobil baru kita.
"Tapi Bun-"
"Lain kali, oke?"
"Baik, Bunda."
Aku memasuki rumah. Banyak yang berbeda di sini, kamar gelap itu sudah tidak ada. Bunda merombak sebagian. Aku meletakkan barang-barang ke dalam kamar, sampai Kak Tami tiba-tiba muncul.
"Bunda, kenapa Hira memasukkan barangnya ke kamar Tami? Tami tidak mau sekamar dengan Hira!"
Bunda segera datang. Dia menatap tajam ke arahku.
"Kamu tidur di luar saja. Pakaian kamu susun di lemari kecil yang ada di ruang keluarga. Jangan digabung sama pakaian kakakmu."
"Baik, Bunda," aku menuruti perintah Bunda. Menyusun semua pakaian dan barang-barang ke dalam lemari kecil yang ada di ruang keluarga. Malam ini dan seterusnya aku tidur di sini.
Setiap kali meminta uang untuk biaya sekolah, Bunda keberatan untuk mengeluarkan. Aku harus benar-benar bisa mengambil hatinya. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 3
Tak jarang seminggu kemudian barulah Bunda memberikan apa yang kuminta.
Aku baru saja meminta uang SPP pada Bunda, tapi aku membutuhkan biaya lagi untuk bisa ikut Perkemahan dalam rangka lomba tingkat oleh organisasi kepanduan di sekolah. Bunda pasti tidak akan memberikan saat itu juga.
Saat itu rumah sepi, aku masuk ke kamar Bunda. Aku tahu dimana dia menyimpan uangnya. Kuambil beberapa lembaran hijau yang akan kugunakan untuk membayar biaya kegiatan. Bersyukur Bunda tidak menyadarinya. Itu menjadi tindak kriminal yang pertama dan terakhir kulakukan.
Kubuka lemari pakaian yang kini berantakan. Padahal kemarin baru dirapihkan.
"Kak Tami, Kakak yang mengacak-acak lemari Hira, kan?"
"Sembarangan kamu."
"Pasti Kakak, buktinya kemaren kaos hijau Hira sudah ada di tempat kain kotor."
"Tidak! Bunda ... lihat Hira!"
"Kalau Kakak memakai pakaian Hira, Hira tidak melarangnya. Tapi tolong, bersihkan kembali."
"Ada apa lagi ini!"
"Hira, Bun, dia menuduh Tami memakai bajunya."
"Sudah ... sudah. Gara- gara itu saja ribut. Kamu kan tinggal mencuci ulang pakaianmu yang kotor."
"Iya, Bunda."
Sama seperti dulu. Setiap kali mengadu, tak pernah mendapatkan solusi. Mula-mula pakaian, lama kelamaan Kak Tami semakin bebas menggunakan semua barang-barang. Pakaian dalam, buku, hiasan rambut, sendal, sepatu dan yang lain. Aku harus menerima dengan lapang dada jika kehilangan barang-barang kesayangan akibat hilang ataupun rusak.
Aku kembali berjualan. Kali ini menjual cemilan dari bahan ubi. Kebetulan di dekat rumah ada pabrik yang memproduksi.
Hasil penjualannya sebagian kutabung, sebagian lagi untuk membeli majalah, buku cerita dan komik . Sisanya kubelikan hiasan rambut.
Aku berhati-hati merawat benda-benda kesayanganku. Tapi Kak Tami? Setiap membaca majalah atau buku-buku yang kubeli selalu lalai meletakkanya. Terkadang sampai koyak. Nasib yang sama berlaku untuk pita-pita rambut yang dipakai tanpa izin olehnya. Kalau tidak hilang ya rusak. Aku hanya bisa mengelus dada. Sabar Hira.
Kelas tiga SMP, lagi-lagi Bunda mengirimku ke tempat lain. Kali ini aku harus mengurus sepupu Bunda yang baru melahirkan anak keenam.
Aku melakukan perjalanan malam dari rumah, seorang diri. Bunda mengatakan, butuh waktu delapan jam untuk sampai di sana. Sekarang aku sudah tidak mau protes pada apapun yang dilakukan Bunda. Bunda merawat sampai aku sebesar ini sudah anugerah yang tidak terkira. Aku banyak melihat anak-anak yang dibuang oleh orang tuanya. Bahkan sebagian lagi dijual. Bersyukur Bundaku tidak sejahat itu. Dia hanya kurang berlaku adil saja padaku dan Kak Tami.
Akhirnya tibalah aku di kota Pematang Siantar. Di sinilah selama sebulan aku akan menghabiskan waktu liburan puasa. Bukan dalam rangka berlibur, tapi membantu Bulekku.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam. Hira, ya? Kamu baru sampai, Nduk? suara seorang wanita, terdengar berasal dari kamar.
"Iya Bulek. Hira baru aja turun."
"Langsung masuk ya, Nduk. Bulek sedang menyusui Adikmu di kamar."
Rumah Bulek berantakan. Mainan berserakan dimana-mana.
Ada lima anak kecil yang sedang bermain. Jarak mereka terlihat berdekatan.
Mereka adalah Yuli, Yani, Nina, Nada, Dodo, dan Kiko. Aku tertawa melihat tingkah polah mereka yang menggemaskan. Segera kudekati mereka. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 3
- Bersambung -