Sebuah Akhir Kisah Perjalanan Kamilia

"APA maksud semua ini?" | Cerpen Kehidupan Sebuah Akhir Kisah Perjalanan Kamilia 

Akmal menggebrak meja dengan wajah berang. Matanya berkilat marah. Sementara dua orang yang kini duduk di kursi tamu memilih menundukkan kepala.

"Bagaimana bisa...? Argh!" Akmal meremas rambutnya kasar; terlalu frustasi dengan apa yang terjadi. "KELUAR!" adalah kata yang disemburkan mulutnya pada kedua bawahannya. Keduanya lekas bergerak pergi meninggalkan 'singa' yang tengah terusik.

Marah? Jelas! Akmal tidak pernah merasa sebenci ini terhadap seseorang. Terlebih seseorang itu adalah karibnya sendiri. Bagaimana mungkin orang yang selama ini begitu dipercaya justru mengkhianatinya?

"Bedebah!"

Akmal mendudukan dirinya kembali dengan kekesalan luar biasa. Berbagai makian telah mengotori udara di ruang pribadinya. Pria berusia dua puluh delapan tahun itu meraup kasar wajah disertai desah kecewa. Dadanya kembang kempis masih berusaha menetralkan emosi yang terlampau besar.

"Ya Allah.... Cobaan apalagi ini?"

"Gimana, Nduk?"

Kamilia yang tengah melipat baju menoleh pada wanita paruh baya di sampingnya dengan kening berkerut. Ada semacam rasa penasaran yang menggeliat. "Gimana, apanya Bu'e?"

Wanita yang dipanggil Bu'e tersenyum. "Lamaran dari Nak Inggar. Kamu terima atau ndak?"

Lia menghembuskan napas. Lagi-lagi membahas soal lamaran. Terkadang, Lia berpikiran ingin kembali pergi ke Kota seberang saja agar tidak melulu ditanya perihal kapan menikah. Apalagi pada Ibunya yang kerap kali berusaha menjodohkan dirinya dengan seseorang yang bahkan tidak dikenalnya. Lia belum bisa dan belum mau menikah.

"Belum tahu, Bu'e. Lia belum kepikiran menikah."

Bu'e menghembuskan napas panjang. "Usiamu sudah tidak lagi muda, Nduk. Mau nunggu yang seperti apa lagi, kamu?"

Lia hanya diam mendengarkan. Melipat baju dengan perasaan campur aduk.

"Inggar itu laki-laki yang baik, mapan lagi. Dia sudah jadi 'orang', Nduk. Bu'e percaya dia bisa membahagiakanmu."

Lia ingin mendebat kata-kata Ibunya tapi dia tidak sanggup. Dia bukan tipe perempuan yang melihat seseorang dari harta. Walau tidak memungkiri jika dia juga menginginkan laki-laki dengan pekerjaan mapan. Mau makan apa nanti saat mereka sudah menikah jika hanya mengandalkan modal Cinta? Hah! Cinta? Makan itu cinta!

Jika jaman sekarang cinta bisa ditukar dengan dollar, mungkin banyak budak cinta yang merdeka. Tidak perlu bekerja keras, banting tulang tiap pagi, siang, malam menahan kantuk demi mendapat uang untuk sesuap nasi. Mereka hanya perlu menukar kata "Cinta" dan dollar siap rebahan di kantong-kantong berdompet tipis.

"Lia, kamu mendengarkan Bu'e atau ndak?"

Kamilia tersentak dari lamunannya. "Iya, Bu'e. Maaf. Tadi, Bu'e bicara apa?" Gadis itu memamerkan deretan gigi putih bersihnya. | Cerpen Kehidupan Sebuah Akhir Kisah Perjalanan Kamilia 

Sementara sang Ibu menggeleng melihat kelakuan puterinya yang terkadang membuat gemas.

Inggar tersenyum puas. Dia yakin saat ini, 'sahabatnya' pasti tengah merasakan apa itu yang disebut dengan kekesalan. Emosi meluap dan amarah pun tidak dapat ditolak lagi. Magma sudah meletup, lahar api siap membakar apa saja yang di lewati.

"Pak Inggar."

Seorang wanita cantik masuk begitu saja setelah mengetuk pintu, membuat senyum Inggar lenyap digantikan ekspresi datar.

"Ada apa?"

"Ada yang ingin bertemu."

Dahi Inggar berkerut, "siapa?"

"Seorang wanita."

"Bagaimana ciri-cirinya?"

"Dia...."

Akmal baru saja menyelesaikan sholat Dhuha. Lelaki itu duduk bersilang kaki dalam keterdiaman. Matanya terpejam, wajah perpaduan Jawa dan Mongol miliknya dipenuhi gurat kekhawatiran. Bagaimana bisa dia kecolongan? Akmal tidak habis pikir. Setega itu Inggar mengkhianatinya. Ah-ya.... Apapun mengenai cinta memang membutakan. Dan sekarang Akmal sedang diuji dalam asmaranya.

Mengesalkan. Menjengkelkan.

Akmal menghembuskan napas kasar. Sudah cukup dia berdosa dengan mengumpat tadi di ruangannya. Tidak seharusnya dia seperti itu. Setan telah berbisik dan dia termakan bisikannya. Emosi dan kemarahan hanya akan menenggelamkan dalam kebodohan abadi. Membuat otak jadi tidak bisa berpikir jernih jika dilandasi emosi karena kemarahan. Seperti itulah yang Akmal rasakan tadi.

Bukankah orang yang hebat adalah dia yang mampu mengendalikan amarahnya? Akmal kini menyesal karena tadi dia kalah dalam kemarahan.

Akmal beristighfar berulangkali. Hatinya membaik. Bukankah hanya dengan mengingat Allah hati akan merasa tenang?

"Hallo? Segera urus apa yang harus kamu urus. Hm, lakukan dengan hati-hati. Aa, baiklah. Semoga Allah melancarkan semuanya. Berhati-hatilah!" Akmal mengusap kembali wajahnya setelah menutup panggilan telepon dari salah satu orang kepercayaannya.

Helaan napas kasar lagi-lagi keluar dari mulut dan hidung lelaki yang kini memilih memijat kening. Pening. Persoalan kali ini bukan hanya menyangkut dirinya. Tapi, juga seseorang yang teramat penting bagi hidupnya. Dan Akmal tentu tidak akan rela jika 'gadis' itu hanya dimanfaatkan untuk menjatuhkan dirinya saja.

Dia tidak rela!

"Mau ke mana kamu?"

Kamilia menoleh pada wanita paruh baya yang berdiri di ambang pintu kamarnya. "Mau ketemu sama temen, Bu'e."

Membenarkan bross bunga kecil miliknya, Kamilia mematut kembali penampilan di depan cermin, sudah Oke. Menyampirkan tas kecil rajut ke bahu. Gadis manis itu berjalan menuju Ibunya.

"Lia berangkat dulu, Bu'e," mencium punggung tangan Bu'e, Lia tersenyum hangat, "Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikumsalam.... Hati-hati, Nduk." Pesan Bu'e ikut mengantar Kamilia sampai pintu teras.

"Iya. Lia, pergi dulu Bu'e."

Kamilia berjalan sebentar melewati gang untuk mencapai jalan raya. Tangannya melambai menyetop angkutan umum yang melintas. Masuk lalu duduk di antara banyaknya orang-orang yang memiliki tujuan berbeda. Seperti biasa. Ramai dan dengan wewangian yang berbeda pula tiap orang.

Kamilia sering memperhatikan sekitar. Seperti bagaimana sikap seseorang di angkutan umum. Walau begitu, Kamilia tentu tidak berhak menilai bagaimana sebenar kepribadian seseorang jika hanya sekali lihat. Bisa saja dia salah mengartikannya. Tapi, kadang orang-orang yang berada di angkutan umum memang akan terlihat seperti apa dia jika udara sedang terik-teriknya.

Kadang, Kamilia harus menulikan telinga jika sampai ada makian yang keluar dan terdengar telinganya.

"BANG, buruan jalan! Panas nih!" Seru seorang perempuan kisaran usia dua puluh tahunan. Wajahnya cantik dengan bedak super tebal serta gincu tebal yang membuat seksi bibirnya. Dia kipas-kipas wajah dengan tangan alakadar.

Kamilia yang berada tepat di depan wanita muda itu hanya menoleh sekilas lalu kembali memandang jalanan yang macet total. Wanita itu kembali berseru namun diabaikan begitu saja oleh supir angkutan yang tengah menghisap batang candu. Meninggalkan kepulan asap tebal membumbung ke udara.

Kamilia hanya berharap dia cepat-cepat sampai tujuan. Agar telinganya aman dari berbagai umpatan yang bisa menyumbat daun telinganya. | Cerpen Kehidupan Sebuah Akhir Kisah Perjalanan Kamilia 

- Bersambung -