Usiaku tiga tahun kala itu. | Cerpen Sedih Kisah Indah Sehangat Dekapan Bunda
Kami harus pindah dari rumah kontrakan lama, ke rumah milik pribadi. Ya, Ayah baru saja membeli sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Di sanalah hari-hari banyak kuhabiskan.
Aku masih ingat, pertama kali tiba. Rumah kecil tanpa pagar, bercat putih yang warnanya telah pudar. Terdapat teras kecil di sekeliling rumah, dan sebagian mulai retak. Di sudut kiri halaman tumbuh sebatang pohon jeruk Bali. Ayah berniat menambah beberapa jenis pohon lagi.
"Kondisi rumah baru kita ya seperti ini, Bun. Ayah berniat memugarnya kalau duit Ayah sudah terkumpul. Ayah juga berniat menambah beberapa jenis pohon lagi. Seperti jambu biji, jambu lilin dan alpukat."
Bunda hanya mengangguk.
Aku memberontak dari gendongan Ayah. Ayah lalu menurunkan serta membiarkanku bermain. Aku berlari mengitari rumah dan tiba-tiba menjerit kesakitan ketika lutut ini mengenai bagian panas dari motor Ayah.
"Ayah ... kaki Hira sakit."
Ayah buru-buru datang. Menggendong serta menghibur agar aku berhenti menangis. Tak lupa Ayah meniup-niup bagian lutut yang melepuh.
"Sebentar, Ayah cari obat ya,"
Ayah bergegas pergi setelah tangisku mereda.
Mataku jelalatan mencari Bunda. Dimana dia?
Apa Bunda tidak mendengar tangisan tadi?
Aku mencari-cari Bunda dengan menggunakan ekor mata. Dapat! Perempuan cantik itu sedang memangku Kakakku yang kelelahan. Ya, perjalanan cukup jauh tadi.
***
Bunda membelikan baju untuk Kak Tami. Cukup banyak. Aku?
"Tami badannya cepat besar, Yah. Baju lamanya sudah tidak cukup. Ini Bunda beli banyak baju buat dia. Kalo Hira pakai punya Tami yang udah kekecilan aja," Bunda menunjukkan hasil 'hunting' pakaiannya di pasar tadi pagi.
Sepatu juga. Aku cuma dapat lungsuran.
"Sepatu Tami juga sudah tidak muat, Yah. Ini Ibu sudah belikan beberapa."
Ayah cuma diam kalau Bunda sedang memamerkan hasil buruannya.
"Bunda, sepatu Hira juga sudah kekecilan. Hira mau yang baru seperti punya Kakak," aku mencoba memakai sepatu lamaku, menunjukkan pada Bunda, siapa tahu besok dia membelikan yang baru.
"Hira pakai sepatu Kak Tami yang sudah kecil saja ya," kata Bunda.
Aku diam. Ingin menangis. Tapi buat apa? Ah, sudahlah itu bukan masalah.
***
Akhirnya duit Ayah terkumpul. Rumah kami pun dipugar. Cat lama berganti dengan warna baru. Cokelat muda. Teras rumah diperluas. Ayah bilang, supaya kami puas bermain di sana. Kamar ditambah. Yang tadinya hanya dua kamar, sekarang menjadi tiga. Dapur juga makin luas. Aku senang rumah baru setelah dipugar.
***
Kami punya kamar kosong sekarang. Supaya ada yang mengisi, Ayah membawa ponakannya yang masih gadis untuk tinggal di rumah. Mbak Sundari bertugas bantu-bantu. Pagi momong Aku dan Kak Tami, kalau sore dia sekolah.
Semenjak kehadiran Mbak Sundari, jarak antara aku dan Bunda semakin jauh. Mbak Sundari benar-benar mengambil alih sebagian tanggung jawab Bunda. Dari mulai memandikan, memberikan makan secara teratur, mengurus semua keperluan aku dan Kakak, hingga tidur pun terkadang bersamanya.
Bunda pun mengambil kesempatan ini untuk mengembangkan bisnis kecil-kecilannya. Ya, Bunda mencoba bisnis perhiasan. Kadang berhari-hari di luar kota untuk sekedar mengambil atau memulangkan stok barang. Aku benar-benar kehilangan sosok ibu. | Cerpen Sedih Kisah Indah Sehangat Dekapan Bunda
Yang kukenal hanya Ayah, Mbak Sundari, dan Kak Tami.
***
Seiring waktu berlalu, usiakupun bertambah. Lima tahun sudah kini. Hanya terpaut tiga tahun dari Kak Tami, Kakak semata wayang.
Kami mulai sering bertengkar. Entah perhatian siapa yang kucari. Yang jelas, aku merasakan lepas kalau sudah menjahili Kak Tami.
Hari ini, sebelum berangkat TK, aku ingin Bunda memberi uang jajan yang lebih banyak dari biasanya. Uang itu akan kubelikan mainan yang sudah beberapa hari ini aku idam-idamkan.
"Bunda ..., Hira mau ditambahin jajan untuk hari ini. Hira mau b-be-" ucapanku terpotong setelah Bunda berkata 'TIDAK'.
Bukan Hira namanya kalau gampang putus asa. Aku akan mengikuti Bunda yang hendak berangkat bekerja, sampai Bunda memenuhi keinginanku.
Dengan berlari kecil, aku mengejar Bunda.
Bunda mulai naik ke atas bis yang berjalan perlahan. Aku yakin bisa mengejar bis itu. Dan ternyata benar! Bunda duduk di samping Supir. Ku panggil dia lamat-lamat.
"Bunda ..., Hira mau uang jajan lebih."
Bunda hanya melirik. Lalu membuang muka. Membiarkanku berdiri di tepi jalan. Menanti dalam ketidak pastian.
Bis yang tadinya berhenti karna menaikkan penumpang, mulai berjalan perlahan. Aku masih mengejarnya. Mengharap belas kasihan.
"Bunda ..., Hira mau jajan lebih. Buat beli sesuatu." Bunda tidak memperdulikan keberadaanku. Sudah cukup jauh aku berlari dari rumah.
Mungkin kesal, Bunda lalu melemparkan beberapa keping recehan. Aku mengutipnya. Menghitung satu demi satu. Jumlahnya lima puluh rupiah. Akupun membalikkan badan. Pulang dengan hati riang.
Aku mengabaikan tatapan tajam Bunda. Yang kutahu saat itu adalah, buru-buru menghabiskan duit sebanyak itu.
***
"Sundari ..., mana Hira?" Bunda yang baru tiba dari kantor langsung mencariku.
Aku yang sedari pulang sekolah di kamar, langsung keluar menghadap. Di tangan kanan, Bunda memegang sebilah rotan. Entah untuk apa. Aku tak tahu!
"Iya, Bunda. Ini Hira," aku mendekat ke arahnya.
Dia langsung menghantamkan rotan ke kaki-kaki kecilku. Aku menjerit kesakitan. Rasanya pedih. Tangisku pun pecah. Air mata tak sanggup untuk kubendung.
"Dasar! Bisanya cuma bikin malu orang tua! Apa yang kamu lakukan tadi pagi, ha? Kamu mau bikin malu Bunda, ya?"
Berkali-kali memukulku. Aku hanya pasrah.
Setelah puas, aku diserahkan pada Mbak Sundari. Sabetan rotan menyisakan bekas kemerahan. Dia lalu memandikan, memberi pakaian ganti, lalu mengantar ke kamar. Ada rasa perih di sini. Sedih karna dipukul. Aku menangis sampai tertidur.
***
Aku bertengkar dengan Kak Tami. Dia main curang. Aku nggak terima. Kak Tami memukulku, kubalas. Akhirnya kami berdua menangis, lantaran aksi pukul-pukulan yang tak kunjung berhenti.
"Hira ..., kamu lagi yang bikin masalah,"
Bunda kelihatan marah. Selalu.
"Bukan Hira, Bunda ... Kak Tami yang duluan."
"Berani kamu melawan Bunda."
Plakkk!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Sudut bibir juga terluka. Mengeluarkan darah. Bunda menampar terlalu keras. Dia mengambil tali --sisa sumbu kompor minyak, lalu mengikatku di sebatang pohon yang ditanam Ayah. Katanya, supaya aku menyesali perbuatanku. Salahku apa Bunda?
Kak Tami digandeng masuk ke dalam rumah. Dari balik jendela kamar kulihat dia mengintip. Menjulurkan lidah, dan menggoyang-goyangkan kedua tangan di atas kuping. Dia mengejek.
Aku hanya bisa tertunduk. Sepertinya ada yang kosong di hati ini.
***
Ayah pulang dari kantor, melihatku terikat dan terduduk lemas. Dia membukakan ikatan, lalu menggendong, membawaku ke kamar mandi, memandikan, kemudian memakaikan baju merah. Itu warna kesukaanku. Tak lupa mengikatkan rambut seperti ekor kuda. Aku senang sekali.
"Hira boleh main-main sekarang. Jangan jauh-jauh ya. Di depan aja."
"Iya, Yah" aku kegirangan.
"Hira ..., yuk main dokter-dokteran." Seorang anak berambut keriting mengajakku bermain.
Aku pun setuju. Aku tak tahu permainan apa itu. Tapi mengingat itu, jadi benci.
Pulang ke rumah, mengurung diri di kamar, sampai ketiduran.
"Badannya panas, Om." Mbak Sundari berbicara dengan Ayah.
Sayup-sayup kudengar Ayah menyuruh Mbak Sundari untuk mengambilkan kompres. Ayah lalu mengompresku. Memberikan obat penurun panas, lalu menyelimuti dengan kain tebal.
"Cepat sembuh ya, Sayang ..." Ayah mengecup keningku lembut. Air matanya jatuh, mengenai pipi.
Ayah keluar dari kamar. Lamat-lamat terdengar suara pertengkaran. Ya, mereka bertengkar. Ayah dan Bunda.
Ayah memutuskan tidur bersama. Mendekap agar aku tak merasakan kedinginan.
Semenjak kejadian tadi siang, aku tidak melihat Bunda.
Pasti Ayah memarahinya. Aku senang. | Cerpen Sedih Kisah Indah Sehangat Dekapan Bunda
- Bersambung -