Shibuya, Jepang
Seorang gadis berusia dua puluh tahun tengah sibuk mengamati layar monitornya. Menghitung detik jam. Satu menit lagi, tapi tak menunjukkan apa-apa. | Cerpen Kehidupan Sebuah Kisah Opera Van Maut
Ia bersandar santai di kursi menyesap cokelat panas. Sedang mata tak beralih dari jam dinding mengawasi tiap detiknya.
Drrt! Drrt!
Matanya berganti pada ponsel di meja.
-Kami akan mentransfer saat ini juga. Mohon kembalikan semua data kami-
Tulisan itu ditulis dalam bahasa Perancis.
Bibirnya tersenyum saat ada pesan susulan dari M-Banking. Pemberitahuan jika saldo rekeningnya bertambah.
Ia kembali berkutat dengan komputernya.
Pukul sepuluh malam, gadis itu berniat jalan-jalan sebentar. Meski suhu minus dan salju mulai turun, tak menghalangi niatnya untuk pergi ke sebuah restoran. Ia ingin makan sate malam ini. Dan hanya restoran itulah yang dia tahu menjual kuliner Indonesia. Gadis itu berjalan sepanjang trotoar dengan payung.
"Eh, Vira. Mau pesan apa?" Seorang laki-laki dengan celemeknya datang menghampiri meja gadis itu. Namanya Anton. Orang asli Indonesia yang menikah dengan pribumi dan membangun bisnisnya di sana. Mereka sudah cukup akrab.
Vira balas tersenyum. "Seperti biasa, Kak." Terlalu tua jika harus dipanggil Om. Anton berusia 25 tahun. Di usianya yang semuda itu, dia sukses merintis restorannya.
Anton sudah hafal betul apa kesukaan Vira. Sate kambing. Tak lama, ia kembali kemudian membawa dua puluh tusuk sate kambing yang masih hangat. Vira menatap berbinar tak sabar.
"Nggak pengen pulang?" tanya Anton mengamati Vira yang memaksa masuk dua tusuk sate ke mulutnya. Cara makan yang tidak ada jaim-jaimnya. Hampir setiap tepi bibir belepotan oleh bumbu.
"Setelah rumah nggak seperti neraka," cetus Vira kerepotan. Mengusap mulutnya dengan tisu. Anton menatap iba gadis yang sudah dianggap adiknya sendiri.
"Pulanglah Vir. Gimana sama kuliahmu di sana?"
"Masih bisa kuliah jarak jauh," terangnya. Meski tak menutup kemungkinan ia begitu rindu dengan Kakek dan Neneknya di Bandung.
Enam bulan gadis itu melarikan diri dari rumah. Tak tahan dengan sikap Mama dan Papa yang hampir setiap hari ribut. Mereka pasti akan bertengkar. Ada saja pemicunya. Hanya Vella yang Vira pikirkan. Adik tirinya. Meski tak sedarah, tapi hubungan keduanya terjalin baik.
Vira merogoh saku saat ponselnya bergetar. Matanya terbelalak seketika.
-Amethyst. Leopard tertangkap di Australia. Saat ini, FBI bekerja sama dengan kepolisian Jepang untuk melacak keberadaanmu. Cepat tinggalkan Shibuya sekarang!-
"Sial!" Leopard nama panggilan untuk Anjani. Rekan sesama hacker-nya asal Malaysia. Vira segera mengantongi ponsel buru-buru pergi.
"Tumben nggak dihabisin?" Anton menatap heran saat Vira meninggalkan mejanya. Tak biasa melihat piring gadis itu belum tandas.
"Ada urusan mendesak, Kak." Vira membayar dan melambaikan tangan pamit. Ia lekas keluar dari restoran. Malam ini juga, Vira memesan tiket penerbangan menuju Indonesia.
Maretha memandang pantulan tubuhnya di cermin. Ia harus terlihat sempurna di hari pertamanya mengajar. Gadis 20 tahun yang lulus kumlot dan saat ini diterima kerja di SMA Desandora sebagai guru bahasa.
Gara-gara terlalu lama berurusan dengan cermin, Maretha sampai lupa, jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit.
"Astagaaa!" Ia berlari panik mengemasi barang-barang ke dalam tasnya. Memasang sepatu fantofel berhak lima senti setengah berlari sampai kesandung-sandung.
Maretha menyesal memiliki rumah di dalam gang. Terpaksa ia harus memelankan langkahnya saat melewati kubangan air. Sebelum berlari lagi.
"Aah!" Maretha melenguh melihat angkot tak datang-datang. Tiga menit lagi. Ia tak boleh telat. Terpaksa, Maretha berlari lagi untuk mencapai pangkalan ojek namun di saat tak terduga, sebuah motor sport merah melewatinya dan ... byuuur!
"Aaaarghh!" Maretha berteriak histeris saat tubuhnya terguyur air comberan. Sialan!
"Hei, kurang ajar! Hati-hati dong!" Tak ada iktikad baik dari pengguna motor untuk turun dan minta maaf, Maretha melepas geram sepatunya dan melempar jauh-jauh. Sampai berbunyi tuk terkena helm si pengendara motor. Spontan suara decitan motor terdengar nyaring. Seorang pengemudi becak memaki-maki. Karena hampir saja ditabrak.
Lelaki itu menoleh marah pada Maretha yang meleletkan lidah mengejek. Ia meremat setang motor geregetan. Turun dari motornya mengambil sepatu Maretha yang telantar di jalanan.
"Eh, eh! Mau diapain sepatuku!" Maretha berusaha berlari menyelamatkan sepatunya. Tapi lelaki itu membuang ke selokan.
"Kurang ajar!" teriak Maretha. Lelaki itu menatap sinis. Naik ke motornya. Sementara Maretha susah payah mengambil sepatunya di selokan.
"Huwaaaah!" Ia meratapi nasib sepatunya yang malang. Sekilas ia menoleh ke motor lelaki yang berlalu meninggalkannya.
"Awas aja, ya! Aku bakal bikin perhitungan kalo sampek ketemu!" tekadnya menggebu. Ia menghafal nomor plat motor itu.
Pukul tujuh lewat lima belas menit. Maretha baru sampai di SMA Desandora. Gerbang tertutup rapat. Ia celingukan. Tampak sepi.
"Ada yang bisa di bantu, Mbak?" Satpam sekolah menghampiri. Maretha mringis. Terlebih saat satpam melihat penampilannya yang kotor dan rambut awut-awutan.
"Perkenalkan, Pak. Saya Maretha. Guru baru di sini," jelasnya. Satpam sekolah tambah melongo. Dari matanya seperti tak percaya dengan pengakuan Maretha.
Agak ragu, namun tetap saja dibukakan gerbang. "Mari silakan!" ujar satpam itu. Pak Mono namanya. Maretha mengikuti langkah Pak Mono menuju ruang kepala sekolah. Jantungnya deg-degkan. Berharap semua akan baik-baik saja.
Tapi matanya terhenti saat melihat motor sport warna merah tadi. ’Nah! Kena kamu!’ batin Maretha. Senang. Ternyata Tuhan berbaik hati padanya. Makanya diberi kesempatan untuk membuat perhitungan dengan manusia yang telah menganiaya sepatunya hari ini. Kalau karma, memang tidak ke mana. Lelaki itu harus mempertanggungjawabkannya. Maretha tertawa jahat. Hahaha.
Satpam sekolah mengetuk ruang kepala sekolah.
"Masuk!" Suara gelegar dari dalam terdengar santer sampai Maretha merasa lantainya bergerak, tubunya terhuyung. Untungnya gedung ini tak runtuh dengan suara halilintar kepala sekolah. Seorang perempuan bertubuh gempal dengan rambut bobnya. Kacamata besar membingkai di antara hidung minimalis. Membuat Bu Sri Sumiati harus menaikkan berkali-kali kaca matanya.
"Selamat pagi, Bu! Ada yang mau bertemu Ibu," Pak Mono mendahului sebelum meninggalkan Maretha sendiri.
Bu Sri menatap Maretha menodong. Kedua alisnya bertaut, serius. Maretha memendekkan leher takut. Sampai rata-rata bahu. Berharap kepalanya tenggelam dan kesusahan untuk melihat Bu Sri alias Bu Dora. Benar-benar mirip Dora. Selain rambut bob yang besar, matanya juga bulat lebar. Persis Dora.
Suara langkah terdengar mengerikan mengelilingi Maretha. Seolah ini adalah hari terakhir kontraknya hidup di dunia.
"Masih baru, telat lagi!" Maretha berjengit. Berusaha menahan kekagetannya. Sepertinya dia harus beradaptasi dengan suara ini.
"Saya benar-benar mohon maaf, Bu. Tadi ada insiden di jalan," ia sebisa mungkin memberikan alasan. Kesialan demi kesialan yang harus ditimpanya hari ini. Dan bernapas lega, setelah keluar dari ruang kepala sekolah.
"Hai. Belum pernah liat?" Ia dikagetkan oleh seorang lelaki yang baru saja muncul dari ujung koridor.
"Pasti guru baru itu, ya?" tebak laki-laki muda itu. Maretha mentaksir usianya. Kira-kira masih 25 tahunan. Ia memiliko dagu yang lembut dan pembawaan kalem.
"Agung," jelas lelaki itu menyulurkan tangan. Maretha menjabatnya.
"Maretha."
"Nama yang cantik. Secantik orangnya," puji Agung. Yang membuat pipi Maretha mendadak panas. Ia berhadap pipinya tidak memerah.
"Oh iya. Pasti belum tau ruang guru ya? Ayo! Aku tunjukan kursimu di mana," Maretha mengikuti langkah Agung. Sekolah ini luas dan hijau. Tampak bersih dan nyaman. Beberapa siswa mondar-mandi di koridor. Kerja bakti.
"Kalau hari jumat, sekolah biasanya ada kegiatan jumat bersih. Sampai jam istirahat pertama."
Maretha membulatkan bibir.
Ia menebar senyum kepada siswa yang memandangnya. Entah disadari atau tidak. Tatapan mereka sebenarnya tatapan aneh pada guru baru itu. | Cerpen Kehidupan Sebuah Kisah Opera Van Maut
Saat asik-asik mengamati sekitar, matanya menangkap seorang lelaki yang sedang bersiul-siul melewatinya. Ia mengenakan trining panjang dan kaus toska membingkai tubuh atletisnya. Serta sebuah peluit tergantung di leher. Kalau dari penampilannya ia tampak seperti guru olahraga. Sepanjang koridor selalu saja ada siswi yang tak sungkan bertegur sapa dengan guru itu.
Wajahnya begitu familiar. Maretha seperti mengenali lelaki itu. Tapi ia berusaha abai dan terus berjalan mengikuti Agung.
Tapi kemudian matanya melebar saat kepalanya mencetuskan satu ingatan. Hei itu kan ....
Maretha langsung balik badan. "Kamu!" teriaknya yang mengundang perhatian sekitar. Bahkan Agung juga berhenti menoleh ke belakang.
"Kamu panggil siapa?" Maretha menunjuk lelaki yang tak merasa dirinya dipanggil.
"Kamu berhenti!" teriak Maretha sekali lagi. Tapi laki-laki itu berjalan santai. Maretha mengejar dan menarik kerah lelaki itu dari belakang. Yang membuat berjalan mundur dan tercekik. Ia menarik sampai si tersangka terjungkal jatuh.
"Rasakan! Lelaki sialan! Nggak mau tanggung jawab!" Maretha menghadiahi satu tinjuan tepat di hidungnya sampai berdarah.
"Hahaha! Jangan coba-coba kamu ya! Kabur dari tanggung jawab!" Lelaki itu mengusap hidung kebingungan. Lalu tersadar saat semua orang memandanginya beberapa tampak bisik-bisik menggosipi.
"Perempuan gila!" geramnya bangkit berdiri.
"Tanggung jawab? Dia siapanya Pak Adit?" Seorang siswi berani bertanya. Beberapa menutup mulut. Sebagian besar menatap putus asa.
"Ouh! Jangan-jangan itu pacarnya Pak Adit dan sekarang dia lagi hamil. Terus ...." bisikan-bisikan itu semakin berkerumun seperti sarang tawon.
"Apa yang kalian bicarakan? Bubar!" Sebelum telanjur Guru olahraga itu segera menyudahi. Dan mengusir siapa pun yang menyaksikan. Sebelum dirinya kepalang malu.
"Kamu siapa? Aku nggak kenal! Dan berani-beraninya kamu ...." Adit menggenggam kuat-kuat menahan emosi. Jangan sampai ia memukul wanita. "Beraninya kamu memukulku?!" sungutnya menggebu-gebu.
"Gara-gara kamu aku telat di hari pertamaku!"
"Itu salahmu! Bukan salahku!
"Kamu yang bikin penampilanku jadi kacau!"
"Salah sendiri nggak menghindar!"
"Harusnya kamu nggak kebut-kebutan!"
"Htch! Kamuuu ...." Adit mendekatkan wajahnya ke Maretha. Maretha menantang.
"Apa?!" mendongakkan wajah tak mau kalah.
Sampai sebuah suara menggetarkan dinding-dinding sekolah.
"SETOOOOPPP!" Astaga! Bu Dora. | Cerpen Kehidupan Sebuah Kisah Opera Van Maut
- Bersambung -