Tidak pernah kusangka jika perbincanganku dengan Ibu di ruang tamu akan terdengar oleh Ayah yang berada di kamarnya. | Cerpen Motivasi Ayah Tidak Sepenuhnya Berhak Atas Diriku
Tergesa-gesa dengan muka memerah dan rahang mengeras dipenuhi emosi membalut wajahnya.
"Minggat saja kamu dari rumah! Jika sudah tidak sudi menganggap kami ini sebagai orang tua!" Gelegar murka Ayah melindas perih hingga ceruk jantung.
"Astagfirullah!" Aku menutup mulutku seketika dengan tangan.
"Ayah, aku tidak bermaksud untuk mengorek luka masa lalu kalian. Aku hanya....?"
"Hanya apa?" sentak Ayah kembali dengan suara yang garang. Membuat nyaliku ciut merunduk seketika.
"Malu kamu punya orang tua seperti kami," tandas Ayah.
"Buk, Fia pergi dulu sebentar. Nanti kita bicarakan lagi masalah ini."
Aku pamit sambil menghela nafas panjang. Memilih meninggalkan mereka. Setidaknya membiarkan kami saling menenangkan diri masing-masing.
Setelah beberapa bulan melewati masa perkenalan. Aku dan Mas Rino memutuskan untuk membawa hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Pernikahan.
Bagiku pernikahan adalah pintu gerbang awal kehidupan dua anak manusia yang dipersatukan dalam ikatan janji suci. Bahkan Allah beserta malaikat-Nya pun ikut menjadi saksi acara sakral tersebut. Sejatinya pernikahan bukan hanya urusan penghalalan agar leluasa bisa menyalurkan hasrat secara sah. Tapi, lebih kepada itu. Penyempurna dari separuh agama dan ladang untuk mendulang pahala. Sebagai bekal kelak di alam keabadian.
"Mas, aku ingin mengatakan sesuatu padamu?" ucapku setelah mendengar Mas Rino melamarku.
"Apa?"
"Hmmm...." Aku menggigit bibirku. Mengekspresikan kecemasanku saat sedang gelisah.
"Fia ada apa?" Kembali Mas Rino mengajukan tanya.
"Ada suatu rahasia besar yang perlu Mas tahu tentangku."
Detik ini degup jantungku berdetak lebih cepat dari lari kuda yang dihentak oleh penunggangnya.
"Rahasia?" Manik kristal mata Elang itu membulat.
Kini bisa kulihat raut wajahnya sedikit berubah. Tak secerah saat kami berjumpa sejam yang lalu.
"Aku tidak ingin memulai suatu hubungan dengan kebohongan, Mas. Sekecil apapun kebohongan tetaplah perbuatan dusta."
"Katakan Fia. Mas akan mendengarkannya." Tangan hangat itu kini meremas jemariku. Mengisyaratkan bahwa dia ada di sini untukku.
"Saat menikah nanti Ayah gak bisa jadi waliku, Mas," ucapku dengan bahu yang berguncang hebat.
"Kenapa tidak bisa, bukankah beliau Ayah kandungmu."
"Beliau memang Ayah kandungku secara biologis, tapi secara hukum agama tak ada pertalian di antara kami. Nasabku ada pada ibuku," jawabku yang kini ke dua mataku mulai mengembunkan kristal bening. Ada rasa panas di dalam sana.
"Berarti kamu anak yang terlahir di luar pernikahan?"
"Iya." Aku mengangguk pelan.
Mas Rino diam. Mungkin kecewa. Tapi, entahlah....
"Fia, Mas sebenarnya kecewa. Tapi sebagai seorang anak kita juga gak berhak memberi penghakiman kepada mereka. Kita ambil saja hikmah dari masa lalu mereka sebagai bekal kita agar lebih berhati-hati dalam mengendalikan hawa nafsu. Dan juga pelajaran kelak kita mendidik buah hati."
Ada rasa lega di relung hatiku terdalam.
"Terimakasih, Mas. Tadinya aku sangat takut kamu akan meninggalkanku setelah tahu kebenaran ini."
"Hush! Jangan ngomong begitu. Mas ini sangat mencintaimu dan akan menerima segala kurang lebihmu, termasuk masa lalu keluargamu," jawab Mas Rino yakin.
"Sekarang semua sudah jelas kan?" tanya Mas Rino sambil mengelus pucuk kepalaku.
"Belum. Masih ada satu masalah lagi?" desisku lirih.
"Apa lagi, Fia?"
"Ayah mengusirku dari rumah setelah mendengar pembicaraanku dengan Ibu. Bahwa beliau tidak bisa menjadi saksi di hari pernikahanku. Dan itu sangat membuatnya murka," jelasku kepada Mas Rino.
"Lalu apa rencana kamu?"
"Entahlah, Mas. Aku juga lagi mencari jalan keluar untuk menyelesaikan keruh permasalahan ini.
Semoga akan ada jalan yang terbaik. Jalan yang tak akan menyakiti ke dua belah pihak. Aku dan orang tuaku.
Atas saran seorang kawan aku menanyakan perihal pelik masalah ini kepada orang yang memiliki ilmu atas kebimbanganku. Paham tentang syariat dan hukum agama Islam.
"Jadi gimana, Pak Ustad? Benarkan seorang anak yang terlahir di luar pernikahan, Ayahnya tidak bisa jadi wali di pernikahan?"
"Iya, Mbak Fia.
Memang dalam agama Islam hukumnya sudah jelas seperti itu." Pak Ustad menjawab sambil menunjukkan sebuah dalil hadist yang tertulis dalam sebuah buku. | Cerpen Motivasi Ayah Tidak Sepenuhnya Berhak Atas Diriku
"Anak itu dinasabkan kepada suami yang sah sedangkan laki-laki yang berzina itu tidak mendapat apa-apa." { HR. Bukhari no. 6760 dan Muslim no. 1457 dari Aisyah.}
"Penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali." {HR. Ahmad dan Abu Daud.}
Artinya jika seorang wanita tidak memiliki wali yang sah maka digantikan oleh wali hakim.
"Tapi Fia bingung Pak Ustad, bagaimana memberitahu Ayah tanpa harus membuatnya merasa dipermalukan. Sejujurnya hanya ingin meluruskan sesuatu yang selama ini masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Agar status pernikahan ini tidak lagi abu-abu."
"Nanti Bapak akan datang ke rumahmu. Mencoba memberi pengertian kepada Ayah Mbak Fia. Semoga beliau bisa mengerti dan legowo menerima."
Alhamdullilah sedikit lega rasa hati ini. Mengingat Pak Ustad adalah orang yang cukup disegani oleh warga di kampung ini. Pasti bisa meluluhkan hati Ayah.
Kemudian aku pamit.
Diantar seorang wanita cantik nan soleha. Isterinya Pak Ustad Jamil.
Hari itu selepas ba'da magrib ada suara ketukan pintu yang disertai dengan ucapan salam.
"Assalamualaikum."
"Waalaikuusalam," sahutku dari dalam kamar dan segera berlari untuk membuka pintu. Melihat gerangan siapa yang datang.
Pak Ustad Jamil beserta isterinya.
"Mari Pak, Buk. Silahkan masuk!"
Lalu mempersilahkan mereka duduk di kursi yang terbuat dari papan panjang kayu jati berukiran relief bunga dan daun.
"Tunggu sebentar aku panggilkan Ayah sama Ibu di kamar."
Sedetik kemudian aku berbalik arah menuju kamar orang tuaku yang letaknya paling belakang. Berdempetan dengan dapur.
Kuketuk pintu kamar mereka.
"Ayah, Ibu. Ada tamu yang ingin bertemu?" ujarku setelah sedikit membuka pintu.
"Ayah sama Ibu temeni mereka dulu ya, Fia mau membuat teh dulu."
Kulangkahkan menuju dapur untuk memasak air dan mengambil beberapa cemilan dan menatanya dalam piring kecil.
Dari dapur dapat kudengar percakapan mereka yang terdengar santai namun serius. Pak Ustad Jamil menerangkan semua pokok permasalahan yang kini tengah kuhadapi menjelang hari pernikahanku dengan bahasa yang sangat halus, lugas, dan mudah untuk dimengerti.
Kuhampiri mereka dengan membawa cangkir berisi teh dan cemilan. Lalu meletakkannya di atas meja.
"Maafkan Ayah Fia, karena tempo hari sudah berkata kasar padamu." Wajah tua yang mulai mengeriput itu kini tak lagi sangar seperti hari biasanya. Sesekali diam dan tertunduk lesu. Mungkin kini menyadari bahwa akibat kesenangan dulu yang sesaat, berimbas juga pada keturunannya.
"Fia sudah memaafkan sebelum Ayah minta maaf. Ini terjadi cuma karena kesalahpahaman. Alhamdullilah kini semua sudah jelas. Dan tidak ada lagi keresahan yang mengganjal di hati."
Dua minggu kemudian.
"Bagaimana para saksi. Sah?" tanya Pak Penghulu.
"Sah."
"Sah."
"Sah."
Para tamu undangan saling bersahutan. Dan melempar senyum satu sama lain. Tak terkecuali aku dan Mas Rino yang kini telah sah menjadi suami isteri. | Cerpen Motivasi Ayah Tidak Sepenuhnya Berhak Atas Diriku