Arrrgh … kepala mama sama papa keknya lagi kena virus. Bisa-bisanya mereka ngijinin cowok tinggal dirumah ini. Apa mereka gak tau kalau aku alergi banget sama cowok?.
Biru Setya Nugraha, anak rekanan bisnis papa yang baru saja menyelesaikan pendidikan MBA di Birmingham. Om Setya Nugraha ingin Biru magang di kantor papa sebelum meneruskan usaha miliknya.
“Terima kasih, Tomi. Kamu memang sahabat terbaik,” Om Setya memuji setelah papa mengiyakan agar Biru bekerja di kantornya. Parahnya papa dan mama sendiri yang menyarankan agar Biru tinggal di rumah. Padahal Om Setya sudah melihat beberapa apartemen yang akan ia beli untuk anaknya.
Ah, makan malam ini bikin gak selera. | Cerpen Lucu Sebuah Kisah Moster Yang Ganteng
“Sayang, kenapa gak dimakan? Kamu sakit?” Suara mama menghentikan adukanku pada piring yang masih penuh.
“Sayang, kenapa gak dimakan? Kamu sakit?” Suara mama menghentikan adukanku pada piring yang masih penuh.
Parahnya mata mereka kini tertuju padaku, bahkan Biru yang sedari tadi hanya meng-iya-kan setiap pertanyaan, juga menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
“E … a … aku gak papa kok, Ma. Cuma mikirin tugas di kampus aja,” bingung harus mengatakan apa, tidak mungkin aku bilang tidak setuju kalau Biru tinggal dirumah ini.
“Syukurlah Sayang, mama pikir kamu kenapa-napa, habis biasanya dia ini makanya banyak banget. Apalagi kalo ngerjain tugas kuliah, ampun tante harus siap bangun malam untuk menyiapkan makanannya,” kata mama sambil menatap Biru yang berseberangan denganku.
Ya ampun ngapain juga mama cerita ke Biru sih, kan ketahuan kalo aku rakus. Jadi tambah gak nafsu makan ini.
“Bagus juga papa tadi menyarankan Biru tinggal disini, jadikan bisa sekalian ngajarin mata kuliah yang kesulitan dikerjakan oleh Fia” Papa tersenyum banga seolah habis memenangkan undian paket umroh gratis sekeluarga.
“Fia ambil jurusan manajemen bisnis, ya?” Om Setya terlihat antusias.
“Iya,Om,” jawabku singkat.
“Kebetulan sekali. Biru pasti akan senang bisa membantu kalau ada kesulitan, bukan begitu Biru?”
“Iya, Pa,” tuh kan gelagat jeleknya udah keliatan, jawab aja pake gak semangat gitu. Ya Allah firasat buruk apa ini?.
“Alhamdulillah, terima kasih Nak Biru” Papa terlihat berkaca-kaca.
Ampun deh lebaynya papa kambuh.
Ampun deh lebaynya papa kambuh.
“Hebat sekali Mas Setya ini mendidik anak, meskipun tinggal di luar negeri tapi tidak sombong dan tetap sopan,” Mama ketularan lebay.
Tapi entah kenapa laki-laki itu terlihat sangat menyeramkan. Firasatku tidak pernah salah, insting yang tajam ini merasa dia adalah ancaman. Ditambah mama dan papa terlihat sangat menyukai anak itu.
***
Sudah seminggu ini Biru tinggal di rumah, ternyata dia sangat rajin. Saat bangun pagi akan kuliah dia sudah tidak ada, bahkan saat makan malam dia belum pulang meski papa sebagai pimpinan sudah mengatakan agar tidak perlu terburu-buru untuk belajar.
Sudah seminggu ini Biru tinggal di rumah, ternyata dia sangat rajin. Saat bangun pagi akan kuliah dia sudah tidak ada, bahkan saat makan malam dia belum pulang meski papa sebagai pimpinan sudah mengatakan agar tidak perlu terburu-buru untuk belajar.
Syukurlah dia tidak seperti prasangkaku.
“Mama … Ma ….” aku masuk ke kamar Mama tapi tidak ada.
“Mama” aku menuju dapur salah satu tepat favorit Mama.
“Bi, Mama mana?” hanya terlihat Bi Minah di dapur tengah memasak sesuatu.
“Tuan dan Nyoya sedang pergi keluar kota Non” Bi Minah masih sibuk dengan masakannya.
“Mama” aku menuju dapur salah satu tepat favorit Mama.
“Bi, Mama mana?” hanya terlihat Bi Minah di dapur tengah memasak sesuatu.
“Tuan dan Nyoya sedang pergi keluar kota Non” Bi Minah masih sibuk dengan masakannya.
“Kapan pulangnya, Bi?” aku mengambil air dari kulkas.
“Minggu depan baru pulang, Non” seketika air yang baru aku minum tersembur keluar, Bi Minah sampai kaget.
“Ya Allah Non. Kok bisa sampai begini?” Wanita berusia 59 tahun itu meninggalkan pekerjaanya lalu mengambil tisu yang ada dimeja makan.
“Makanya Non kalo minum jangan berdiri, pamali” aku menyambar tisu yang diberikan wanita baya itu.
“Minggu depan baru pulang, Non” seketika air yang baru aku minum tersembur keluar, Bi Minah sampai kaget.
“Ya Allah Non. Kok bisa sampai begini?” Wanita berusia 59 tahun itu meninggalkan pekerjaanya lalu mengambil tisu yang ada dimeja makan.
“Makanya Non kalo minum jangan berdiri, pamali” aku menyambar tisu yang diberikan wanita baya itu.
“Kok bisa sih Bi, mama papa ninggalin aku sendirian di sini?. Biasanya juga kalo papa pergi mama pasti tinggal” Aku kesal kenapa mama gak ngabarin dulu kalo mau pergi.
“Bibi juga gak tau Non, mending tanya langsung aja ke Nyoya” Bi Minah beranjak dari depanku setelah memastikan lantai yang tadi tersembur air sudah benar-benar kering. Wanita itu mengembalikan kain pel ke gudang kecil berisi peralatan bersih-bersih yang terletak di dekat ruang makan.
Aku segera merogoh saku tas menelpon mama.
“Assalamualikum anak cantikku,” suara mama diseberang begitu ceria tanpa dosa.
“Assalamualikum anak cantikku,” suara mama diseberang begitu ceria tanpa dosa.
“Ma! Kok tega sih ninggalin aku sendirian di rumah?, biasanya juga mama tinggal kalo Papa mau pergi-pergi,” cerocosku tanpa jeda.
“Itu kan dulu, Sayang. Kalau sekarang kan ada Biru yang nemanin kamu, Bi Minah juga di sana, kan?” Apa? Bisa-bisanya Mama percaya aku berdua aja sama Biru di rumah. Eh, bertiga sama Bi Minah.
Kesal mendengar jawaban mama yang begitu enteng, aku memilih duduk di tangga yang menghubungkan ke lantai dua, dimana kamarku dan Biru berada.
“Sayang. kamu gak pingsan, kan?” suara mama membuyarkan lamunan.
“Ya gak lah, Ma! Mama kok tega sih ninggalin aku sendirian sama si itu?” Malas banget nyebutin namanya.
Aku sengaja mengulang pertanyaan berharap menyentil jiwa keibuannya yang selama ini selalu mengkhutirkanku.
“ Si itu siapa maksudnya, Fia?”. Elah, mama pake gak peka lagi.
“Si Biru, Ma,” Dengan terpaksa aku sebut juga nama tuh orang.
“Ya, ampun Sayang. Kamu gak boleh seperti itu ke Biru. Dia gak keberatan waktu mama titipin kamu dan juga Bih Minah.”
Apa!? Mama nitipin aku ke itu?
Apa mama gak mikir tentang keselamatanku? kenapa mama bisa segitu percayanya sama dia? Padahala Mama sama Papa juga baru kenal seminggu yang lalu saat Om Setya mengajak Biru kerumah untuk makan malam. Ah! Matilah aku.
Apa mama gak mikir tentang keselamatanku? kenapa mama bisa segitu percayanya sama dia? Padahala Mama sama Papa juga baru kenal seminggu yang lalu saat Om Setya mengajak Biru kerumah untuk makan malam. Ah! Matilah aku.
“Mama,” Aku merajuk.
“Kenapa Sayang? Kamu kan bukan anak kecil. Lagi pula Biru yang nyaranin agar mama berlibur. Sesekali nemanin Om katanya. Ya ampun itu anak bener-bener pengertian, tau banget kalau mama ini butuh piknik,” Mama megakhiri kalimatnya setengah menyindir.
“Kenapa Sayang? Kamu kan bukan anak kecil. Lagi pula Biru yang nyaranin agar mama berlibur. Sesekali nemanin Om katanya. Ya ampun itu anak bener-bener pengertian, tau banget kalau mama ini butuh piknik,” Mama megakhiri kalimatnya setengah menyindir.
“Mama?”
“Iya, Sayang.”
“Mama gak sayang aku lagi, ya?”
“Ya ampun Sayang, kamu kok bisa nanya gitu sih?”
“Habisnya, Mama lebih percaya nitipin Fia ke dia. Padahal mama bilang Fia ini jantung hati mama, gimana kalau nanti Biru tiba-tiba nipu kita, Ma,” akhirnya aku beranikan diri menyampaikan kekuatiranku.
“Iya, Sayang.”
“Mama gak sayang aku lagi, ya?”
“Ya ampun Sayang, kamu kok bisa nanya gitu sih?”
“Habisnya, Mama lebih percaya nitipin Fia ke dia. Padahal mama bilang Fia ini jantung hati mama, gimana kalau nanti Biru tiba-tiba nipu kita, Ma,” akhirnya aku beranikan diri menyampaikan kekuatiranku.
“Nipu gimana, Sayang?”.
“Dia sengaja nyaranin mama ikut sama Papa, selama papa dan mama disana dia ambil semua surat-surat perusahaan papa dan juga rumah ini. Kemudian membunuh Fia dan Bi Mi …”
“Dia sengaja nyaranin mama ikut sama Papa, selama papa dan mama disana dia ambil semua surat-surat perusahaan papa dan juga rumah ini. Kemudian membunuh Fia dan Bi Mi …”
Seketika tubuhku bergetar, tengkuk meremang. | Cerpen Lucu Sebuah Kisah Moster Yang Ganteng
- Bersambung -