Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 2

Dari balik pintu kamar, kulihat Bunda sedang sibuk merias diri, memoles bedak padat ke wajah, menggores lipstik, serta melukis alis dan garis mata. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 2

Benda kecil dengan bentuk seperti pistol menyita perhatianku, saat Bunda mengarahkan benda berisik itu ke rambut ikalnya. Seketika rambut yang tadinya basah menjadi kering.

'Benda apakah gerangan? Keren sekali. Bisa membuat rambut yang basah menjadi kering dalam sekejap' aku mulai berpikir tentang alat aneh itu.

Setelah memastikan keadaan aman, aku mengendap-endap memasuki kamar Bunda, mencari dimana benda tadi. Dapat.

Dengan perasaan bahagia kubawa alat itu ke dapur. Aku berencana mengeringkan segelas air.

Blam!

Sekonyong-konyong aku terkejut. Api keluar dari benda itu, saat ujungnya kudekatkan ke bibir gelas. Dengan kepanikan luar biasa, kukembalikan benda galak itu ke tempat semula.

***

"Pasti dia pelakunya. Tidak ada yang 'ngelitis' di rumah ini selain dia. Hira!" Bunda benar-benar marah. Lengkingan suaranya membuat nyaliku ciut.

"Iya, Bunda," tergopoh-gopoh aku mendekat.

"Pasti kamu yang telah merusak 'hair dryer' Bunda kan? Mengaku sajalah!"

"Sudahlah, kau bisa membeli alat yang sama hari ini juga! Hira, sana masuk ke kamar."

"Kamu selalu membela Hira!"

"Aku tidak sedang membelanya. Dia masih kecil, belum mengerti apa-apa. Kau berilah dia racun, niscaya dia akan meminumnya. Kau tahu artinya kan? Kalau alat itu benar-benar membuatmu resah, belilah penggantinya." Samar-samar kulihat Ayah menyodorkan sejumlah uang kepada Bunda.

***

Tidak hanya merusakkan pengering rambut, aku juga merusak beberapa alat lainnya. Bunga es yang kucongkel membuat kulkas tak lagi dingin. Aku juga memotong colokan alat penggiling bumbu dapur. Kipas angin, setrika dan entah apa lagi. Bunda benar-benar tidak bisa lagi menahan emosi.

"Dasar kau penghancur! Apa yang kau sentuh, tidak ada yang selamat!"

Kata-kata yang selalu terngiang-ngiang, mengisi ruang kosong di kepala, dan membuatku memutuskan untuk lebih banyak bermain di luar rumah. 'Jika bermain jauh, tidak akan ada barang-barang yang akan rusak' pikirku.

Aku bermain kemana suka. Ke persawahan, sungai, jalanan, dan banyak lagi. Toh sekalipun Bunda tidak keberatan.

Aku pernah hanyut dibawa arus sungai, ditabrak dan diinjak sapi, tergelincir dari bukit di persawahan, jatuh dari atap rumah tetangga saat bermain layangan, dan banyak kejadian lain yang dia tidak pernah tahu. Yang Bunda tahu hanya marah dan marah kepadaku.

"Kenapa semakin lama kulit Hira semakin menghitam, Nak? Hira sering main di luar ya?" tanya Ayah suatu ketika.

"Iya, Yah. Hira bermain dengan teman-teman Hira ..." dengan penuh semangat kuceritakan pengalaman bermainku pada Ayah.

"Mulai besok Hira main di rumah ya. Semua permainan yang Hira ceritakan pada Ayah benar-benar mengundang bahaya. Besok Ayah belikan mainan buat Hira."

"Ye ..., janji ya, Yah. Hira maunya boneka, kuaci, bola kasti, bongkar pasang, yoyo, robot-robotan, monopo-"

"Stop stop stop stop. Ayah hanya memberikan permainan untuk anak perempuan. Setuju?"

"Mmm ... baik Ayah. Hira setuju."

***

Kuaci pemberian Ayah seplastik banyaknya, membuatku girang bukan kepalang. Kubawa bermain sepanjang sore. Mengetahui hal itu Bunda meradang. Dia menjemput paksa dari rumah Tita, lalu menyeretku pulang.

"Akan kubakar semua kuaci ini!"

"Jangan, Bunda." Aku memohon belas kasihnya, meminta supaya barang yang baru dibelikan Ayah beberapa waktu yang lalu dikembalikan.

"Diam, kamu!"

Serta merta Bunda menyulut api. Dalam sekejap si jago merah melahap habis kuaciku. Tinggallah aku sendiri, menatap benda plastik beraneka warna sudah menyatu, tiada bentuk. Sakit sekali rasanya. Dengan langkah gontai aku memasuki kamar gelap berukuran 3 x 3 meter persegi. Ventilasi yang kurang baik menyebabkan kamar tidak mendapatkan cahaya yang cukup. Di pojok ruangan aku menangis, seperti yang sering kulakukan.

***

"Ayah, Hira minta izin mau berjualan."

"Memangnya Hira mau jualan apa?"

"Jualan es lilin, Yah. Nanti kalau duitnya sudah terkumpul, Hira mau membelikan Ayah hadiah."

"Hahaha. Memang Hira mau membelikan apa untuk Ayah?"

"Hira mau membelikan celana panjang buat Ayah. Supaya teman-teman tidak mengejek Hira lagi."

"Ayah ingin tahu, apa yang teman-teman Hira bilang."

"Teman Hira bilang 'Ayah Hira seperti perempuan. Suka menyapu, memasak, mengurus anak dan memakai celana pendek."

"Mereka bilang begitu? Ya sudah, jangan Hira dengarkan. Anggap saja angin lalu. Oke?"

"Iya, Yah."

Ayah memelukku erat, membopong ke kamar supaya aku tidur siang.

Sorenya, aku bergegas menuju ke warung Wak Manan --begitu kami memanggilnya, membeli beberapa lembar plastik es, segenggam karet, serta sebotol limun.

Limun dengan rasa sarsaparila kutuang ke baskom, lalu kutambahkan gula pasir dan air hangat. Setelah mencicipi rasanya, aku mulai menuangkan ke plastik, dan mengikat satu demi satu. Setelah selesai, benda-benda berkuncir itu telah berpindah ke ruang pembeku.

Banyak teman yang membeli es buatanku. Kata para tetangga 'aku berbakat' dan 'alangkah beruntungnya Bunda' punya anak sekecil aku sudah mandiri.

"Kak Tami ... duit hasil penjualan es Hira mana? Kenapa cuma ada segini?" aku kaget begitu mengetahui kaleng yang kugunakan sebagai tempat mengumpulkan pundi-pundi rupiah tiba-tiba berkurang.

"Aku tidak tahu!"

"Pasti Kakak pelakunya. Di rumah ini cuma ada Bunda, Ayah, Kakak dan Hira".

Mbak Sundari sudah lama tidak bersama kami lagi. Setamat SMEA dia memutuskan menerima lamaran kekasih hatinya.

"Bukan aku! Bunda ... Hira menuduhku mengambil duitnya."

"Ada apa ini ribut-ribut?"

"Duit penjualan es hilang Bun."

"Jadi kamu menuduh Tami yang mengambil? Berapa sih yang hilang? Ya sudah, mulai besok jangan jualan lagi, biar duit kamu tidak hilang."

Sudah? Segitu sajakah? Duit yang kukumpulkan berhari-hari --yang seharusnya berjumlah empat puluh ribu, hanya bersisa dua belas ribu. Aku melihat dengan mata kepalaku beberapa hari ini Kak Tami membeli beberapa barang baru. Duit dari mana?

"Ikhlaskan, Hira. Lagipula Ayah belum butuh celana baru." Ayah menasihati ketika kuberitahu aku kehilangan banyak uang di rumah. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 2

"Baik, Ayah."

Beberapa hari dari kejadian itu, aku demam tinggi. Sekujur tubuh dipenuhi dengan butiran-butiran kecil. Kata Ayah, aku terkena penyakit cacar air.

Hampir dua minggu aku hanya terbaring di tempat tidur. Setiap pagi dan sore Ayah menyuapi bubur dan meminumkan obat. Ayah juga mendekapku setiap aku menggigil akibat demam yang terlalu tinggi. Bunda tidak pernah mau tahu kondisiku. Biarlah. Karena Ayah saja sudah cukup bagiku.

Setelah sembuh, Ayah lalu mengantarku ke sekolah. Menemui wali kelas, supaya aku ikut ujian susulan.

"Baiklah, Pak. Ujian susulan Hira dimulai besok di ruang guru. Hira jangan lupa belajar ya, supaya dapat nilai bagus."

"Terima kasih, Bu. Hira, ucapkan terima kasih pada gurumu."

"Terima kasih, Bu."

"Iya, Hira. Sekarang Bapak boleh kembali. Saya akan mengantar Hira ke kelasnya."

***

Ada anak kecil yang suka menjahili di sekolah. Sekali dua kali tidak kugubris. Hingga hari ini anak itu tiba-tiba masuk ke kelas dan mengganggu.

Aku berusaha menghalaunya supaya keluar. Kudorong hingga terjatuh. Pelipisnya terluka. Darah segar menetes mengenai seragam putih merah.

"Besok orang tuamu harus datang ke sekolah."

"Tapi, Hira tidak sengaja, Bu."

"Kamu bisa menjelaskan pada orang tua anak itu besok. Sekarang kamu boleh pulang lebih awal."

"Bb-baik, Bu."

Dengan langkah gontai kukemas buku-buku, meninggalkan teman sekelas yang melihat dengan tatapan aneh. Menelusuri jalanan yang biasa kulalui setiap hari. Tidak pernah di antar atau pun dijemput seperti teman sekolah yang lain. Pergi pulang hanya seorang diri. Banyak anak nakal yang sering mengganggu, memukul, bahkan mengejar setiap aku lewati jalanan ini. Percuma juga mengadu. Siapa yang akan perduli?

Di rumah tidak ada siapa-siapa. Kak Tami sekolah. Bunda dan Ayah bekerja. Masing-masing kami memegang duplikat kunci rumah.

Dengan perasaan tidak menentu aku menunggu Bunda pulang, memberitahu bahwa wali kelas mengundang ke sekolah lantaran ulahku tadi pagi.

"Apa? Bunda harus ke sekolah kamu? Kamu ya Hira, selalu buat masalah. Bukan Hira namanya kalau tidak membuat onar."

"Tapi anak itu yang pertama mengganggu Hi-"

"Diam! Bunda tidak butuh penjelasanmu." Bunda pergi ke dapur, mengambil selang air berwarna cokelat muda dan memukulku.

"Ampun, Bunda. Hira minta maaf."

Dengan membabi buta Bunda memukulku. Berkali-kali aku menghindar, tapi tenaga Bunda puluhan kali lipat. Kubiarkan Bunda melampiaskan kekesalannya padaku.

"Huhuhu ... Hira tidak nakal, Bunda."

Bunda membiarkanku tertidur di lantai.

***

Makin sering aku menjawab perkataan Bunda, semakin banyak pukulan yang kuterima. Terakhir kali Bunda memukul, saat aku kelas satu SMP, saat aku menolak untuk dititipkan pada kolega Bunda. Di sana aku akan di sekolahkan, dengan catatan aku membantu menjaga istrinya yang struk akibat komplikasi.

"Hira tidak mau berpisah dari Bunda dan Kak Tami."

"Kamu harus mendengarkan Bunda."

"Tapi Hira mau di sini saja, Bunda."

"Tidak! Bunda sudah berjanji akan membawamu ke sana."

"Hira tidak mau."

Plakkk!

Bunda menghantam bibirku dengan sendok penggorengan yang sedari tadi ia pegang.

"Itu hukuman untuk anak yang suka membantah."

"Ayah ... Hira kangen sama Ayah."

Sudah sebulan sejak kepergian Ayah, dan aku masih merasakan kesedihan yang mendalam. Aku ingin Ayah tetap hidup, menjaga dan melindungiku setiap saat. | Cerpen Sedih Sebuah Kisah Pilu Sehangat Dekapan Bunda Part 2

- Bersambung -